Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Harimau sejati tak mengaum untuk ditakuti, ia melangkah hening demi menjaga dan menolong  yang lemah.

Peribahasa ini mengandung makna bahwa kekuatan sejati tidak perlu dipamerkan, dan pemimpin yang bijak bestari justru menggunakan kekuatan-kuasanyanya untuk melindungi, bukan mengeskploitasi yang papa miskin kota dan desa, kampung.

Seperti dalam fabel, sang Harimau menjadi simbol keberanian yang setia pada nilai-nilai luhur, memilih kesunyian penuh makna daripada kegaduhan yang kosong.

Logika Kalah Menang

Tiger sebagai raja hutan rimba raya kerap dijadikan lambang kekuatan mutlak—sosok yang menakutkan, tegas, dan tak tertandingi dalam wilayahnya, menjelma simbol dari hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menang.

Dalam pandangan ini, kekuasaan ditentukan oleh taring dan cakar, bukan oleh keadilan atau kebijaksanaan; yang lemah hanya punya dua pilihan: tunduk atau tergilas.
Kehidupan dalam logika “kalah-menang” semacam ini menciptakan dunia yang keras, di mana dominasi lebih dihargai daripada kolaborasi, dan takut lebih kuat daripada hormat.

Namun, Fable of happiness  mulai mempertanyakan narasi ini—benarkah kekuatan hanya untuk menaklukkan? Ataukah Tiger bisa juga menjadi pemimpin yang memilih untuk melindungi, bukan menguasai, dan menjadikan kekuatannya sebagai berkat, bukan ancaman, bagi rimba raya dan semua penghuninya?

Fable of Happiness

Fable of Happiness adalah sebuah konsep naratif yang menggambarkan pencarian manusia akan kebahagiaan sejati melalui kisah atau perumpamaan yang sarat makna moral dan refleksi hidup.

Dalam fabel ini, tokoh-tokoh—sering kali hewan atau karakter simbolik—mewakili nilai-nilai seperti kesederhanaan, kerja sama, keserakahan, atau pengorbanan, yang semuanya menggambarkan berbagai jalan dan jebakan dalam usaha meraih kebahagiaan.

Alih-alih mengejar kenikmatan sesaat atau kesuksesan material semata, fabel ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari kehidupan yang bermakna, relasi yang tulus, dan kesadaran akan kebaikan bersama.

Dengan cara yang sederhana namun mendalam, Fable of Happiness mengundang pembacanya untuk merenungkan ulang arah hidup mereka dan menempatkan nilai-nilai spiritual dan etis di atas ambisi pribadi.

Tiger

Di tengah hening hutan yang disinari lembut cahaya bulan, sang Harimau berjalan anggun—bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga rahasia kebahagiaan.

Bulu emasnya membisikkan kisah tentang keberanian yang tak selalu berarti menang, melainkan memilih diam dalam badai dan tetap setia pada langkah hati.

Ia pernah mengejar bayangannya sendiri, mengira bahwa kekuatan dan ketenaran akan memberinya damai, hingga suatu senja ia melihat bayangan seekor rusa yang minum di sungai—tenang, tak terusik, dan utuh.

Sejak itu, sang Harimau berhenti mengejar dunia, dan mulai menjaga ruang kecil di hutan tempat bunga-bunga liar tumbuh dan burung-burung bersenandung.

Dalam kesunyian yang dipeluknya, ia menemukan: bahwa kebahagiaan bukanlah takhta, melainkan irama kehidupan yang dijalani dengan cinta, keberanian, dan kesetiaan pada jiwa yang lembut.

Pemimpin Abad ke21

Pemimpin abad ke-21 hendaknya belajar dari sang Harimau bahwa kekuatan sejati terletak bukan pada dominasi, melainkan pada keberanian untuk hidup setia pada nilai-nilai luhur, menjaga harmoni, dan memimpin dengan hati yang penuh kasih.

Kepemimpinan abad ke-21, yang berada di tengah arus besar artificial intelligence (AI) dan digitalisasi, menuntut lebih dari sekadar kecakapan teknis dan penguasaan teknologi.

Di balik kecanggihan algoritma dan kecepatan informasi, pemimpin masa kini dihadapkan pada tanggung jawab moral yang jauh lebih besar: menjaga kemanusiaan dalam sistem yang kian terotomatisasi.

Dalam konteks ini, kepemimpinan bukan hanya soal efisiensi dan inovasi, tetapi juga tentang bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat nilai-nilai luhur seperti keadilan, empati, solidaritas, dan kejujuran.

Pemimpin yang setia pada nilai-nilai luhur akan menjadikan AI dan digitalisasi sebagai alat untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi, bukan sekadar lebih canggih.

Mereka sadar bahwa kebahagiaan sejati masyarakat tidak diukur dari pertumbuhan ekonomi atau data analitik semata, melainkan dari kualitas relasi antarmanusia, rasa aman, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Kepemimpinan seperti ini menolak untuk mengorbankan martabat manusia demi efisiensi sistem, dan justru berani memperjuangkan keputusan yang berlandaskan etika meskipun tidak selalu populer.

Karena itu, kebahagiaan berkelanjutan menjadi visi utama dari kepemimpinan abad ke-21 yang bermoral.

Di tengah transformasi digital yang cepat, pemimpin diharapkan mampu menjadi penjaga nilai, bukan hanya penggerak perubahan.

Mereka tidak hanya membangun jaringan, tetapi juga merawat makna; tidak hanya menciptakan sistem, tetapi juga menumbuhkan hati nurani kolektif.

Dalam kepemimpinan seperti ini, teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mewujudkan kehidupan yang lebih adil, damai, dan penuh harapan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Ruang Inklusif

Kepemimpinan seorang kepala sekolah yang belajar dari sosok Tiger dalam fable of happiness adalah kepemimpinan yang berani, setia, dan penuh kasih sayang dalam menghadapi tantangan dunia pendidikan.

Seperti sang Harimau yang memilih menjaga harmoni ketimbang mengejar kekuasaan, kepala sekolah berkomitmen mewujudkan kualitas pendidikan yang unggul bagi semua anak tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau kemampuan akademik.

Dengan setia pada nilai-nilai luhur dan cinta kasih Injil, ia menjadi gembala yang hadir, mendengarkan, dan melayani, membangun ekosistem sekolah sebagai ruang inklusif tempat setiap anak tumbuh dalam martabat, potensi, dan harapan.

Kepemimpinannya tidak hanya tampak dalam kebijakan dan program, tetapi dalam kehadiran yang menginspirasi dan keteguhan untuk tetap berpihak pada yang kecil dan terpinggirkan—karena pendidikan sejati adalah karya cinta yang memperjuangkan hidup yang lebih baik bagi semua.