Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Kebahagiaan berkelanjutan, dalam ranah neurobiologi, adalah sebuah perjalanan abadi yang bermula di dalam kedalaman otak kita.

Setiap momen kebahagiaan mengalir melalui jaringan sinapsis yang rumit, membawa pesan kimia yang melibatkan neurotransmitter seperti dopamin dan serotonin.

Ketika kita merasakan kebahagiaan, otak kita membentuk ikatan baru, seperti petir yang menyambar dalam kegelapan malam, membangkitkan perasaan lega dan damai.

Tetapi kebahagiaan sejati tidak datang hanya dari momen sementara, ia tercipta melalui keseimbangan yang stabil antara rangsangan eksternal dan internal, menciptakan kondisi neurokimia yang mendalam, membentuk dasar bagi kedamaian batin yang tak tergoyahkan.

Melalui jalur neural yang dipelajari dan berulang, otak kita dapat dilatih untuk merasakan kebahagiaan dalam jangka panjang.

Pengalaman positif yang berulang, baik melalui meditasi, aktivitas fisik, atau hubungan sosial yang penuh kasih, memperkuat koneksi neuron yang mendukung perasaan bahagia.

Rangkaian molekul yang dikeluarkan dalam otak, seperti endorfin, membentuk jaringan kebahagiaan yang tidak hanya sementara, namun dapat diperbaharui dan dipertahankan seiring waktu.

Dalam setiap langkah kita, otak mengukir kenangan yang mampu menyalakan kembali api kebahagiaan, meskipun dalam keadaan yang penuh tantangan.

Kebahagiaan berkelanjutan adalah sebuah simfoni yang dibentuk oleh otak yang fleksibel dan dapat beradaptasi.

Ketika kita merangkul kebahagiaan sebagai bagian dari pola hidup kita, otak kita menjadi lebih terampil dalam menemukan ketenangan dalam kekacauan dunia.

Ia belajar untuk merespons stres dengan lebih bijak, mencari kebahagiaan bukan dalam pencapaian materi, tetapi dalam keadaan kesadaran dan apresiasi yang hadir dari dalam.

Dengan demikian, kebahagiaan yang terus menerus berakar pada bagaimana kita merawat dan memprogram otak kita, sebuah perjalanan yang membawa kita pada kedamaian yang tak lekang oleh waktu.

Tiga Area Otak

Otak kita, seperti taman yang penuh dengan ladang-ladang neurokimia, memerlukan perawatan yang penuh perhatian dan bijaksana agar kebahagiaan berkelanjutan bisa tumbuh subur.

Di dalamnya, Nucleus Accumbens (NAcc) berperan sebagai pusat kebahagiaan yang menerima aliran dopamin, neurotransmitter yang memberi kita rasa puas dan senang.

NAcc ini bagaikan sebuah pelabuhan yang menunggu kapal-kapal perasaan positif datang untuk berlabuh. Menurut “The Upward Spiral” karya Alex Korb (2015), NAcc bukan hanya tempat yang menyimpan kenikmatan sesaat, tetapi juga menjadi pemandu untuk merasakan kebahagiaan yang terus berulang apabila kita memupuknya dengan tindakan kecil yang konsisten, seperti olahraga ringan atau senyuman yang tulus.

Setiap stimulasi yang positif memperkuat jalur neural di sana, menciptakan spiral positif yang semakin memperkuat kebahagiaan.

Namun, kebahagiaan yang berkelanjutan tak bisa hanya bergantung pada satu pusat otak. Prefrontal Cortex, si pengatur utama dalam pengambilan keputusan, berperan besar dalam menenangkan NAcc dan menjaga keseimbangan emosi kita. Dalam buku “Behave” karya Robert Sapolsky (2017), Prefrontal Cortex digambarkan sebagai pengendali yang membantu kita menilai situasi dan merencanakan respon yang bijak terhadap stres.

