Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Di tengah arus zaman yang melaju deras tanpa henti, manusia senantiasa bergulat dengan realitas terdalam dari dirinya sendiri: siapa ia dalam tubuhnya, bagaimana ia mencinta, dengan siapa ia bersekutu dalam kehidupan, dan ke mana ia mengarahkan generasi masa depan.
Sosiologi seksualitas berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan cermat, mengungkapkan bahwa seksualitas bukan hanya urusan biologis, melainkan juga hasil dari pergulatan historis, sosial, kultural, dan moral.
Seksualitas manusia bukan sekadar hasrat yang membuncah dari dalam tubuh, melainkan narasi panjang tentang makna, nilai, norma, dan tujuan hidup yang mengakar dalam interaksi manusia dengan sesamanya.
Ilmu-ilmu modern, seperti psikologi, antropologi, dan kedokteran, memandang seksualitas dalam sudut-sudut kompleks.
Psikologi modern menguraikan seksualitas sebagai bagian integral dari identitas diri, yang membutuhkan penerimaan dan integrasi.
Antropologi mencatat betapa variasi ekspresi seksual melintasi budaya membuktikan bahwa seksualitas dibentuk oleh tatanan sosial.
Sementara itu, kedokteran menempatkan seksualitas dalam bingkai kesehatan, menggali relasinya dengan kesejahteraan fisik dan mental.
Namun semua perspektif ini, betapapun canggihnya, tetap membutuhkan pencahayaan nilai: bahwa seksualitas manusia memanggil tanggung jawab, bukan sekadar kepuasan.
Sosiologi perkawinan dan keluarga memperluas jangkauan refleksi ini, sebab dalam keluarga-lah seksualitas menemukan ruang suci untuk berkembang dalam cinta, kesetiaan, dan pengorbanan.
Perkawinan bukan sekadar kontrak sosial, melainkan ikatan suci yang membuka jalan bagi kelahiran, pendidikan, dan pembentukan insan-insan baru.
Keluarga menjadi komunitas cinta di mana manusia belajar menjadi pribadi utuh, berbagi, dan mengatasi egonya demi kesejahteraan bersama.
Ia adalah benteng terakhir tempat martabat manusia dipertahankan melawan derasnya arus dehumanisasi zaman.
Namun, sejarah mencatat bahwa keluarga bukanlah bentuk yang tetap dan abadi. Pada masa pra-industrial, keluarga bersifat besar, berfungsi sebagai unit produksi ekonomi, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Tetapi dengan hadirnya revolusi industri, keluarga perlahan berubah menjadi lebih kecil, lebih privat, dan lebih fokus pada fungsi afektif daripada ekonomi.
Keluarga modern menjadi tempat ekspresi emosi, bukan lagi pusat produksi barang dan jasa. Transformasi ini dipicu oleh berbagai faktor: urbanisasi, industrialisasi, peningkatan pendidikan, mobilitas sosial, serta perubahan nilai tentang kebebasan individu dan hak-hak pribadi.
Di tengah perubahan sosial yang begitu cepat, keluarga menghadapi tekanan moral yang tidak kecil.
Modernitas menuntut efisiensi, mobilitas, dan kompetisi; namun nilai-nilai itu seringkali menggerogoti ketahanan keluarga.
Ekspektasi hidup yang semakin materialistik memudarkan nilai kasih tanpa pamrih. Media dan teknologi mempercepat penyebaran nilai-nilai baru, tidak semuanya selaras dengan harkat kemanusiaan.
Realitas ini menantang keluarga untuk tetap setia pada esensinya: menjadi tempat manusia pertama kali mengenal cinta, menerima dan mengampuni.
Filsuf dan teolog Katolik mengingatkan bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana nilai-nilai kekal ditanamkan. Santo Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Familiaris Consortio, menegaskan bahwa keluarga adalah “jalan Gereja”, artinya tanpa keluarga yang sehat, Gereja sendiri akan melemah.
Filsuf Emmanuel Mounier, dengan visinya tentang personalisme, mengajarkan bahwa keluarga adalah tempat kelahiran pribadi-pribadi yang autentik.
Karenanya, realitas keluarga dewasa ini, dengan semua tantangan internal dan eksternalnya, menjadi medan perjuangan rohani yang tak boleh diremehkan.
