Cerpen Milla Lolong*
Agustus hendak berakhir. Di luar, pucuk-pucuk pohon mengering dan ranting-ranting kerdil kehabisan daun, karena panas membakar. Di jalanan, kerikil-kerikil semakin tajam menusuk kaki para pejalan kaki yang pergi memburu rasa. Senja merengkuh gelap dan malam akan datang menemui segala kesibukan. Liburan segera berakhir. Ada setumpuk gelisah menempel kuat pada raut wajah Julia yang sedang berlibur di kampungnya. Gadis dengan raut oval, rambut lurus nan lembut serupa benang pintalan ibunya itu gusar akan hari yang kian gelap. Hari baru akan datang dan ia harus pulang pada tempat di mana dia mamahat aksara, mengejar cita pun cinta.
Sehari sebelumnya, ia sibuk mengemas pakaian dan segala barang yang hendak ia bawa serta. Ia membungkus semuanya itu dengan rapih, serupa ia membungkus segala pesan yang disampaikan sahabat kenalannya. Ia akan merindukan segala kenangan liburan dengan rindu serupa kumis lelaki yang selalu tumbuh walau selalu dicukur dengan silet yang paling tajam.
“Pergilah. Kejarlah citamu baik-baik. Jangan terlalu lama di luar sana dengan hal-hal yang tidak penting bagimu.” Jordi, mantan kekasihnya mengirim pesan singkat. Sederhana pesannya tapi penuh makna. Julia membaca pesan singkat itu, lalu mengucapkan terima kasih kepada lelaki yang pernah mengisi hari-hari hidupnya. Lelaki yang akhirnya memilih menikah dengan seorang gadis kampung, teman seangkat Julia lantaran Julia tak lekang pulang dari tanah seberang mengais ilmu. Ah! Sudahlah. Hidup terkandang terlalu rumit bila terus dipikirkan. Ia menggenggam handphone sambil matanya melirik ke luar melalui jendela yang masih terbuka.
“Aku harus melupakan Jordi karena apapun alasannya, ia telah memutuskan yang terbaik untuk hidupnya. Dan lelaki yang mencintaiku sekarang adalah kerinduanku yang tersisa.” Julia membathin di sudut jendela.
Julia masih menerawang jauh di hadapan jendela terbuka. Banyak hal berlarian di kepalanya. Ia memikirkan Rino, lelaki yang mencintainya dengan rindu yang tak pernah lekang. Lelaki yang membuat ia nyaman selepas kepergian Jordi. Ia merindukan Rino yang membungkus rindu dengan senyum yang kuat saat perjumpaan terakhir mereka kemarin. Perjumpaan yang menyisahkan banyak kenangan untuk liburan kali ini. Rino banyak berpesan untuknya sebagaimana laki-laki yang takut kehilangan kekasih hatinya. Mereka sering bertemu dan bercinta di tempat terang maupun gelap, disiang hari maupun di malam hari. Di tengah keramaian pun di tempat paling rahasia. Darinya, Julia tahu bayak hal tentang kehidupan. Mereka bercinta sehabis-habisnya, serupa dua sejoli yang takut tidak ada lagi hari esok yang datang seperti hari ini. Inilah alasan mengapa Julia dikerubungi gelisah yang mendalam akan kepergiannya esok mengais cita. Namun, demikianlah hidup. Mesti ada perpisahan yang paling sakit biar kita tahu indahnya perjumpaan.
Di dapur, ibunya begitu sibuk menyiapkan segala sesuatu yang hendak Julia bawa pergi. Dengan hati-hati, ibunya membungkus jagung titi hasil usahanya sendiri. Ada pula sedikit beras yang ia tumbuk di lesung dengan tangan yang tak lagi kuat, ikan asin yang ia dapatkan di pasar siang tadi, dan beberapa buah nenas hasil kebun yang ia rawat dengan penuh harapan, doa, cinta dan air mata. Ibunya membungkus semua itu dengan cinta yang berbalut air mata. Julia diam memerhatikan tangan ibunya yang kian keriput. Ia yakin cinta ibu padanya lebih tua dari tangannya.
“Nak, baik-baik di sana. Belajarlah dan bergunalah bagi sesamamu. Jika kelak usai sekolahmu, kembalilah karena masih banyak yang harus engkau selesaikan di tanah lahirmu. Ayahmu semakin tua dan sakit-sakitan. Ia tak lagi kuat bekerja, sedang adik-adikmu membutuhkan biaya untuk sekolah mereka.” Ibunya memandangnya penuh kasih.
