Oleh: Efraim Mbomba Reda
Beberapa hal dalam hidup mungkin tidak akan sepenuhnya digenggam tanpa pernah bisa kau lepas, tetapi idealnya sebuah mimpi perjuangan seorang pendobrak mampu mendekati atau melampaui itu. Kita tidak sedang berpikir soal keberuntungan atau kemenangan yang datang tiba – tiba seperti ‘uang kaget’, untuk seorang manusia keberuntungan perlu dipandang sebagai berkat. Bukan tujuan.
Alih – alih kehidupan, kebencian selalu membawa manusia menjumpai kebencian yang lebih besar. Sebab, sebagian besar kekurangajaran di dalam kehidupan sosial – politik berasal dari kaum terpelajar. Degradasi moral menjadi sorotan utama kehidupan berbangsa. Sebab kini, kejernian berpikir tentang etika dan moral hanya milik petani kecil, bukan politisi sejati.
Tidak tahu faktor apa yang mendasari kecemburuan sosial, yang aku temukan ini atas dasar bopengnya wajah pendidikan, atau bisa jadi sebaliknya. Disebabkan karena ketidamampuan dalam menghadapi ‘raksa kehidupan’. Yang aku lihat, air muka pelajar banyak berubah sejak menjelajahi bangku kuliah.
Sore itu, suasan sepi membungkus diri. Kegundahan berkelana di dalam kepala sampai menjadi jeket tebal bagi pemilik pikiran. Mungkin karena kegelisahan membuat dingin tidak lagi dipedulikan. Obrolan yang tadinya stagnan kini beranjak sampai membanding – bandingakan kehidupan pribadi dengan kehidupan orang lain.
“ Si Junior rupanya sudah wisuda.”
“ Itu sih, sebebnarnya tidak menjadi masalah buat saya.”
“ Tetapi, setidaknya dia sudah mendahului kita kan?”
“ Yang terlambat bukan berarti kalah kan?”
“ Itu memang benar. Kita akan selangkah lebih maju jika mengambil semangat belajarnya.”
“ Saya tidak peduli soal itu. Dia secara sisi emosionalanya belum pantas bagi saya.”
“ Sisi optimisnya itu luar biasa. Dia membuktikan itu. Kuliahnya hanya tiga setengah tahun. Jujur saja, kita sebenarnya dalam keadaan emosi menilainya.”
Obrolan dua orang sahabat tentang teman mereka yang sudah lebih dahulu wisuda. Ternyata Mahasiswa tidak sekuasa Maha dalam menilai. Mereka masih saja subyektif, tidak ada kesan netral yang seharusnya diperbincangkan oleh kaum terpelajar.
Tidak seindah mahasiswa, masalah pelajar adalah masalah kaum muda. Kedewasaan rupanya bagi mereka tidak bisa diukur dari seberapa cepatnya seorang merebut gelar sarjana, melainkan hanya kuasa pengalaman yang bertindak untuk menata emosional seorang manusia.
“ Kau yang menilainya dengan emosi! Aku tidak!”
“ Pandai sekali kau mengelak.”
“ Saya bicara apa – adanya.”
“ Saya sudah lama mengenal kau.”
“ Alasan ini tidak menjadi dasar yang tepat untuk menjastifikasi pikiran saya.”
“ Oke, tapi barangkali mengenalmu adalah juga mengenal pikiranmu! Kalau kita terbuka, apa pekerjaan kita selama ini? Hanya bersenang – senang. Mendengarkan musik pagi siang malam tanpa tujuan. Bermimpi dan membiarkan mimpi itu hilang waktu bangun pagi.”
“ Asal kau tahu, kesuksesan hidup tidak diukur dari seberapa cepatnya kau menempu pendidikan!”
Rupanya kebimbangan kaum pelajar lebih besar bersemayam di dalam pikiran. Memenuhi ruang kegelisahan sepanjang menempu pendidikan. Menginjak bangku mahasiswa rupanya sudah mulai mengenal hidup sesungguhnya.
Ada ketakukan untuk melangkah mencapai ambang batas kemampuan. Gejolak jiwa disana berkeliaran tak tentu arah entah itu salah siapa. Banyak yang mulai menyalahkan pemerintah dengan keadaan demikian, serta pendidikan sekarang hanya menghabiskan uang orangtua serta memperpanjang masa remaja.
Aku mulai menganalisah menjumpai kenyataan demikian. Yang menjadi titik reflektif untuk kita adalah setiap gejolak sosial lahir dari keadaan tidak hanya kekeringan nasionalisme, melainkan ada yang sedang dirugikan.
