[Sisipan kecil pasca-hari kebangkitan nasional]

Oleh: Florentina Ina Wai
Staf Publikasi dan Jurnal Ilmiah Stipar Ende

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei merupakan momen penting untuk mengevaluasi kemajuan Indonesia dalam menegakkan hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan.

Meskipun telah banyak upaya dilakukan, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu serius di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan data dari Polres Sumba Timur, tercatat 15 kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2022. Sementara itu, di Kabupaten Flores Timur, terdapat 20 kasus serupa pada tahun 2023.

Pada Februari 2024, seorang perempuan di Kabupaten Timor Tengah Utara mengalami cedera parah akibat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.

Kasus lain terjadi pada Januari 2025, ketika seorang perempuan di Kabupaten Kupang mengalami trauma psikologis setelah mengalami kekerasan dari pacarnya.

Data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tantangan yang perlu ditangani secara serius melalui perlindungan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat.

Hari Kebangkitan Nasional memiliki peran penting dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan.

Peristiwa ini menjadi momen refleksi bagi bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan memastikan perlindungan yang lebih baik bagi mereka.

Kesadaran terhadap isu ini perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua individu, khususnya perempuan yang masih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan.

Dalam semangat kebangkitan nasional, langkah konkret harus diambil untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan, terutama di wilayah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).

Peningkatan kesadaran, edukasi, serta kebijakan yang lebih tegas merupakan kunci dalam menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan.

Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai organisasi, diharapkan perempuan dapat hidup dengan lebih aman, sejahtera, dan bebas dari kekerasan.

Ketidaksetaraan gender merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kekerasan terhadap perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam perspektif feminisme radikal yang dikemukakan oleh Catharine MacKinnon, ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dapat menciptakan lingkungan di mana kekerasan menjadi alat kontrol sosial.

Di NTT, khususnya di daerah pedesaan, budaya patriarkis masih sangat kuat, yang sering kali menghambat perempuan untuk memperoleh hak yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan pengambilan keputusan dalam keluarga maupun masyarakat.

Dominasi laki-laki yang masih menjadi norma sosial di banyak komunitas menyebabkan perempuan mengalami keterbatasan dalam menyuarakan hak-haknya serta melawan bentuk kekerasan yang dialami.

Hal ini semakin diperparah dengan minimnya akses terhadap perlindungan hukum dan bantuan psikososial bagi korban kekerasan.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan di NTT harus mencakup perubahan struktural, seperti pemberdayaan ekonomi perempuan, edukasi gender bagi masyarakat, serta kebijakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi mereka.

Sejumlah pemicu hadirnya fenomena tersebut dapat diangkat. Pertama, stress sosial. Menurut teori stres sosial yang dikemukakan oleh Leonard Berkowitz, tekanan sosial yang tinggi dapat memicu perilaku agresif dan meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), stres sosial sering kali berasal dari kondisi ekonomi yang sulit, seperti kemiskinan dan pengangguran, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.

Faktor-faktor ini dapat menyebabkan individu mengalami ketegangan emosional yang berkelanjutan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap meningkatnya kasus kekerasan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan di NTT harus mencakup strategi yang berorientasi pada pengurangan stres sosial, seperti peningkatan kesejahteraan ekonomi, akses yang lebih baik ke layanan publik, serta edukasi mengenai pentingnya lingkungan yang aman dan berkeadilan bagi semua.

Kedua, kurangnya akses ke layanan.  Menurut teori aksesibilitas yang dikemukakan oleh Penelope Pether, keterbatasan akses terhadap layanan dapat menghambat korban kekerasan perempuan dalam mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), masalah ini masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah pedesaan yang terpencil dan jauh dari pusat kota.

Kurangnya fasilitas konseling dan bantuan hukum membuat banyak korban kesulitan memperoleh perlindungan serta pemulihan yang layak.

Oleh karena itu, peningkatan akses terhadap layanan pendampingan, edukasi hukum, serta jaringan perlindungan bagi korban kekerasan menjadi langkah penting untuk memastikan hak-hak perempuan dapat terpenuhi secara lebih baik.

