Redaksi, Vox NTT-Gaduh. Itu mungkin kata yang paling layak untuk menggambarkan dinamika politik yang makin pelik belakangan ini.
Setiap hari, berbagai fenomena sosial-politik selalu memberikan kejutan-kejutan terbaru lewat isu yang tumpang-tindih di media mainstream, media daring maupun media sosial.
Hampir semua energi kita habis terkuras untuk saling berbalas opini di ruang public. Jagat public sepertinya telah keluapan informasi hingga tak mampu lagi dicerna oleh akal waras.
Pasalnya, kabar hoax dipilih sebagai senjata ampuh untuk menghancurkan lawan politik dibandingkan pertarungan gagasan, nilai dan integritas. Nyaris tak ada remah kebenaran yang ditersisa ketika public juga terlarut dalam kepalsuan informasi yang beredar saat ini.
Membiarkan diri untuk terus terlarut sebenarnya sinyal kuat bahwa bangsa ini sedang terjebak dalam kebuntuan logika akut. Belum sempat mengupas suatu isu, muncul lagi isu terbaru yang lebih menarik dan sensual.
Pikiran dan perasaan kita pun sepenuhnya dikendalikan oleh dominan informasi yang beredar. Selanjutnya, cara kita bersikap, bergaul dan bertutur seperti tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditanamkan dalam budaya bangsa.
Banyak orang nimbrung serta secara tak sadar di dalam “mainstream” ini. Mereka memiliki selera informasi yang sama dan memiliki pola pikir yang sama. Informasi yang viral atau diviralkan pun menjadi semacam kebenaran umum tanpa ada usaha kritis untuk melihat fakta.
Masalahnya, kemampuan untuk mencerna isu-isu tersebut lebih lambat dari pada produktivitas isu yang terus mengalir ke dalam logika public.
Usaha untuk menelaah kebenaran infromasi kalah cepat dengan reproduksi isu yang terus dipompa ke ruang public. Alhasil, isu yang simpang siur dan tak waras sekalipun diterima sebagai kebenaran, lalu menyulut kebencian hingga membakar amarah dan fanatisme sempit.
Beragam masalah ini membuat bangsa dan Negara ini tenggelam dan terlarut dalam kegaduhan semu tanpa makna. Seperti terjebak dalam labirin gelap, kita sepertinya telah mati langkah untuk mencari jalan keluar.
Polisi memang mulai menguak pelaku penyebar hoax ini dalam sindikat saracen. Dari kasus ini, kita baru sadar bahwa semua kegaduhan ini ternyata sengaja dirancang untuk tujuan-tujuan tertentu. Namun itu bukan satu-satunya solusi tanpa ada penguatan basis intelektual, emosional maupun spiritual masyarakat.
Pada titik ini, kita, baik sebagai pemerintah maupun sebagai warga pembaca wacana perlu memberi ruang hening untuk kembali pada kesadaran eksistensial.
Pemerintah dan seluruh elemen bangsa ini seharusnya lebih cepat mengatasi kegaduhan ini jika memberi diri secara total dalam keheningan.
Belajar untuk hening di tengah kegaduhan ini memang bukan hal yang mudah. Keheningan atau silentium bahkan menuntut kita untuk menanggalkan sementara ‘kenikmatan tubuh’ yang kerap membatasi diri dari kebajikan.
Terlena dalam kegaduhan adalah bukti bahwa kita enggan untuk mencari waktu silentium agar hati jernih dan budi menjadi bening dalam membaca wacana yang beredar.
Setiap masalah yang tidak dihadapi dengan hati yang hening dan budi yang jernih justru melahirkan ketidakjujuran, pembodohan, hingga keputusan fatal. Kesempitan berpikir kemudian dianggap sebagai keutamaan. Kemalasan untuk bersikap kritis dianggap sebagai watak mulia, dan kepatuhan buta dianggap sebagai ciri orang bijaksana.
Pada gilirannya, keyakinan mayoritas dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tak boleh dipertanyakan. Padahal, mayoritas kerap kali jatuh pada rayuan media yang seringkali sesat dan penuh kepentingan politik kotor.
Mengenai silentium, Presiden pertama RI, Soekarno sebenarnya telah mewariskan budaya hening dalam setiap permenungan kehidupan bangsa. Bahkan rumusan Pancasila ditemukan Bung Karno dalam situasi hening di bawah pohon sukun di Ende, Flores, NTT.
Dinamika kehidupan Bung Karno dari pembuangan ke pembuangan pun tak absen dari keheningan politiknya. Kemampuannya untuk merefleksi bahkan mengkontemplasikan dinamika politik zaman itu memberi sumbangsi besar dalam perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini.
Pemikiran maupun kebijakan politik Soekarno hampir tak pernah padam dari sejarah dan peradaban. Gagasannya mampu melampaui zaman meski dinamika perubahan sosial terus bergulir dalam waktu, meski tahun vivere pericoloso menyerempet bangsa dalam bahaya.
Kondisi saat ini juga menuntut kita untuk hening sejenak sebelum terhanyut pada titik tak bisa balik dimana perpecahan menjadi nyata dalam masyarakat Indonesia.
Hanya dengan silentium kita dapat menemukan matahari yang dapat mengeluarkan bangsa dan Negara ini keluar kegaduhan pelik tak berujung ini.
Dengan silentium kita dapat mengasa nurani untuk bening melihat masalah sehingga dapat melihat secara jernih sebelum keburu memberi komentar apalagi membagikannya di dinding facebook, twitter, WA, Line dan akun media sosial lainnya.
Ingat! Kualitas diri dan peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh kesanggupannya untuk hening ketika nilai-nilai sosial-politik makin terbalik di ruang publik. (Irvan Kurniawan/VoN).