Oleh: Yusta Roli Ramat
Kualitas pendidikan merupakan persoalan banal di Indonesia. Banalitas kualitas pendidikan terjadi di semua level mulai dari jenjang pendidikan terendah yaitu PAUD hingga ke jenjang pendidikan tertinggi di perguruan tinggi. Praktik negatif yang terjadi dalam dunia pendidikan merupakan persoalan serius dan mendasar. Sebab, jika pendidikan dianggap sebagai parameter peradaban sebuah bangsa maka kualitas sumber daya manusia menjadi agenda penting yang harus dikerjakan dan karena itu laik didiskusikan. Sebagai sebuah lembaga, pendidikan menjadi institusi terpenting dan paling bertanggung jawab dalam meningkatkan Sumber daya manusia. Sebab kualitas generasi penerus bangsa sangat tergantung pada kualitas pendidikan itu sendiri.
Data menunjukan bahwa di bulan September tahun 2015 lalu, Menteri Riset Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) telah menonaktifkan 243 kampus bermasalah di Indonensia. Dalam beberapa soal, terjadi praktik pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh beberapa oknum di Perguruan Tinggi. Dengan membayar 60 juta hingga 70 juta kepada pengelolah kampus, mahasiswa sudah bisa mendapatkan ijazah strata tiga. Dalam konteks ini, persoalan kualitas menjadi tanggung jawab dua pihak. Mahasiswa dan lembaga pendidikan pemberi ijazah.
Tidak Jujur
Persoalan di atas menjadi sebuah awasan keras bagi dunia pendidikan di Indonensia serta seluruh pihak yang berkepentingan dalam tubuh institusi ini. Kita patut berkaca pada beberapa kampus yang bermasalah serta nasib naas yang dihadapi mahasiswa dan alumni. Hal yang harus dingat bahwa implikasi penonaktifan kampus tak hanya berakibat pada terganggunya aktivitas belajar mengajar. Ribuan ijasah yang juga dinyatakan tidak sah meyebabkan sulitnya alumni mendapatkan pekerjaan pada sektor tertentu.
Bersamaan dengan beragamnya tawaran menarik dari berbagai lembaga pendidikan yang berseliweran di mana-mana serta hiruk pikuk orang tua dan anak untuk memasuki lembaga pendidikan baru menjadi bagian penting dari realitas ini. Kita semua tentu berharap agar tak ada lagi mahasiswa yang menjadi korban polemik kampus. Karena itu, penting agar orang tua dan calon mahasiswa baru untuk lebih cermat dan kritis dalam memilih kampus. Sebab sebagai manusia yang cerdas kita tak boleh terjebak pada hiperrealitas media yang terlampau tinggi mempromosikan realiatas lembaga pendidikan tertentu, yang sebenarnya jauh dari kenyataan asli.
Kita semua harus mengambil hikmah dari kejadian ini. Saya berkeyakinan bahwa yang melakukan praktek negatif serta memiliki kualitas yang rendah tidak hanya beberapa kampus yang dinonaktifkan oleh Dikti. Masih banyak kampus dan sekolah yang mempraktikan tindakan curang tersebut. Soal aktor dan locus serta motivasi tindakan menjadi tugas bersama untuk dibongkar dan diperangi. Inilah penyakit yang harus segera kita musnahkan bersama.
Soal besar ada di sini. Sebagai lembaga yang menjaga dan memelihara nilai kejujuran, lembaga pendidikan ternyata menjadi entitas primer dan paling pertama yang mengajarkan ketidakjujuran. Sebuah realitas antagonistik muncul di sini.
Saya tidak sedang menunjuk kampus dan sekolah mana yang bermasalah dan mana yang tidak. Yang ingin dikatakan adalah kualitas manusia Indonesia sangat tergantung pada kualitas proses dalam kampus dan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Sebab, jika sebuah bangsa menganggap rendah pengaruh pendidikan bagi kemajuan bangsa maka kesejahteraan bangsa hanya akan menjadi mimpi belaka. Sebab, keterbelakangan edukasi seringkali menjadi hambatan serius dalam proses pembangunan dan kemajuan masyarakat.
Harus Berbenah
Harus diakui bahwa masalah pendidikan tidak lepas dari peran dan tanggunng jawab institusi itu sendiri. Jika kita menelaah lebih dalam pada problem beberapa kampus yang dinonaktifkan, akar persoalan kampus itu sendiri berasal dari peran setiap elemen institusi itu. Manajemen pendidikan yang amburadul menjadi terlampau menggejala.