Ketiga, budaya patriarkis. Budaya patriarkis yang masih kuat di Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama di daerah pedesaan, berkontribusi terhadap ketidaksetaraan gender dan meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan.

Dalam sistem sosial yang patriarkis, perempuan sering kali dianggap sebagai subordinat laki-laki, sehingga hak-hak mereka dalam berbagai aspek kehidupan—seperti pendidikan, ekonomi, dan pengambilan keputusan—menjadi terbatas.

Norma sosial ini dapat memperkuat dominasi laki-laki dan membuat perempuan lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan.

Oleh karena itu, upaya pemberdayaan perempuan melalui edukasi, perubahan kebijakan, serta peningkatan kesadaran masyarakat menjadi penting untuk mengurangi dampak budaya patriarkis dan menciptakan lingkungan yang lebih adil dan aman bagi perempuan di NTT.

Untuk menjawabi persoalan di atas beberapa solusi berikut ini dapat diinisiasi.

Pertama, meningkatkan layanan konseling. Menurut teori konseling humanistik yang dikemukakan oleh Carl Rogers, layanan konseling berperan penting dalam membantu korban kekerasan perempuan memulihkan diri dan mendapatkan keadilan.

Pendekatan ini menekankan empati, penerimaan tanpa syarat, dan dukungan emosional sebagai faktor utama dalam proses pemulihan.

Oleh karena itu, peningkatan akses terhadap layanan konseling psikologis dan pendampingan bagi korban kekerasan menjadi sangat penting.

Dengan adanya dukungan yang memadai, korban dapat memperoleh ruang aman untuk menyuarakan pengalaman mereka, mengatasi trauma, serta mendapatkan pemulihan yang holistik baik secara psikologis maupun sosial.

Langkah ini juga berkontribusi dalam mendorong kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan dan keadilan bagi perempuan yang mengalami kekerasan.

Kedua, meningkatkan akses ke bantuan hukum. Menurut teori bantuan hukum yang dikemukakan oleh Bryan Stevenson, akses terhadap bantuan hukum berperan penting dalam membantu korban kekerasan perempuan mendapatkan keadilan dan perlindungan.

Bantuan hukum yang memadai, termasuk layanan gratis dan pendampingan hukum, memungkinkan korban untuk memahami hak-hak mereka serta memperoleh perlindungan yang diperlukan dalam proses hukum.

Di banyak daerah, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT), keterbatasan akses terhadap bantuan hukum masih menjadi tantangan besar, terutama bagi perempuan yang menghadapi kekerasan.

Oleh karena itu, peningkatan layanan bantuan hukum, penyediaan sumber daya yang lebih luas, serta edukasi hukum bagi masyarakat menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa setiap korban memiliki kesempatan yang setara dalam memperoleh keadilan dan perlindungan.

Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat. Menurut teori kesadaran masyarakat yang dikemukakan oleh Paulo Freire, peningkatan kesadaran kolektif dapat berperan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan.

Kesadaran ini melibatkan pemahaman kritis tentang ketidaksetaraan sosial serta pentingnya menghormati hak-hak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan upaya edukasi yang berkelanjutan melalui kampanye publik, diskusi komunitas, serta integrasi nilai-nilai kesetaraan dalam sistem pendidikan.

Dengan membangun kesadaran yang lebih luas, masyarakat dapat lebih aktif dalam mencegah kekerasan serta menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan mendukung bagi perempuan.

Sebagai catatan akhir, peringatan Hari Kebangkitan Nasional menjadi momen penting untuk merefleksikan komitmen bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengakhiri kekerasan terhadap mereka.

Dengan meningkatkan kesadaran dan menciptakan sistem yang lebih adil bagi perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT), kita berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan sejahtera bagi semua.

Upaya ini perlu diwujudkan melalui peningkatan layanan konseling dan bantuan hukum bagi korban kekerasan, serta edukasi berkelanjutan untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan.

Dengan langkah-langkah konkret dan dukungan dari berbagai pihak, perempuan dapat hidup dengan aman, terhormat, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.