Oleh: Emilianus Julio
Sebuah kota kuno yang dikenal dengan sebutan “Yerusalem” itu, perlahan-lahan mulai hancur. Namun, pada jam 3 sore, Aku tak bisa menyaksikan hal itu.
Setiap bangunan yang aku lihat di kota kuno itu tampak sangat kokoh kuat. Namun, pada malam yang hening, saat bayangan gelab menyelimuti kota kuno itu, Aku seorang diri kembali merenungkan sebuah kisah yang sudah berusia beribu-ribu tahun lamanya, sebuah misteri yang masih terimpan dan belum terungkap.
Aku ingat akan misteri kematian seorang pria di kota kuno Yerusalem. Kematian seorang pria yang dikenal dengan sebutan Yesus, Mesias, terus membekas dalam pikirranku.
Aku yang sering dipanggil Karlos oleh teman-temanku, dikenal sebagai seoerang yang pendiam, tak banyak berkata-kata, tetapi memiliki masa lalu yang buruk.
Selain pendiam, aku juga sering diklaim sebagai seorang pria yang tekun beribadah.
Bayangan tentang kematian Yesus, selalu membekas dalam pikiranku, dalam pikiranku kematian Yesus telah membawa tanda tanya besar bagi dunia yang memandangnya.
Walaupun bayang-bayang, aku masih ingat di bawah langit yang mulai gelap di kala itu, pakayan putih yang Ia kenakan dinodai oleh kotoran hitam dan dirobek, seperti kertas putih yang tak punya harga diri.
Di bawah langit yang mulai gelap, tangan dan kaki-Nya di tanamnya paku yang tajam, seperti tajamnya cara mereka memperlakukan-Nya.
Di bawah langit yang mulai gelap, wajah-Nya yang penuh pendritaan masih terbayang di benak setiap orang yang pernah mendengar dan tahu tentang cerita-Nya.
Ketika lumuran darah menetes di tanah suci itu, dan salib menahan tubuhnya yang telah dicabik-cabik oleh cambuk besi, aku peranah bertanya-tanya, “Apakah Dia hanya seorang mausia biasa, ataukah ada yang lebih dari itu pada dirinya?
Namun, pertanyaan itu kutemukan jawabannya, sekitar jam 3 sore lamanya, sama seperti aku yang duduk diam dalam keheningan di bawah pohon kersen ini. Hari yang mulai gelap, ketika matahari mulai terbenam, langit tak pernah tampak begitu gelap.
Orang-orang yang turut hadir dalam peristiwa itu, getar getir ketakutan, berlari untuk menyelamatkan diri. Namun salah seorang yang berdiri di dekat kayu yang berlumur darah, menanti apa yang hendak akan terjadi.
Ia melihat Yesus sang anak Tuhan itu, memandang ke langit seolah sedang menunggu jawaban atas penderitaan-Nya di salib.
Di tengah kerumunan yang riuh, apakah ada seorang yang pernah berpikir bahwa Ia tidak akan mati? Apakan ada yang perah memahami, mengapa Ia harus mati?
Apakah Ia rela mati untuk membayar dosa manusia? Ataukah kematiannya merupakan sebuah penebusan yang lebih dalam, dan hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mencari kebenaran di luar ruang dan waktu.
Teriakan keras dari salah seorang tak dikenal. “Itu memang sudah takdirnya” Tetapi di balik terikan itu, ada keraguan yang tak pernah sirna. Misteri hidup yang tak pernah di lupakan.
Wajah Yesus yang penuh dengan darah itu, terdiam dan tak membuka mata. Ia telah mati, tetapi kematiannya bukanlah sekedar akhir dari sebuah cerita.
Di balik penderitaannya di atas salib, ada gemuruh yang menggelegar di dalam bumi, diikuti awan yang gelap, dan saat maut tak bisa menahan diri-Nya, dunia seakan-akan runtuh. Keheningan yang memekakkan telinga seakan-akan bergantung di udara.
Bumi yang di diami oleh-Nya, pun ikut berguncang, dan salah satu tirai tembok di kota kuno terbelah menjadi dua.
Dalam situasi demikian, banyak yang berkata-kata “apakah ini tandanya, Tuhan telah marah”. Namun, apakah kita tahu sejatinya apa yang sedang terjadi di kala itu?
Yesus anak Tuhan itu telah mati, tetapi Ia telah meninggalkan kisah yang tak pernah dilupakan. Ia meninggalkan kisah yang hidup.
Ia hidup dalam satiap benih yang ia taburkan sendiri dalam ziarah yang cukup panjang di bumi. Dalam kesendirian yang mulai gelap, aku sering berpikir bahwa Ia yang mati di salib itu telah menjadi Raja yang benar-benar hidup.
Ia tidak mati sungguh-sungguh, melainkan Ia sedang melakukan perjalanan spiritual yang lebih tinggi. Namun, aku yang terdiam seringkali ingat akan sebuah pertanyaan yang ditulis pada kertas hitam putih. “Mengapa Salib-Mu selalu berharaga bagiku?”.
Apa arti Salib-Mu bagiku”?
Semuanya kupahami, Ketika Engkau memberikan tanda yang mendalam, hingga membuat aku tak akan pernah ragu. “Salib-Mu adalah lambang penderitaan dan juga sebagai simbol pengorbanan yang telah menghubungkan antara langit dan bumi,antara akar dan pohon, dan antara aku dan Engkau”.
Yesus, dibalik setiap tetesan darah yang jatuh dari tubuhmu, ada seuatu rahasia yang hidup dan tak pernah terlihat oleh ku. Waktu terus berjalan, aku pun terus mencari tahu, apa makna dibalik semua hal yang terjadi pada sore itu.
Mungkin, mereka yang pernah hadir di bawah salib-Mu, pernah berkata-kata “apakah Engkau benar-benar mati, ataukah ada satu bagian dari diri-Mu yang hidup abadi dalam setiap jiwa yang mengingat-Mu?
Rasa penasaran ku seakan-akan hidup, dan menjadi sebuah pencarian yang tetap abadi. Misteri kematian-Mu, bagiku tak akan pernah pudar, sebab dalam setiap pertanyaan, aku di kuatkan oleh kebenaran yang akan tetap hidup.
Yesus, tubuhmu tak akan pernah kulihat, namun kisahmu selalu membara dan menghidupkan jiwaku. Dalam keheningan yang ku alami, terucap sebuah janji yang tetap kurasakan “Aku akan bangkit di hari ketiga”.
Itulah janjimu. Janji yang menembus ruang dan waktu, yang terus mengingatkan akau, bahwa kematian bukanlah akhir. Meskipun paku menusuk-Mu dan salib menorehkan luka, tetapi pengharapan akan terus hidup bagi semua yang percaya.
Aku yang diam dalam kesendirian mengetahui, bahwa kemataian-Mu bukanlah sebuah penderitaan, tetapi pengorbanan untuk kehidupan yang lebih sempurna.
Yesus, kisah-Mu adalah bukan sebuah kisah tentang seorang manusia yang mati, tetapi kisah kehidupan yang tak akan pernah berakhir.
Misteri kematian-Mu, telah mengajarkan aku untuk mencari kebenaran yang tetap terang, meski terkadang jawabannya lebih dari apa yang bisa kupahami.
Di balik misteri kematianmu, ada sebuah kehidupan yang baik. Dalam kesendirian Langkah yang aku ambil, ada jejak-jejak-Mu yang terus mengantar aku menuju terang, seperti terang yang pernah hadir di kala Maria melahirkan-Mu.
Maumere, 12 April 2025