Otak kita membutuhkan kematangan dalam mengambil keputusan, memilih untuk merespons situasi dengan rasa syukur dan ketenangan, bukan reaksi instan yang mengarah pada kekecewaan atau keputusasaan.

Melalui perawatan yang cermat, Prefrontal Cortex mampu memoderasi ledakan emosi dan mengarahkan kita ke jalan-jalan kebahagiaan yang lebih dalam dan bertahan lama.

Ketika kita merenung dan menyelami kenangan indah, Hippocampus lah yang mengingatkan kita tentang perjalanan hidup penuh makna, membentuk peta emosional yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.

Hippocampus memiliki peran yang sangat penting dalam mengintegrasikan pengalaman hidup yang membentuk perspektif kita tentang dunia. “Grattitude: a way of life” karya  Loouise L.Hay  (2012) mengungkapkan bahwa kebiasaan untuk berterima kasih tidak hanya memberi kita kebahagiaan saat ini, tetapi juga memperkuat koneksi neuron di Hippocampus, membentuk daya ingat positif yang dapat mengimbangi tekanan dan kesulitan.

Dengan mengingat momen kebahagiaan yang kita lalui, Hippocampus melatih otak untuk melihat hidup dalam perspektif yang lebih optimis, mengurangi beban stres, dan membuka ruang untuk perasaan syukur yang mendalam.

Perawatan otak, terutama untuk menjaga kelancaran fungsi NAcc, Prefrontal Cortex, dan Hippocampus, tak hanya terbatas pada ilmu teori. Dalam bukunya “The Happiness Hypothesis” (2006), Jonathan Haidt mengajak kita untuk melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar pencapaian eksternal, tetapi juga sebagai perjalanan internal yang melibatkan semua bagian otak kita.

Dalam lima tahun terakhir, semakin banyak penelitian yang mendalam menunjukkan bahwa kebahagiaan berkelanjutan bukanlah soal kondisi eksternal semata, tetapi lebih kepada bagaimana kita membentuk pola pikir dan kebiasaan yang mempengaruhi otak secara langsung.

Mindfulness, meditasi, dan latihan pernapasan terbukti memiliki dampak langsung pada ketiga area otak ini, menjaga keseimbangan dan meningkatkan potensi kebahagiaan yang lebih mendalam.

Dalam buku terbarunya, “The Art of Happiness” (2020), Dalai Lama menyarankan agar kita merawat pikiran kita seperti merawat tubuh, dengan penuh kesadaran akan kebiasaan yang kita bangun setiap hari.

Begitu pula, para ahli seperti Richard Davidson dalam “The Emotional Life of Your Brain” (2012) menegaskan bahwa kebahagiaan berkelanjutan terjalin dalam kebiasaan sehari-hari yang menyentuh NAcc, Prefrontal Cortex, dan Hippocampus.

Dengan mempraktikkan kebiasaan positif—seperti bersyukur, berempati, atau bahkan hanya memperhatikan detil kecil dalam hidup kita—otak kita dibimbing untuk menciptakan jalan panjang kebahagiaan yang dapat bertahan hingga akhir hayat. Karena kebahagiaan berkelanjutan memang ada, dan ia tumbuh subur di dalam benak kita, jika kita tahu cara merawatnya dengan penuh cinta.

Kualitas Tidur

Tidur, dalam keheningannya, adalah penyembuh yang tak terucapkan bagi jiwa dan raga. Ketika tubuh kita terlelap dalam dekapan malam, otak kita bekerja tanpa terlihat, merawat diri dalam diam.

Kualitas tidur yang baik menjadi kunci yang membuka pintu untuk merawat tiga area otak yang sangat penting dalam menjaga kebahagiaan berkelanjutan: Nucleus Accumbens, Prefrontal Cortex, dan Hippocampus.

Dalam buku “Why We Sleep” karya Matthew Walker (2017), dijelaskan bahwa tidur tidak hanya memberikan istirahat fisik, tetapi juga mengatur ulang sistem emosional kita, memberi kesempatan bagi NAcc untuk memproses kenikmatan dan kebahagiaan dengan lebih efisien.

