Oleh: Marselus Natar
Warga Ende
Dalam jagat humor yang sesekali menyelinap sebagai wahyu, Gus Dur pernah bersabda: “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.”
Sebuah kalimat yang terdengar seperti lelucon di warung kopi, tetapi menyimpan gemuruh kenyataan yang menyedihkan.
Pernyataan itu bukan sekadar kritik; ia adalah elegi dalam bentuk kelakar, satire dalam rupa guyon, peringatan dalam balutan tawa.
Kini, bertahun-tahun setelah tubuh Gus Dur beristirahat damai di Tebuireng, kelakarnya yang dulu membuat kita terpingkal kini justru membuat kita terdiam, lalu merinding. Gurauan itu berubah menjadi nubuatan yang tak terbantahkan.
Sebab kenyataan hari ini justru lebih mengerikan dari gurauan itu sendiri. Kita tidak hanya kekurangan polisi jujur. Kita bahkan mulai kehilangan kemampuan membayangkan bahwa kejujuran masih mungkin hidup dalam tubuh seorang anggota berseragam.
Dalam negeri yang menjunjung hukum—katanya—justru hukum itulah yang paling sering diperkosa. Dan ironisnya, pelakunya bukan orang jalanan, bukan kriminal bertato di lorong pasar gelap, melainkan penjaga hukum itu sendiri.
Beberapa waktu terakhir, berita tentang polisi yang memperkosa merebak seperti wabah.
Nama-nama berseragam itu masuk dalam daftar laporan kekerasan seksual, entah terhadap tahanan, korban, bahkan terhadap sesama aparat.
Kita membacanya dengan mata terbuka, tetapi hati yang kebas. Sebab tragedi itu bukan lagi kejutan, melainkan semacam kebiasaan baru.
Kabar yang dulunya menggemparkan kini hanya menambah satu baris angka statistik. Satu lagi nama yang ditambahi embel-embel “oknum”.
Ah, oknum. Kata penyelamat institusi. Dengan satu suku kata itu, lembaga membersihkan tangannya dari dosa anak kandungnya. “Itu bukan kami,” kata mereka.
“Itu hanya oknum.” Namun kita tahu, kata “oknum” bukan lagi penyaring, tapi penutup bau busuk yang tidak sanggup diredam oleh parfum integritas yang telah lama kadaluwarsa.
Bukankah kita dulu dibesarkan dengan semboyan yang mulia? Melindungi dan Mengayomi. Sebuah kalimat yang seharusnya terasa hangat, seperti selimut di malam yang dingin.
Namun kini, kalimat itu lebih menyerupai grafiti pada dinding penjara: terlihat, tapi tak menyentuh.
Ia menjadi slogan kosong, lebih pas dipajang di baliho ketimbang diterapkan di lapangan. Polisi yang memperkosa tak sekadar mengingkari tugasnya—ia menampar semua pengharapan rakyat terhadap negara.
Maka dari itu, betapa tepatnya warisan humor Gus Dur. Tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.
Patung polisi, ya, ia tetap tegak dalam diam. Tak menerima suap, tak membentak, tak mencaci, apalagi memperkosa.
Ia berdiri kokoh di simpang jalan, menjadi petunjuk arah yang netral, menjadi monumen dari harapan yang membatu.
Kita tidak bisa berharap padanya, tapi kita juga tidak takut padanya. Ia adalah bentuk paling steril dari fungsi kepolisian: tidak bergerak, tidak bersuara, tapi juga tidak melukai.
Lalu polisi tidur. Sosok ini pun jujur. Ia tak bicara, tak menilang, tak mengancam, tapi mengajarkan pelambatan. Ia tidak menilang pengendara, tetapi justru membuat pengendara melambat dengan sendirinya.
Ia adalah hukum yang tak berwajah, tak bertanya KTP, tapi efeknya nyata. Ia mengingatkan bahwa ada batas kecepatan, bahkan di jalan tanpa pos.
Polisi tidur memang tak bisa menangkap pencuri, tapi ia juga tak pernah memerkosa.
Dan Jenderal Hoegeng. Ah, nama yang kini seperti cerita rakyat. Ia digambarkan sebagai polisi yang jujur, sederhana, bersih, dan keras kepala dalam mempertahankan prinsip.
Tetapi mengapa justru ia terdengar seperti legenda? Karena dalam sistem seperti sekarang, integritas semacam itu lebih menyerupai gangguan.
