Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Hormatilah anak sebagai subjektivitas manusia, dengarkan bisik batinnya dengan bahasa cinta yang lembut dan penuh ramah, santun, jujur, tulus dan kasih sayang, agar ia tumbuh utuh dalam pelukan holistik yang humanis dan selaras dengan alam, menapaki abad ke-21 bukan hanya dengan cerdas pikir, tapi juga bahagia jiwa dalam dunia yang lestari dan penuh harapan.
Menghormati hak anak sebagai subjektivitas manusia berarti mengakui bahwa anak bukan sekadar objek perlindungan, tetapi individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan kehendak sendiri.
Anak berhak untuk didengar, dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut dirinya, serta mendapatkan perlakuan yang menghargai martabat dan identitas pribadinya.
Hal ini mencakup hak atas pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, serta ruang untuk berekspresi dan berkembang sesuai potensinya.
Dengan memperlakukan anak sebagai subjek yang utuh, kita menanamkan nilai-nilai keadilan, empati, dan demokrasi sejak dini, serta membangun fondasi masyarakat yang lebih inklusif dan manusiawi.
Subjek Manusia
Pandangan filsafat manusia tentang subjektivitas menekankan bahwa setiap individu memiliki kesadaran, kehendak, dan pengalaman batin yang unik, yang menjadikannya sebagai pusat makna dan nilai dalam kehidupannya sendiri.
Subjektivitas ini menempatkan manusia bukan hanya sebagai makhluk biologis, tetapi sebagai pribadi yang otonom, reflektif, dan bertanggung jawab atas tindakan serta eksistensinya di dunia.
Anak sebagai subjektivitas manusia berarti melihat anak sebagai individu yang memiliki kesadaran diri, perasaan, dan pandangan unik terhadap dunia, bukan sekadar objek yang dipengaruhi oleh lingkungan.
Pandangan ini sejalan dengan teori Lev Vygotsky dalam bukunya Mind in Society (1978), yang menekankan bahwa perkembangan kognitif anak terjadi melalui interaksi sosial dan budaya, serta penggunaan bahasa sebagai alat berpikir dan berkomunikasi.
Vygotsky memperkenalkan konsep “zona perkembangan proksimal” (ZPD), yang menggambarkan jarak antara kemampuan anak untuk menyelesaikan tugas secara mandiri dan dengan bantuan orang lain yang lebih berpengalaman.
Menurut Vygotsky, anak belajar dan berkembang secara optimal ketika diberikan dukungan yang sesuai dengan ZPD-nya, memungkinkan mereka untuk mencapai potensi penuh mereka melalui interaksi sosial yang konstruktif.
Dasar Etis dan Kultural
Dari perspektif filsafat Pancasila, anak sebagai subjektivitas manusia dipandang sebagai pribadi yang memiliki nilai dan martabat yang luhur sejak lahir, sesuai dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui bahwa setiap manusia—termasuk anak—adalah ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dijunjung hak-haknya.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan bahwa anak memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan adil, serta mendapatkan kesempatan berkembang secara fisik, mental, dan spiritual.
Dalam konteks ini, anak tidak boleh dipandang semata sebagai objek pengasuhan, melainkan sebagai subjek yang berhak menyuarakan kehendaknya dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, anak dijunjung sebagai subyektivitas manusia dengan dihargai keberadaannya sebagai bagian integral dari bangsa, yang memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berkontribusi dalam kehidupan berbangsa tanpa diskriminasi berdasarkan gender.
Sila keempat dan kelima, yakni Kerakyatan dan Keadilan Sosial, menguatkan pentingnya keterlibatan anak dalam proses yang demokratis dan pemberian kesempatan yang setara agar mereka tumbuh menjadi warga negara yang utuh.
Dengan demikian, filsafat Pancasila memberikan dasar etis dan kultural yang kuat dalam menghormati anak sebagai subyek yang merdeka dan bermartabat.
Tanggung Jawab Moral
Peran utama dan pertama orang tua adalah tanggung jawab moral, sosial, dan emosional untuk mendidik anak dengan penuh cinta dan keteladanan agar tumbuh menjadi pribadi dewasa yang beradab, adil, dan mampu hidup harmonis dalam masyarakat yang manusiawi.
Sebagai pribadi yang hadir dari relasi cinta, anak bukan sekadar perpanjangan kehendak orang tua, melainkan individu yang memiliki hak untuk tumbuh sesuai kodrat dan potensinya.
Oleh karena itu, pendidikan oleh orang tua harus dilandasi rasa hormat terhadap kebebasan berpikir, perasaan, dan suara anak, serta komitmen untuk membentuk lingkungan yang aman, dialogis, dan mendukung perkembangan menyeluruh anak.