Tanpa tidur yang cukup, otak kita kesulitan mengalirkan dopamin dengan tepat, menghalangi kita merasakan kebahagiaan yang tulus dan berkelanjutan.

Saat kita tidur, Prefrontal Cortex—bagian otak yang mengatur pengambilan keputusan dan pengendalian diri—juga menjalani proses pemulihan. Dalam gelapnya malam, Prefrontal Cortex mengatur ulang kemampuan kita untuk merencanakan, berpikir jernih, dan memutuskan bagaimana merespons dunia dengan bijaksana.

Tidur yang berkualitas membantu memperkuat hubungan antara neuron di area ini, meningkatkan kemampuan kita untuk mengelola stres, dan memilih reaksi yang lebih tenang dan rasional di tengah-tengah ketegangan hidup.

Penelitian yang dipaparkan dalam “The Sleep Revolution” oleh Arianna Huffington (2016), menyoroti betapa vitalnya tidur dalam memperkuat kemampuan kita untuk mengatur emosi dan menjaga keseimbangan psikologis—dua hal yang sangat dibutuhkan untuk kebahagiaan yang berkelanjutan.

Selain itu, saat tidur, Hippocampus kita, yang menyimpan kenangan dan pengalaman hidup, menyusun dan memperkuat jejak-jejak ingatan yang berharga.

Tidur memungkinkan kita untuk merefleksikan hari-hari kita, memproses perasaan yang terpendam, dan mengikat kenangan indah dalam jalinan yang kokoh.

“The Neuroscientific Case for Gratitude” karya Richie Davidson (2020) mengungkapkan bagaimana tidur membantu otak menyaring pengalaman sehari-hari, memberi kita ruang untuk menghargai kebahagiaan kecil yang mungkin terlewatkan.

Dalam kualitas tidur yang baik, Hippocampus mampu menyusun ulang pengalaman kita, memberikan perspektif yang lebih cerah dan positif, serta mengurangi potensi ingatan negatif yang bisa mengganggu kesejahteraan emosional kita.

Tidur bukanlah sekadar pelarian, tetapi proses alami yang memperbarui otak kita dari dalam. Dalam tidur yang dalam dan tidak terganggu, otak mengalami proses pemulihan, yang disebut sebagai gelombang tidur lambat, yang memungkinkan koneksi antar neuron terbentuk dengan lebih kuat.

“Sleep and the Brain” oleh Stanley Coren (2019) menekankan pentingnya tidur nyenyak bagi kesehatan otak, karena hanya dalam kondisi ini tubuh dapat menyortir dan memperbaiki kerusakan sel yang terjadi selama aktivitas sehari-hari.

Tidur yang berkualitas memastikan bahwa ketiga area otak—NAcc, Prefrontal Cortex, dan Hippocampus—bekerja secara optimal, merawat kebahagiaan dengan memberikan ketenangan, pengendalian diri, dan kenangan positif yang memperkaya hidup kita.

Tidur adalah pondasi dari segala kebahagiaan berkelanjutan, seperti akar yang menjaga pohon tetap tegak meski diterpa angin. Dalam buku “The Power of Rest” oleh Matthew Edlund (2020), dijelaskan bahwa kebiasaan tidur yang baik adalah bentuk perawatan diri yang tak ternilai.

Tidur berkualitas, dengan waktu yang cukup dan siklus tidur yang teratur, memampukan kita untuk membangun kebahagiaan dari dalam, menjaga kesehatan mental, dan memperkuat ketiga area otak yang mendasari kesejahteraan.

Tanpa tidur yang baik, kita kehilangan kesempatan untuk merawat otak kita dengan sepenuhnya, namun dengan tidur yang nyenyak dan penuh, kita meraih kebahagiaan yang tahan lama, yang terikat erat dalam harmoni otak yang terjaga dengan penuh kasih.