Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Dalam dunia yang terus berubah akibat globalisasi, digitalisasi, dan krisis lingkungan serta krisis kemanusiaan, pendidikan harus mampu membekali generasi muda dengan keterampilan hidup seperti compassion, empati, kolaborasi, pemecahan masalah, dan ketahanan mental.
Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara pencapaian pribadi dan kontribusi terhadap kebaikan bersama, sehingga kebahagiaan tidak hanya bersifat individual dan sesaat, tetapi juga kolektif dan berkelanjutan.
Pendidikan yang bervisi holistik, humanis, dan ekologis adalah jalan bijak menuju terciptanya bumi sebagai rumah bersama yang penuh cinta, di mana manusia hidup selaras dengan alam demi kebahagiaan yang berkelanjutan bagi semua makhluk dan generasi yang akan datang.
Masyarakat Berkelanjutan
Masyarakat berkelanjutan (sustainable society) dalam konteks krisis planetari dan ekopedagogi berbasis cinta adalah komunitas yang secara sadar membangun kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologis yang seimbang demi kelangsungan hidup semua makhluk di bumi.
Di tengah ancaman perubahan iklim, kepunahan hayati, dan ketimpangan sosial yang semakin dalam, masyarakat ini tidak hanya mengandalkan teknologi atau kebijakan, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, empati, dan tanggung jawab moral terhadap alam dan sesama.
Ekopedagogi berbasis cinta menekankan pentingnya pendidikan yang menumbuhkan relasi harmonis antara manusia dan lingkungan, mengajarkan bahwa mencintai bumi adalah tindakan politik dan spiritual yang mendalam.
Dengan demikian, masyarakat berkelanjutan bukan sekadar tujuan teknis, melainkan hasil dari proses pendidikan yang memanusiakan dan menghidupkan kembali rasa cinta terhadap kehidupan itu sendiri.
Human -Centered- Society
Masyarakat berkelanjutan dalam konteks Society 5.0 adalah masyarakat yang memadukan kemajuan teknologi digital—seperti kecerdasan buatan, Internet of Things, dan big data—dengan nilai-nilai kemanusiaan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, inklusif, dan ramah lingkungan.
Society 5.0, yang berorientasi pada human-centered society, tidak hanya bertujuan meningkatkan efisiensi dan kenyamanan hidup, tetapi juga menjawab tantangan sosial dan ekologis seperti ketimpangan, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan melalui inovasi yang beretika dan berkelanjutan.
Dalam masyarakat seperti ini, teknologi bukan menjadi tujuan akhir, melainkan alat untuk memperkuat solidaritas sosial, memperluas akses terhadap kesejahteraan, dan menjaga harmoni dengan alam.
Oleh karena itu, keberlanjutan dalam Society 5.0 tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga moral, spiritual, dan ekologis, guna mewujudkan masa depan yang adil dan lestari bagi seluruh umat manusia.
Berkelanjutan
Keberlanjutan (sustainability) dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) mencakup upaya global untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan.
SDG menekankan bahwa pembangunan yang sejati harus memperhitungkan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.
Melalui 17 tujuan yang saling terkait—seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan berkualitas, energi bersih, serta aksi terhadap perubahan iklim—SDG mendorong negara-negara untuk mengambil tindakan terpadu yang berpihak pada manusia dan planet.
Dalam hal ini, keberlanjutan bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga menyangkut keadilan sosial dan tanggung jawab ekonomi jangka panjang.
Dalam perspektif ekologi holistik integral, keberlanjutan dipahami lebih dalam sebagai kesatuan spiritual, sosial, dan ekologis antara manusia dan alam semesta.
Pendekatan ini, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran seperti dalam ensiklik Laudato Si’ dari Paus Fransiskus, menolak pandangan terpisah antara manusia dan alam, serta menentang eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan dimensi etis dan relasional.
Ekologi holistik integral mengajak kita untuk menyadari bahwa kerusakan lingkungan adalah cermin dari krisis moral dan spiritual umat manusia.
Oleh karena itu, keberlanjutan harus dibangun di atas fondasi kesadaran akan keterhubungan yang mendalam antarsemua bentuk kehidupan, dengan cinta, rasa hormat, dan tanggung jawab sebagai dasar perubahan pribadi dan struktural.
