Catat di Hati
Sepenggal cerita kemarin selalu tertata di hati
Namun ada sebait kata yang aku ingat
Ya…kalimat keramat yang kau ucap
Telah aku tulis abadi di hati
Hari apa dan tanggal berapa malam itu
Kau berjanji tak akan mengucap cinta lagi untukku
Kau benar adanya
Mungkin saja kau lelah
Mengejar rasamu yang tulus
Yang mengalir di tiap kanal nadimu
Kau benar adanya
Aku biarlah tinggal di sini dengan sebongkah asa yang bingung
Bias Cahaya
Pagi selalu menepati janjinya
Ketika harum melati di sudut jendela menyeruak
Selalu ku dapati bias cahaya yang mengetuk-ngetuk mimpiku
Mengenangmu
Aku mengenangmu dengan rindu yang mencekik
Dan…
Pernah ku sapa dengan segala haru yang tumpah
Seperti sepuluh purnama lalu
Mengenangmu masih dengan seribu rindu
*Lidia Tokan, penikmat puisi dan suka menulis puisi. Bukunya yang telah terbit berjudul Keluh Senja Mengejar Cakrawala (Antologi Puisi Bersama). Penerbit Kandil Semesta 2016. Saat ini tinggal di Batas Kota-Lewoleba,Lembata.
Puisi dan Jejak Kenangan
Catatan Redaksi Oleh Hengky Ola Sura
Apa yang paling diingat dari lakonan peristiwa? Baik susah dan senang, semuanya akan bernama kenangan. Dan tiga puisi dari Lidia Tokan pekan ini adalah catatan atas jejak-jejak kenangan yang dihadirkan untuk membawa kita semua yang menikmati puisi-puisinya untuk ikut mengenang jejak-jejak lakonan perisitiwa hidup kita. Puisi yang dihadirkan Lidia bisa jadi satu cara unik untuk mendamaikan yang namanya susah juga senang.
Pada puisi Catat di Hati dan puisi Mengenangmu ada serupa perasaan sedih, terluka-susah. Sedangkan pada puisi Bias Cahaya tampak ada harapan untuk meraih kebahagiaan juga kegembiraan. Cahaya bisa jadi serupa pemantik yang membakar daya juang untuk bangun dan giat mewujudkan mimpi-mimpi.
Permenungan tentang kenangan bersentuhan dengan waktu dan sejarah, tentang mengingat dan melupakan. Tentang yang harus ditinggalkan dan yang harus digapai. Filsuf Walter Benyamin bilang, kalau terlampau banyak dilupakan maka kita tak cukup modal untuk hidup tetapi kalau terlalu banyak dikenang maka kita akan terbenani untuk maju.
Maka tiga puisi dari Lidia Tokan bisa jadi semacam peneguhan yang menyeruak ingatan-ingatan kita untuk mendamaikan yang namanya susah dan senang. Lalu terus berikthiar untuk menjadi lebih baik. Puisi-puisinya adalah satu cara mengenang yang unik.
Tiga puisi kali ini memang masih berbicara tentang kenangan-kenangan (baca, kenangan pribadinya Lidia Tokan) yang mengabadikan lakonan persitiwa jadi puisi.
Toh bisa jadi ikut membawa semua kita yang membacanya untuk sejenak tercenung dengan lakonan peristiwa kita. Yang patut diingat dari semua yang ikut menulis puisi adalah bahwa ketika diperkenalkan kepada publik setiap puisi dibebaskan dari kerangkeng privasi dan mengembara.
Bisa jadi harapan akan jejak kenangan dari Lidia Tokan lewat tiga puisinya pekan ini ikut membawa kita semua yang membaca puisi-puisinya untuk mengenang jejak peristiwa hidup kita.
Lebih jauh tentang kedalaman dari mengekspresikan jejak kenangan, saya kira puisi-puisi Lidia kali ini masih tampil datar tapi mengalir. Belum sepenuhnya menampakan metafora atau personifikasi yang mengejutkan.