Tantangan internal keluarga muncul dalam bentuk keletihan emosional, kegagalan komunikasi, perbedaan harapan, serta retaknya relasi akrab-hangat-mesra (AHM) yang seharusnya menjadi napas keluarga.
Tantangan eksternal pun tak kalah ganas: arus individualisme mendorong manusia untuk mengejar kepentingan diri, intoleransi menumbuhkan ketidakmampuan berdialog, sementara hostilitas menjebak manusia dalam sikap saling curiga dan permusuhan.
Keluarga, dalam situasi ini, terdesak untuk terus mempertahankan keutuhannya di tengah godaan perpecahan.
Persoalan-persoalan duri dalam saling mengasihi tidak dapat diabaikan. Zinah, perselingkuhan, dan perselisihan menjadi racun yang menghancurkan pondasi keluarga.
Pengkhianatan terhadap janji kesetiaan meluluhlantakkan kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun.
Selisih yang tidak terselesaikan dengan kasih menyebabkan jurang emosional yang dalam di antara pasangan maupun antara orangtua dan anak-anak. Jika tidak segera disembuhkan, luka-luka ini akan diwariskan lintas generasi.
Tak hanya itu, kultur sesaat yang mengagungkan kepuasan instan membuat kesabaran, komitmen, dan pengorbanan nilai-nilai dasar keluarga semakin langka.
Penyakit sosial seperti narkoba, kekerasan domestik, pornografi, dan judi merasuk ke dalam ruang-ruang keluarga, mencemari atmosfer suci yang seharusnya ada.
Di tengah ancaman ini, keluarga sering kali mengambil sikap defensif: menutup diri dari dunia luar, membangun tembok emosional, namun tanpa sadar justru mempercepat proses keterasingan antar anggotanya.
Memudarnya sikap AHM menjadi sinyal yang harus diwaspadai. Ketika keakraban berganti keterasingan, kehangatan berganti kedinginan, dan kemesraan berubah menjadi formalitas kosong, maka keluarga kehilangan rohnya.
Hubungan menjadi sekadar rutinitas, bukan lagi sumber sukacita dan kekuatan batin. Pada titik inilah problem psikologis seperti depresi, kecemasan, dan stres kronis mulai merayap masuk, menjadikan keluarga sebagai tempat penderitaan, bukan penghiburan.
Dalam terang iman Kristiani, hakekat seksualitas, perkawinan, dan keluarga menemukan pemenuhannya yang terdalam.
Seksualitas dipandang sebagai anugerah ilahi, panggilan untuk mencinta dengan segenap keberadaan, bukan sekadar aktivitas fisik.
Perkawinan dimaknai sebagai perjanjian kudus, lambang cinta Allah kepada umat-Nya, bukan kontrak yang bisa dibatalkan sesuka hati. Keluarga menjadi persekutuan hidup dan cinta, tempat setiap pribadi dihormati dalam keunikan dan martabatnya.
Lebih jauh, keluarga Kristiani dipanggil untuk menjadi Ecclesia Domestica, Gereja mini yang hidup. Sebagaimana dikatakan dalam Kitab Suci: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20).
Dalam keluarga, doa pertama diajarkan, iman pertama dipupuk, kasih pertama dirasakan.
Santo Paulus menulis, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Efesus 5:25). Suatu cinta yang setia, total, penuh pengorbanan dan pengampunan.
Dengan demikian, keluarga bukan sekadar institusi sosial, melainkan tempat kudus di mana cinta Allah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia yang terus berubah, keluarga dipanggil untuk menjadi mercusuar kebenaran, kasih, dan pengharapan. Mereka yang membangun keluarganya di atas dasar Kristus tidak akan tergoncang oleh badai zaman.
Pada akhirnya, marilah kita menyadari: di tengah segala perubahan sosial, tekanan budaya, dan tantangan moral, masa depan umat manusia bertumpu pada keberanian setiap keluarga untuk setia pada panggilannya yang luhur.
Dunia yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih damai bermula dari keluarga-keluarga yang menolak untuk menyerah pada arus zaman, yang tetap memelihara kasih, pengampunan, dan pengharapan dalam segala keadaan. Karena dalam keluarga, surga pertama kali mengetuk pintu bumi.
Tinggalkan Balasan