Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Paus Leo XIV membangun jembatan peradaban cinta dengan menyatukan keberagaman umat manusia melalui dialog yang tulus dan kasih yang melampaui sekat-sekat identitas.

Ia mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya perasaan, tetapi tindakan nyata yang mengangkat martabat setiap insan tanpa memandang latar belakang.

Dalam keteladanannya, cinta menjadi fondasi peradaban baru yang menolak kekerasan, merawat bumi, dan memperjuangkan keadilan dan damai sejahtera bagi semua.

Paus Leo XIV dapat merangkul  Donald Trump, Putin dan Xin Jin Ping sebagai sahabat dialog demi membangun jembatan perdamaian dan keadilan sosial ekologis antara dunia Selatan dan Utara.

Dengan bahasa yang lemah lembut dan penuh belaskasih, para pemimpin dunia ini  untuk jalan  bersama-sama mendengarkan jeritan bumi dan tangisan umat manusia yang terpinggirkan, membuka hati dan tindakan humanis  etis  terhadap harapan akan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Dalam perjumpaan dan dialog  yang dipenuhi tatabahasa cinta, para pejabat politik dan moral spiritual  dipanggil bukan untuk meniadakan perbedaan, melainkan untuk menenun simpul-simpul pengertian demi kesejahteraan bersama, seolah membisikkan bahwa damai bukan sekadar cita-cita, melainkan panggilan suci bagi setiap insan.

Perhatian Global

Sehari sebelum Konklaf, Donald Trump mengenakan busana layaknya seorang  Paus sebagai sebuah gimik yang mencengangkan publik, langkah yang tampaknya dimaksudkan untuk menarik perhatian global dan menegaskan kembali kehadirannya dalam percakapan politik dan spiritual dunia.

Dengan gaya khasnya yang teatrikal dan provokatif, Trump memanfaatkan simbol agung kepausan bukan sebagai bentuk penghormatan religius, melainkan sebagai pernyataan simbolik tentang kekuasaan, otoritas moral, dan pengaruh lintas batas.

Gimik ini memicu kontroversi luas, mencampuradukkan antara satire dan keseriusan, seolah ingin menunjukkan bahwa dalam era media dan citra, bahkan simbol-simbol sakral pun dapat dijadikan panggung untuk strategi personal.

Namun, tindakannya juga menyingkap ketegangan antara pencitraan politik dan makna spiritual yang seharusnya dihormati dengan kerendahan hati.

Yang diharapkan ketika para pemimpin politik dan moral spiritual berjalan bersama dalam dialog yang penuh keterbukaan dan kerendahan hati adalah terciptanya kesepahaman yang membangun keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bersama.

Daya Transformatif

Ketika kekuasaan dan otoritas moral sehati sepikir, menyatukan tekad untuk membangun jembatan perdamaian dan pengabdian cinta tanpa batas, terciptalah ruang harapan baru bagi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam perjumpaan antara kekuatan duniawi dan kebijaksanaan nurani, lahirlah gerakan yang tidak sekadar mengatur, tetapi merangkul; tidak sekadar memerintah, tetapi melayani dengan kasih.

Persatuan ini menjadi daya transformatif yang melampaui batas ideologi, agama, dan bangsa, menghadirkan wajah kepemimpinan yang membumi namun mengarah ke langit, di mana setiap tindakan dipandu oleh kerinduan untuk menegakkan martabat setiap insan.

Di sinilah cinta menjelma menjadi kebijakan, dan keadilan tumbuh dari bela rasa, menandai awal dari peradaban yang bersandar pada welas asih dan keberanian untuk menyembuhkan dunia yang terluka.

Jalan Lumpur

Leo XIV dikenal sebagai sosok yang penuh kasih dan empati, menjadikan kedekatannya dengan orang miskin sebagai wujud nyata dari cinta kasih Kristiani.

Ia tak segan berjalan di jalan berlumpur bersama rakyat kecil, merasakan penderitaan mereka, dan menjadikannya dasar perjuangannya dalam menegakkan keadilan sosial dan damai sejahtera.