“Lihatlah, pembicaraanya tiap hari berbeda dengan kita. Dia bicara tentang kemanusiaan, ketidakadilan, degradasi moral, kita bicaranya apa? Hanya berkisar tentang dosen lucu, wanita, mabuk – mabukan, dan pesta!”
“ Apa kamu meragukan dengan kehidupan yang telah kamu jalani? Kamu takut dengan hidup yang apa adanya?”
“ Masalahnya bukan itu, kita terlalu lalai dan acuh.”
“ Terserah, tetapi sesuatu akan selalu indah pada waktunya.”
“ Kita yang menentukan indahnya sebuah waktu.”
“ Kau terlalu memaksakan keadaan.”
“ Sesekali kita memang harus seperti itu.”
Ketakutan untuk ditinggalkan oleh tujuan yang sama kadang kala muncul pada saat – saat genting. Pada waktu ketika teman seperjuangan telah mendahului mereka. Perasaan genting itu muncul seperti hantu yang selalu menakut – nakuti perjuangan dengan arah yang sama.
Lebih dari itu, tarik – ulur lebih jauh, itu bukan hanya sekedar ketakutan, tetapi cemburu. Jarang sekali yang berusha berpikir positif dan melampau itu. Aku menyadari pula bahwa orang – orang yang tidak berpikir kritis akan dengan mudah dikikis oleh kekritisan orang lain.
“ Tidak hanya itu, kita selama ini terlalu apatis dengan semua yang kita lihat, orang bicarakan, serta yang kita jumpai. Kita hanya menertawakan orang – orang yang bicaranya tentang nasionalisme, kebangsaan, padahal nyatanya kita ini anak Fisipol. Apakah kau tidak menyadari kalau itu adalah salah satu dari sekian banyak kesalahan berpikir kita selama ini? Kita harus lebih cepat menyadari itu.”
“ Mengapa kau selalu menyamakan atau membandingkan hidupmu dengan hidupnya. Kau punya jalan sendiri untuk menentukan setiap mimpimu. Kita mungkin akan jatuh pada setia pengalaman yang paling mengenaskan. Kita mungkin akan tersungkur pada setiap ketamakan yang meniduri kebaikan. Meskipun demikian, kita tetap kita, bukan dia, bukan mereka.”
Temanya bicara dengan nada keras, panjang, serta kedengaranya sedikit kasar mengingat sedari tadi dia terus dilemparkan asumsi yang akhirnya membuat dia gerah. Dia adalah orang – orang yang tidak ingin disalahkan karena membanding – bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Tidak tahu apa alasannya, orang ini terlalu sensitif untuk membanding – bandingkan hidup!
“Dengan cara berpikir seperti itu, kita memang tidak akan menjadi kita, bukan dia, bukan mereka, tetapi kita tidak bisa menjadi kita yang berguna untuk dia dan mereka! Kita adalah kita yang tidak punya apa – apa.”
“ Kau pikir gunanya hidup itu agar kau kelihatan berguna bagi orang lain? Tidak sesederhana itu, ini bukan zaman kolonialisme, kau tidak akan kelihatan seperti Soekarno, Hatta, atau Syahrir.”
Sudah jelas sekali orang – orang yang apatis adalah orang – orang yang dasar pemahamannya adalah kenyataan – kenyataan yang menggilas pikiran sendiri, tanpa pernah berpikir sebuah kemungkinan yang sungguh – sungguh lain.
Membalikan pusat pemikiran dengan dominasi pada kenyataan sama sekali tidak mudah. Sebab bagi mereka, idealisme, optimisme, serta pikiran positif lainnya juga kadang menipu. Hanya memberika kembang bunga segar yang beberapa hari lagi akan layu juga.
Sebab, dibalik apatis itu pengalaman yang mengenaskan sudah cukup membodohi mereka. Betapa setiap usaha yang mereka lakukan tidak membawa mereka ke mana – mana selain tetap di sebuah kos kecil, kamar kemomos yang sebebanrnya terlalu sesak untuk ditinggal oleh dua anak remaja yang postur tubuhnya cukup besar.
Malam berwangi kejam telah datang meneyelimuti kedua insan yang dibungkus dengan berbagai problema. Senja sudah diusir dengan kasar, sebab bagaimanapun kegelapan juga punya kuasa layaknya terang. Mengupas keterlambatan menempuh pendidikan rupanya tidak hanya soal lalai atau malas yang mengental, melainkan ada duka yang tidak menampakan dirinya. Disanalah derintanya, lahir dari kenangan, serasa ada sebuah mimpi yang telah menipu mereka.