Julia tak mampu menahan rindu dan cinta yang hidup di hadapannya sekarang. Ia memeluk ibunya dengan kuat, sekuat lengannya menghalau rintangan. Mereka meneteskan air mata, setelah kata tak mampu lagi diucapkan bibir. Di luar, gelap makin dekat. Mereka menguburkan perpisahan dengan rindu dan cinta yang dekat, sedekat pelukan mereka berdua. Sedang di kamar, ayah terbatuk-batuk karena sakit. Julia yakin, ayah mendengarkan semua pesan ibu untuk masa depannya. Dalam pelukan ibunya, ia mendoakan ayahnya. Ia adalah rindu yang tak pernah lekang dalam terik dan gelapnya hari.
Sebelum tidur, diam-diam Julia menguping ibu membangunkan ayah. Mereka berdua kemudian perlahan-lahan menuju kamar Julia. Julia merasa dari simpul jemari yang rentah dan letup bibir ibunya, ada bisikan paling keramat dan ayah Julia mengamininya. Tanpa disadarinya tiba-tiba Julia meneteskan air mata setelah ibu dan ayahnya ke luar dari kamarnya. Di kepalanya kini hanya ada nama ayah dan ibunya. Ia berusaha memejamkan matanya, tetapi entahlah. Ia merasa tak ingin tidur lagi. ia ingin berjaga hingga pagi benar-benar terang. Hingga, pagi-pagi benar datang, ia lupa bahwa ia sungguh nyenyak atau tidak, bermimpi atau tidak, malam tadi.
Keesokan harinya ketika hendak pergi, dari jauh terdengar deru kendaraan melaju lalu berhenti tepat di depan rumah Julia. Julia memeluk ayah dan ibunya dengan pelukan yang paling lekat. Seakan tak ingin terpisah. Kemudian, ayah dan ibunya membasahi jempol lalu mengoles pada jidat Julia. “Baik-baik di sana.” Bisik ayahnya dengan suara tahan tangisan sambil membelai rambut Julia. Kata-kata itu seakan mewakili seluruh kata dalam kepala dan hatinya. Ibunya menunduk mengusap air mata. Julia melangkahkan kakinya keluar dengan langkah paling kuat menahan air mata yang paling dalam. Ayah dan ibunya menatap dari balik tirai jendela sambil mengusap air mata. Ada seutas senyum terbaring sumringah di bibir. Dan Julia membungkus semua itu dengan cinta, harapan serta doa yang paling agung. Demikianlah cinta bagi Julia. Cinta itu serupa sesuatu tanpa kata yang melahirkan dan membesarkannya. Tepat di ujung kampung, di bawah pohon di mana ia dan kekasihnya beradu cinta, ia melempar senyum dengan satu doa sederhana: Semoga cinta kami nanti akan subur, serupa pohon-pohon musim hujan.
Medio Agustus, 2017.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Ekonomi. Universitas Flores. Menyukai ngobrol lepas, suka melamun dan sesekali menulis.
Catatan Redaksi
Oleh: Engky Ola Sura
Cerpen Perihal Pulang dan Cinta karya Mila Lolong hadir mendayu-dayu. Tak ada kejutan besar yang ditonjolkan Mila sang cerpenis kita pekan ini. Pembaca tentunya ikut berharap konflik batin tokoh Julia cukup membuat dada pembaca berdegup. Sayang itu tak nampak.
Mila hanya melaju dengan kisah yang sedih tetang ayah yang sakit. Ibu yang mati-matian ikut bekerja. Dua kisah ini seharusnya dinarasikan tidak dengan bahasa yang mendatar saja. Secara teknis Mila cukup menggugah pembaca hanya belum taktis membuat dada pembaca ikut berdegup. Satu yang cukup juga mengganngu alur adalah Mila memasukan kisah cinta Julia dengan kekasih barunya.
Tampak tidak terlalu berlebihan soal menjalin percintaan baik dalam suasana terang dan juga gelap seturut bahasanya Mila, sayang ini tidak terlalu mewakili harapan yang seharusnya didaratkan tentang kesusahan ayah dan ibunya. Salut untuk Mila yang terus berbenah dengan karya-karyanya.***