Dalam setiap tindakannya, Leo XIV menunjukkan bahwa keberpihakan pada kaum terpinggirkan bukan sekadar retorika, melainkan panggilan hati yang diwujudkan dengan keberanian dan ketekunan.

Ia juga dikenal sebagai pelindung lingkungan hidup, memperjuangkan keadilan ekologis sebagai bagian dari tanggung jawab manusia terhadap ciptaan Tuhan.

Dengan bahasa cinta, ia menyatukan suara-suara yang tersisih dan menyerukan perubahan demi dunia yang lebih adil dan berbelas kasih.

Cinta Tanpa Batas

Ketika JD Vance menyatakan bahwa orang Kristen harus mencintai keluarga, tetangga, dan komunitasnya terlebih dahulu, ia menekankan pentingnya loyalitas lokal dan ikatan sosial yang dekat sebagai fondasi moral dalam kehidupan Kristen.

Pernyataan ini mencerminkan pandangan bahwa kasih sayang dan tanggung jawab dimulai dari lingkup terdekat—keluarga dan komunitas—sebelum meluas ke dunia yang lebih luas.

Dalam konteks ini, cinta dipahami sebagai sesuatu yang bersifat bertingkat atau hierarkis, di mana yang terdekat mendapat prioritas lebih tinggi dalam perhatian dan pengorbanan.

Namun, Robert Francis Prevost (Paus Leo XIV) menanggapi pandangan tersebut dengan keberatan, menyatakan bahwa cinta sejati, terutama dalam ajaran Kristen, tidak mengenal peringkat.

Baginya, cinta kasih tidak bisa dibatasi oleh garis keluarga, suku, atau nasionalitas, sebab cinta yang datang dari Tuhan bersifat universal dan tak terbagi.

Cinta Kristen yang autentik tidak menghitung siapa yang lebih pantas dicintai; ia mengalir bebas tanpa memilah dan memilih.

Pandangan Paus Leo XIV  menantang cara berpikir yang membatasi cinta dalam lingkup eksklusif,elitisme dan mengajak umat Kristen untuk mencintai tanpa syarat, sebagaimana Yesus mengasihi tanpa batas, terutama orang miskin, terpinggirkan, rentan dan rapuh.

Suara Profetik

Menurut Leo XIV, Gereja memiliki tanggung jawab moral spiritual yang mendesak untuk segera membantu korban kekerasan seksual, tanpa menunda atau menutupi kebenaran.

Ia menekankan bahwa penderitaan para korban tidak boleh diabaikan demi melindungi institusi, karena inti dari misi Gereja adalah menghadirkan kasih, keadilan, dan penyembuhan bagi yang terluka seperti para korban kekerasan seksual.

Dalam pandangannya, setiap bentuk kekerasan seksual adalah pelanggaran berat terhadap martabat manusia, dan Gereja harus menjadi tempat yang aman, bukan sumber trauma bahkan sumber kekerasan seksual.

Oleh karena itu, ia mendesak agar langkah konkret diambil—baik dalam pendampingan pastoral, bantuan psikologis, maupun keadilan hukum—untuk memulihkan para korban.

Leo XIV juga menegaskan bahwa tanggapan Gereja terhadap kekerasan seksual tidak boleh sebatas simbolis atau seremonial, tetapi harus mencerminkan pertobatan yang nyata.

Ia menyerukan reformasi struktural dalam sistem Gereja agar transparansi dan akuntabilitas ditegakkan sepenuhnya, tidak boleh menutup nutupi kekerasan seksual yang terjadi.

Bagi Leo XIV, pembelaan terhadap korban bukan hanya soal etika, tetapi juga soal kesaksian iman yang sejati: mencintai yang terluka dan menolak budaya bungkam yang telah merusak wajah Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus.

Dengan suara profetik, ia mengajak seluruh umat Katolik untuk berdiri di sisi korban, bukan pelaku, dan menjadikan keadilan sebagai wujud nyata cinta kasih Kristus.