Saking jujurnya, Hoegeng dianggap tidak normal. Orang jujur tak cocok di sistem yang mendorong pelapukan nurani. Ia adalah arkeologi moral dalam institusi yang kini lebih akrab dengan birokrasi perintah, bukan kebajikan.
Kita hidup di negeri di mana integritas dijadikan ikon museum, bukan bahan perekrutan.
Tidak heran, berita pemerkosaan oleh aparat tidak hanya menampar korban, tapi juga menampar kita semua sebagai warga negara.
Ketika pelindung justru menjadi pemangsa, apa arti hukum? Ketika keadilan diperkosa bersama tubuh korban, lalu siapa yang akan dihukum?
Mungkin inilah puncak absurditas modern yang kita nikmati bersama: ketika ketakutan datang bukan dari preman, melainkan dari mobil patroli.
Ketika anak-anak disuruh hormat kepada seragam, tapi tak pernah diajari bahwa tak semua pemilik seragam itu pantas dihormati.
Dan ketika rakyat, yang digadang sebagai pemilik kedaulatan, justru menjadi komoditas untuk laporan kerja dan objek kekuasaan yang sewenang-wenang.
Ada yang bilang, tak semua polisi seperti itu. Ya, tentu tidak. Sama seperti tak semua kucing mencuri ikan.
Tapi bayangkan: jika semakin sering seekor kucing ketahuan mencuri, lalu semua kucing membela dengan berkata “tidak semua kucing begitu”, pada titik apa kita berhenti memberi mereka akses ke dapur?
Ada yang lain bilang, kasus itu hanya satu-dua. Tapi angka satu pun cukup untuk membuktikan bahwa sistem sedang sakit.
Sebab satu pemerkosaan oleh polisi bukan sekadar kejahatan individual. Ia adalah kegagalan sistemik.
Ia menunjukkan bahwa proses seleksi, pembinaan, pengawasan, bahkan budaya institusi telah meloloskan predator ke dalam kandang domba.
Dan sialnya, domba-domba itu tak boleh berteriak. Sebab siapa yang akan membela mereka? Polisi?
Maka kita pun kembali ke Gus Dur. Tidak untuk tertawa, tapi untuk termenung. Betapa sebuah humor bisa menjelma peringatan.
Betapa sebuah canda bisa lebih jujur daripada pidato kenegaraan. Tiga polisi jujur, dan semuanya tak bernyawa.
Patung, tidur, dan Hoegeng. Kita tertinggal dengan institusi yang hidup, tapi tak lagi punya nurani. Seragam-seragam itu lalu lalang di jalanan, di televisi, di media sosial.
Tetapi tiap kali melihatnya, kita tak lagi merasa aman. Kita hanya berharap: semoga hari ini mereka tidak menambah satu berita lagi. Semoga malam ini, tak ada tahanan yang dijadikan mainan.
Sementara itu, korban masih menunggu. Menunggu keadilan, yang entah datang dari mana.
Mereka mungkin tak berharap banyak. Sebab mereka tahu, di negara ini, penegakan hukum kerap tergantung pada viral atau tidaknya sebuah berita.
Jika tidak cukup ramai, mungkin kasusnya tak akan sampai meja. Jika tidak cukup heboh, mungkin pelakunya hanya dimutasi. Jika korban terlalu miskin untuk bicara, maka negara pun akan terlalu tuli untuk mendengar.
Maka kita pun menghibur diri. Bahwa patung polisi masih berdiri. Polisi tidur masih berjasa. Dan nama Hoegeng masih terdengar di acara talkshow.
Kita berpegang pada sisa-sisa humor, karena hanya humor yang tersisa untuk melindungi akal sehat kita.
Namun sampai kapan? Sampai kapan kita terus mengandalkan kelakar Gus Dur untuk menutupi getirnya kenyataan? Sampai kapan kita terus menjadikan “oknum” sebagai penampung dosa, alih-alih memperbaiki sistem? Sampai kapan lencana menjadi tameng untuk kekerasan, dan semboyan dijadikan bualan?
Mungkin saatnya kita berhenti tertawa. Bukan karena lelucon Gus Dur tak lucu, tetapi karena dunia nyata kita sudah terlalu muram untuk ditertawakan. Dan barangkali, itulah tragedi terbesar kita: ketika kelakar menjadi kenyataan, dan kenyataan tak lagi bisa ditertawakan.
Tinggalkan Balasan