Dengan menghormati anak sebagai subjek, orang tua tidak hanya mewariskan nilai, tetapi juga menanamkan kepercayaan diri dan kemandirian yang menjadi bekal penting dalam kehidupan sosial dan spiritual anak.
Lingkungan Belajar Inklusif
Sekolah memiliki peran strategis dalam membantu orang tua dan keluarga untuk menumbuhkan subjektivitas anak sebagai manusia secara holistik dengan bahasa cinta, yaitu dengan mengembangkan potensi intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan fisik anak secara seimbang.
Melalui lingkungan belajar yang inklusif dan dialogis, sekolah dapat memperkuat kesadaran anak akan identitas diri, hak, dan tanggung jawabnya sebagai individu yang unik dan berharga.
Kurikulum dan metode pembelajaran yang humanistik serta partisipatif mendorong anak untuk berpikir kritis, berempati, dan mampu mengekspresikan gagasan serta perasaannya.
Dalam hal ini, sekolah tidak hanya menjadi tempat mentransfer ilmu, tetapi juga wahana pembentukan karakter, nilai kemanusiaan, dan kemampuan hidup bersama secara harmonis.
Lebih jauh, sekolah juga berperan dalam menanamkan kesadaran ekologis dan solidaritas global, agar anak mampu hidup bahagia secara berkelanjutan di planet bumi sebagai rumah bersama.
Pendidikan yang berwawasan lingkungan dan keadilan sosial mengajarkan anak untuk memahami keterkaitan antara dirinya dengan alam, masyarakat, dan masa depan generasi lain.
Nilai gotong royong, tanggung jawab sosial, serta kepedulian terhadap keberlangsungan hidup menjadi bagian dari proses pembelajaran yang membentuk anak sebagai warga dunia yang etis dan sadar akan peran aktifnya dalam menjaga bumi.
Dengan kolaborasi yang erat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, anak dapat tumbuh sebagai pribadi yang utuh dan mampu menghadirkan kebaikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kehidupan bersama.
Kolaborasi
Peran utama orang tua dan sekolah dalam mendidik karakter anak sebagai bagian dari pendidikan nasional tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh barak militer.
Orang tua berfungsi sebagai pendidik utama dan pertama, memberikan contoh perilaku, nilai-nilai moral, dan kasih sayang yang membentuk dasar karakter anak.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, memperkuat peran orang tua dengan menyediakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan karakter melalui kurikulum yang mencakup nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, dan gotong royong.
Kolaborasi antara orang tua dan sekolah sangat penting dalam menciptakan pembelajaran yang konsisten dan efektif dalam membentuk karakter anak.
Sementara itu, barak militer memiliki peran dalam pendidikan karakter melalui program-program seperti kegiatan bela negara yang menekankan kedisiplinan, nasionalisme, dan semangat kebersamaan.
Namun, pendekatan militer yang bersifat formal dan terstruktur tidak dapat menggantikan peran orang tua dan sekolah dalam membentuk karakter anak secara holistik.
Perbedaan signifikan antara pengasuhan dan pendidikan anak oleh orang tua dan guru di rumah dan sekolah dengan pendidikan oleh barak militer terletak pada pendekatannya, di mana rumah dan sekolah menekankan kasih sayang, dialog, dan pengembangan holistik anak, sementara barak militer lebih menekankan disiplin kaku, kepatuhan struktural, dan pendekatan seragam tanpa cukup ruang bagi ekspresi individual anak.
Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang melibatkan kasih sayang, komunikasi, dan pemahaman emosional yang lebih dalam, yang lebih mudah diterapkan dalam lingkungan keluarga dan sekolah.
Oleh karena itu, meskipun barak militer dapat mendukung pendidikan karakter, peran utama dalam mendidik karakter anak tetap berada di tangan orang tua dan sekolah.
Bahasa Cinta
Menghormati anak sebagai subjektivitas manusia dengan bahasa cinta yang ada di otak berarti menyapa dan membimbing anak bukan hanya dengan logika rasional, tetapi juga dengan empati yang dalam, kepekaan emosional, dan kesadaran penuh bahwa anak adalah pribadi yang sedang tumbuh dengan dunia batin yang kaya.
Bahasa cinta di otak mencerminkan integrasi antara nalar dan nurani—kemampuan untuk memahami anak melalui cinta, kehadiran, dan ketulusan, bukan sekadar perintah atau koreksi.
Ini menuntut orang dewasa untuk mendengarkan anak dengan kesadaran penuh (mindfulness), merespons dengan belas kasih, serta menciptakan ruang aman bagi anak untuk berpikir, merasa, dan menjadi dirinya sendiri.
Dengan pendekatan ini, anak tumbuh bukan hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga utuh sebagai manusia yang dihargai dan dimengerti serta lebih dari itu menjadi manusia pancasilais yang demokratis dan penuh tanggung jawab serta peduli. Terhadap orang lain dan alam di sekitarnya.
Tinggalkan Balasan