Perspektif organisasi menyebutkan bahwa sebuah institusi terdiri atas para pejabat yang diangkat. Fungsinya pun beragam. Selain untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers), terdapat pula lembaga subsistem yang mendukung posisi lembaga yang bersangkutan. Karena setiap elemen menyelenggarakan pelayanan publik (Civil Service) maka lembaga pendidikan berwatak sosial.
Idealnya, institusi merupakan suatu sistem rasional dengan struktur yang terorganisir. Sebuah lembaga dirancang sedemikian rupa guna pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien. Di dalamnya terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan.
Tanggung jawab setiap bagian mengalir dari atas ke bawah secara vertikal dan mendatar secara horizontal. Sebuah institusi akan berjalan dengan baik jika setiap elemen yang menempatkan posisi dalam struktur sebuah institusi dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Setiap elemen tidak dibenarkan menunjukan karakter individu dalam sebuah struktur yang ada.
Ini bertujuan agar lembaga tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuannya untuk meminimalisasi persoalan yang mungkin akan terjadi.
Dengan logika seperti itu, kita bisa memeriksa kampus yang dinonaktifkan. Dalam beberapa kasus, beberapa kampus yang dinonaktifkan itu tidak memiliki izin operasional. Masalah di kampus lain terjadi karena dualisme pengelolah dan pejabat kampus. Yang terlihat, ambisi pribadi dibawah ke ruang institusi umum. Kekuasaan menjadi variabel penting di sana.
Menurut Weber, dalam tubuh institusi terdapat sistem kekuasaan di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Namun, tak jarang juga kita temukan penyimpangan di sana. Terjadi mekanisme illegal-irasional. Karena kekuasaan, penguasa tidak tunduk pada aturan. Lalu, irrasional terjadi saat perilaku pejabat institusi pendidikan sulit dipahami.
Entitas subordinat tetap tunduk pada atasan hanya karena posisinya sebagai bawahan. Jika subordinat tidak melakukan perintah superordinat maka akan berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka.
Oleh karena itu, ada lima prinsip yang perlu diperhatikan disini yakni prinsip kolegialitas, prinsip pemisahan kekuasaan, prinsip amatir, prinsip demokrasi langsung dan prinsip representasi. Prinsip kolegialitas menkankan bahwa, setiap orang yang memiliki kemampuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Harus diakui bahwa dalam sebuah institusi satu atasan mengambil satu keputusan sendiri.
Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. Sementara itu, dalam prinsip pemisahan kekuasaan, dilakukan pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Pemisahan kekuasaan dapat membatasi akumulasi kekuasaan. Prinsip administrasi amatir dibutuhkan tatkala elit lembaga tidak mampu menjalankan tugasnya sendiri.
Oleh karena itu elit dapat memanfaatkan berbagai potensi yang ada. Dalam kasus kampus, elit kampus dapat memakai jasa mahasiswa untuk membantu pekerjaanya. Namun, harus dibawah pengawasan pihak yang bertanggung jawab. Sementara konsep demokrasi langsung berguna dalam membuat pertnggungjawaban atas tugas yang diemban seseorang. Di sana kita mengenal sistem fit and proper-test oleh kelompok ahli tertentu dalam wilayah kampusnya. Ini berguna agar pejabat yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada masyarakat kampus secara keseluruhan. Sedangkan prinsip representasi didasarkan pada pengertian bahwa seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya oleh karena itu keputusan yang dibuat juga harus mewakili pemilih.
Lima prinsip utama yang disodorkan di atas hemat saya sangat penting untuk diperhatikan oleh elit kampus. Berbagai hal ini perlu dilakukan dalam pembenahan sistem kampus dan kekuasaan yang amburadul. Di sana dibutuhkan revolusi pola, mental dan moral dari elit-elit kampus itu sendiri. Kualitas dan profesionalitas elit pendidikan merupakan hal yang paling utama yang harus diperikasa. Pola kegiatan kampus yang tertutup dan kaku ini harus dibuka. Transpransi harus benar-benar ditegakan.
Harus diingat bahwa kampus adalah ruang ilmiah yang menjunjung tinggi nilai obyektivitas dan rasionalitas. Primordialisme dan ego pribadi harus disingkirkan. Mari berbenah!!!