Oleh : Cyprian Guntur*
Beberapa hari terakhir media sosial lokal di NTT khususnya di kabupaten Manggarai sedang ramai meributkan kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”.
Kalimat ini menjadi trending topic dalam berbagai level diskusi. Pro-kontra dan silang pendapat pun tak terhindarkan, bahkan di kalangan orang Manggarai sendiri.
Dalam berbagai diskusi pun baik para netizens dan warga net seperti facebook dan group-group WhatsApps maupun dalam pertemuan-pertemuan kelompok di dunia nyata perang argumentasi pun digelar. Masing-masing pihak teguh berpegang pada kebenaran argumentatif menurut versinya.
Bagi kelompok kontra, kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” merupakan bentuk kampanye rasis (baca primordialisme) dari pasangan calon Gubernur/wakil gubernur tententu yang berasal dari Manggarai (kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur yang kerapkali disebut sebagai Manggarai Raya).
Bagi kelompok kontra, dengan mengungkapkan kalimat ini, orang-orang yang berasal dari Manggarai menutup diri terhadap kehadiran suku-suku lain dari luar mereka.
Jadi, dengan mengungkapkan kalimat ini, orang-orang Manggarai sedang menggaung-gemakan kesukuan dan ketertutupannya, extra Manggarai nulla benne – bahwa di luar Manggarai tidak ada kebaikan atau hal yang baik.
Sedangkan kelompok pro melihat kalimat ini bebas dari politic interest (kepentingan politik) dengan melihatnya secara obyektif dari sudut pandang budaya Manggarai in sic.
Menurut kelompok pro, generasi zaman now Manggarai berkewajiban untuk melestarikan nilai-nilai kultural, sosial dan moral yang telah dipatrikan para leluhur secara turun-temurun kepada generasi Manggarai.
Generasi zaman now Manggarai telah dan secara pelan-pelan meninggalkan frase Tinu sangge’d papi agu toing data tu’a (melestarikan kiat-kiat dan wejangan-wejangan para leluhur).
Dari konteks ini jelas bahwa kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rasisme, primordialisme atau arogansi kultural kemanggaraian. Justru sebaliknya dengan kalimat ini orang Manggarai mengenal jati dirinya, mengetahui identitasnya, siapa mereka dan darimana arkhe-nya (Yunani : asal-muasal).
Terinspirasi oleh polemik tak bertepi ini, yang cenderung mengarah ke debat kusir, maka penulis merasa terpanggil untuk mencoba menarasikannya.
Pertama-tama penulis mencoba ber-googling untuk mendapatkan inspirasi guna memahami makna kalimat di atas. Harapnnya akan mendapatkan inormasi dari tulisan-tulisan terkait budaya Manggarai yang pernah ditulis para pendahulu.
Tujuannya untuk sekedar mendapatkan referensi dan menguatkan argumentasi penulis terhadap makna kalimat ini. Namun upaya itu nihil.
Karena kurangnya referensi tentang makna kalimat ini, maka penulis mencoba mengupasnya dari sudut pandang penulis sendiri (personal opinion) yang bisa saja subyektif dan mempribadi sifatnya.
Oleh karena itu, analisis lain dari para sahabat untuk saling memperkaya sangat dibutuhkan. Sebabnya? Karena walaupun variation est delectat (kepelbagaian itu menyenangkan), tetapi sangat menyenangkan jika kesepakatan itu menemukan titik jumpa (concensus est delectat).
Maka agar mendekati dapat menemu-kenali konsensus bersama (walaupun itu cukup sulit hemat penulis), penulis mencoba persuasive dengan nalar sendiri. Dan untuk meredam makna bersayap yang kerapkali disangkut-pautkan dengan Pilgub NTT penulis mencoba netral.
Jadi, nukilan berikut tak ada sangkut pautnya dengan pesta demokrasi di NTT. Apalagi mengaitkannya dengan pasangan calon (paslon) tertentu dari 4 Paslon yang akan berjibaku pada Pilgub NTT 27 Juni 2018.
Penulis hanya mencoba mengupas makna quotation itu dari sudut pandang budaya Manggarai. Penulis akan mencoba menarasikannya dari beberapa sudut pandang antara lain : makna linguistik, makna historis, makna cultural dan makna ekonimo-sosialnya.
Sudut pandang linguistik (gramatikal-leksikal-sintaksis dan morfologis)
Secara leksikal dan gramatikal Kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”, dapat dijelaskan sebagai berikut. Sekarang kita mengacu pada kalimat di atas. Jelaslah bahwa kalimat ini terdiri dari 9 kata.
Kata-kata ini tetap memiliki makna jika berdiri secara sendiri-sendiri. Kata Nèka diterjemahkan sebagai kata larangan ‘jangan’, tèing adalah memberi/membiarkan, tangè (bantal), bèrit (menyadar/ sandaran), ‘jaga’ (supaya / agar), jaja (menjajah/ menguasai), lata (merupakan kata jadian dari sub kata le dan ata. le artinya oleh dan ata artinya orang), tana (tanah/bumi), Manggarai (sebutan untuk 3 kabupaten di Provinsi NTT yaitu Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur).
Maka secara hurufiah atau literasi kalimat “nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” diterjemahkan sebagai “Jangan memberikan atau membiarkan orang lain menempati bantal sandaranmu, supaya mereka tidak menjajah Tanah/bumi Manggarai”.