“ Kita dari daerah yang sama dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Saya dulu sudah mulai bermimpi, awal ketika saya memulanya Bapak meninggal karena kecelakaan. Dua bulan kemudian kakak juga meninggal. Saya dan ibu nyaris gila, mengapa segala sesuatu bisa sedemikan jahatnya? Waktu itu aku kelas 3 SMA, Bapak sudah berjanji untuk menguliahkan saja di Bali, namun peristiwa itu cukup membunuh perasaan saya dan ibu. Pada akhirnya, saya memang di sini, tetapi untuk mendatangkan saya ibu harus menjual dua ekor sapi warisan peliharaan ayah. Dan sekarang saya tidak tahu ibu kerjanya apa, sebab yang saya tahu harta kami hanya itu. Hanya dua ekor sapi yang sudah dijual.”
Hidup tidak bisa diduga – duga. Seakan setiap langkah selalu menyayat peri kemanusiaan. Lantas, kegoyahan iman juga kehidupan, bukan bagian dari hidup.
“Sebab yang saya tahu kekayaan saya sekarang bukan tentang seberapa banyak mimpi yang hidup di dalam benak, melainkan ketiadaannya yang saya miliki. Saya sudah bertahun – tahun belajar untuk menerima pedihnya duka, dan kau baru memulainya. Kau belum merasa kejamnya hidup! Dunia dihidupi oleh nasib, bukan harapan!”
Mendengar itu, jantung sahabatnya berdegub kencang, wajahnya pucat pasih. Tidak pernah menyangka kalau ada kenangan yang terlalu kejam yang dialami oleh sahabatnya ini, hingga dia memutuskan untuk berhenti bermimpi.
Baru pada saat itu dia menyadari bahwa ada kegetiran milik sahabatnya yang tidak dia ketahui selama ini. Dia merasa bersalah sebagai seorang sahabat sejati yang tidak tahu apa – apa tentang sahabatnya.
“ Lalu jika setelah saya mendapatkan gelar sarjana dan tidak mendapatkan kerja, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan ibu. Dunia adalah besarnya nasib, bukan kecilnya harapan.”
Melontarkan kedengkian tentang hidup itu seperti menghembuskan nafas. Tidak ada akhir dan ujung. Manusia punya beribu kenangan yang tidak mampu dipikul pada pundak. Dera itu kerjam menikam cinta, pedih menindih kasih. Tidak tahu sampai kapan duka itu akan using, untuknya dia terlalu berdosa kalau tidak sempat menyahkan ‘anugerah’. Sebab hidu sudah mengambil semua yang dia punya.
Sahabatnya tidak bisa bicara banyak. Dia berpikir ini bukan waktu yang tepat untuk ‘korban nasib’ dengan kata – kata mutiara atau ungkapan – ungkapan yang berubunga – bunga. Rupanya benci bukan sekedar kata, dia segera menyadari bahwa itu adalah samudera.
Disana luasnya iman bergejolak tidak henti mengirim badai. Burung yang terbang pada cakrawala serta senyuman merah jingga waktu matahari tenggelam hanya sekedar panorama. Keindahan hanyalah tipuan yang sesungguhnya nyata adalah badai dan sengsara.
Manusia sudah saksikan apa jadinya ketika samudera marah pada daratan. Gedung – gedung beton runtuh disapu bersih, tembok – tembok besar dihantam dengan keras, tidak peduli pada istana Negara, samudera melahap dengan ganas. Bak raksasa lapar mencari mangsa, begitulah samudera bicara. Begitulah hidup bertindak. Hidup adalah raksasa lapar yang sudah memakan semua hartanya. Ayahnya, saudaranya.
Di balik semua keputusan dan pertimbangan rasional yang didasarkan pada suatu penilaian yang obyektif, bersamayam sesuatu yang tidak kasat mata, yang menentukan arah jalan seorang nahkoda ketika mengambil sebuah keputusan waktu badai menghadang cepat tanpa bisa dibaca. Sesuatu itu yang disebut iman. Dan iman cinta, mimpi oleh sahabatnya telah kering. Junior menjadi anugerah untuk perbincangan mereka malam ini. Dia akan membawa kemabali pada sahabanya ini pada iman untuk mencinta dan bermimpi.
“ Apa mimpimu dulu?” Tanyanya pelan.
“ Melihat ayah, saudaraku, dan ibuku tersenyum bangga waktu aku mengenakan toga.”
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Warmadewa Denpasar – Bali, Penulis Novel ‘Pikiran Itu Nyata’ Terbitan Nusa Indah Tahun 2015