Kebahagiaan
Kebahagiaan sejati, dalam kaitannya dengan moral, spiritualitas, dan pertobatan ekologis, bukan sekadar pencapaian materi atau kenikmatan sesaat, melainkan keadaan batin yang lahir dari kehidupan yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan, kasih, dan tanggung jawab terhadap ciptaan.
Moralitas menuntun manusia untuk bertindak adil dan bijak, spiritualitas memperdalam relasi dengan Tuhan dan sesama makhluk, sedangkan pertobatan ekologis mengajak manusia untuk meninggalkan gaya hidup konsumtif yang merusak bumi dan kembali pada cara hidup yang sederhana, bersyukur, dan peduli terhadap lingkungan.
Dalam kesatuan ini, kebahagiaan menjadi buah dari hati yang bersih dan penuh cinta, yang mampu melihat kehidupan sebagai anugerah yang harus dijaga dan dibagikan, bukan dieksploitasi.
Kebahagian Berkelanjutan
Kebahagiaan berkelanjutan adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bersifat sesaat atau individualistik, melainkan tumbuh dari kehidupan yang seimbang secara pribadi, sosial, dan ekologis, serta didasarkan pada kesadaran akan keterhubungan dengan sesama dan alam.
Ini mencakup pemenuhan kebutuhan batiniah seperti makna hidup, relasi yang sehat, dan rasa syukur, sekaligus menghindari pola hidup konsumtif yang merusak lingkungan dan memperparah ketimpangan sosial.
Dalam perspektif ini, kebahagiaan tidak diukur semata dari materi atau prestasi, tetapi dari kontribusi terhadap kebaikan bersama, keselarasan dengan alam, serta kemampuan untuk hidup secara autentik dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, kebahagiaan berkelanjutan menjadi visi hidup yang menyatukan kesejahteraan individu dengan keutuhan ciptaan dan keberlanjutan masa depan.
Visi Pendidikan holistik
Visi pendidikan yang holistik, humanis, dan ekologis menjadi sangat penting di abad ke-21 karena krisis kemanusiaan dan ekologis yang saling terkait—seperti ketimpangan sosial, degradasi lingkungan, dan krisis makna hidup—tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan pendidikan yang semata-mata teknokratis atau berorientasi pasar.
Pendidikan yang holistik mengembangkan seluruh dimensi manusia: intelektual, emosional, spiritual, dan sosial; pendidikan yang humanis menempatkan martabat manusia sebagai pusat pembelajaran; dan pendidikan yang ekologis menumbuhkan kesadaran akan keterhubungan manusia dengan seluruh ciptaan.
Visi ini mampu membentuk generasi yang berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab, yang tidak hanya mengejar keberhasilan pribadi tetapi juga kesejahteraan bersama dan kelestarian bumi.
Dengan demikian, pendidikan menjadi fondasi strategis untuk membangun peradaban yang mendukung kebahagiaan berkelanjutan bagi semua makhluk dan generasi yang akan datang.
Menurut Catherine O’Brien, pendidikan untuk kebahagiaan berkelanjutan adalah pendekatan yang mengintegrasikan pencapaian kesejahteraan pribadi dengan kesejahteraan kolektif dan ekologis, sehingga menciptakan landasan bagi masa depan yang harmonis dan berkelanjutan.
Ia menekankan bahwa kebahagiaan tidak dapat dipisahkan dari relasi yang sehat dengan diri sendiri, sesama manusia, komunitas, dan alam.
Dalam kerangka ini, pendidikan harus membekali peserta didik dengan keterampilan emosional, sosial, dan ekologis yang menumbuhkan empati, tanggung jawab, dan rasa keterhubungan yang mendalam.
Pendidikan semacam ini tidak hanya bertujuan membentuk individu yang sukses secara akademis, tetapi juga warga dunia yang peduli, tangguh, dan berkomitmen terhadap keadilan sosial dan kelestarian lingkungan, sehingga kesejahteraan yang dicapai benar-benar menyeluruh dan berjangka panjang.
Tinggalkan Balasan