Sedikit tentang frase tangè bèrit ini. Secara literasi arti dari frase tangè bèrit adalah bantal sandaran yang ditempatkan dan merapat pada suatu obyek entah dinding rumah, pohon atau kayu penopang/ tiang, semacam sandaran di kursi.
Apa maknanya? Agar kita tetap aman dan nyaman saat bèrit (menyandarkan) punggung di bantal sandar itu tatkala kita duduk dalam durasi yang cukup lama ketika ada sèkèk (ritual adat atau semacamnya).
Tangè bèrit ini juga memberikan kita kesempatan, agar mengikuti acara yang tengah berlangsung dengan seksama. Karena jika kita duduk tanpa tangè bèrit besar kemungkinan kita mudah lelah atau capeh. Kita juga gampang gagal fokus karena bagian pantat dan belakang terasa sakit.
Hal itu yang menyebabkan kita tidak nyaman untuk duduk dalam durasi waktu yang lama dan menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkan tempat duduk.
Landasan Historis (aspek Sejarah)
Bagi orang Manggarai yang pernah mendengarkan atau bahkan pernah mendendangkan lagu “Guru Ame Numpung” frase “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” merupakan penjabaran paci tuan Petrus yang terkenal dengan nama pahlawan “Motang Rua” dengan nama lain Guru Ame Numpung (sebagai salah satu pahlawan dari Manggarai).
Saat itu makna kalimat di atas adalah keteguhan, ketangguhan dan keberanian Motang Rua dan kawan-kawannya untuk tidak membiarkan “tana kuni agu kalo” atau “Osang momang Congka Saè” (sebutan lain untuk tanah Manggarai) kepada orang lain.
Konon, untuk mengusir musuh yaitu Belanda dan Jepang, Motang Rua dan pasukannya menggunakan pering lolo-harat (bambu runcing-tajam), korung/wokat (lembing) dan kopè lewè/banjar (parang panjang), juga cola (kampak).
Secara bergerilya entah dengan mbeko pèpot (pakai dukun untuk menghilang) atau dengan bersembunyi di gua-gua dan hutan-hutan. Dengan dukun dan benda-benda tajam itulah Motang Rua dan pasukannya melibas siapapun musuh yang dijumpainya.
Dengan demikian Motang Rua, menantang orang Manggarai dengan kata “Eme ranim hau nana” (Kalau Anda berani atau tangguh/jago maka janganlah Anda membiarkan Tana Manggarai untuk dijajah orang lain). Atau dengan kata lain, jangan sampai orang lain menguasai Tana Manggarai.
Konteks sejarahnya adalah pengusiran para penjajah baik itu dari dalam negeri seperti Bima, Goa, Makasar maupun dari musuh manca-negara seperti Holandia (Belanda) dan Nippon (sebutan kala itu untuk Negara Jepang sekarang).
Tak selangkah pun Motang Rua mundur karena menyadar pada tangè bèrit (sandaran) yaitu nilai-nilai budaya yang sangat kuat. Jadi, makna frase tangè bèrit kala itu lebih bermakna sebagai benteng pertahanan untuk melawan musuh. Juga sebagai lambang ‘lalong tana” (jantanya orang Manggarai).
Dengan bersandarkan pada kepemilikan itu Morang Rua tidak mudah dipukul mundur oleh pasukkan musuh. Motang Rua deri wa’i agu menggi lime (tanam badan) pada tangè bèrit-nya untuk mengusir para pencuri tana Manggarai. Itu sedikit makna kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” dari konteks sejarah.
Landasan Kultural (dari perspektif budaya Manggarai)
Pada zaman dahulu, tangè bèrit ini hanya boleh digunakan oleh tu’a golo atau tu’a adat (Kepala Kampung dan Kepala Kebun). Juga untuk orang terhormat atau senior-senior di suatu kampung.
Tidak etis dan tidak dibenarkan tangè bèrit ini digunakan oleh ata taki mendi (budak/jongos/opas atau pesuruh). Mengapa? Sebab tangè bèrit ini hanya boleh digunakan oleh seorang pemimpin kampung atau sesepuh yang dituakan di kampung.
Selain karena senioritas, yang menggunakan tangè bèrit ini juga merupakan lambang kebesaran seorang pemimpin kampung, kepala suku dan orang-orang yang dituakan di sebuah kampung.
Tangè bèrit ini adalah lambang kebesaran, power atau kewibawaan kepala kampung atau ketua suku. Itulah sebabnya tidak sembarang orang yang menyandarkan dirinya pada tangè bèrit itu.
Konon, bagi orang-orang berpengaruh sebagaimana disebut di atas biasanya memiliki tiga buah bantal yaitu tangè lonto (bantal utuk duduk), tangè hang (bantal untuk makanan yang ditempatkan di depan), dan tangè bèrit (bantal untuk menyandar).
Landasan Sosial-Ekonomi
Lalu bagaimana kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”, dilihat dari kehidupan sosial dan ekonominya? Kita semua tahu bahwa tanah Manggarai itu adalah tanah subur.
Apa saja yang ditanam bisa bertumbuh dengan suburnya. Ada begitu banyak tanaman perdagangan dan perkebunan serta holtikultura yang bertumbuh subur. Bahkan tanpa dirawat secara intensif pun.
Itulah sebabnya, zaman dahulu hasil sawah dan perkebunan orang Manggarai selalu berlimpah. Demikian juga manusianya. Selain tanah yang subur, para leluhur Manggarai juga terkenal sebagai petani yang rajin dan pekerja keras.
Tidak ada yang mental instan. Mereka bukan pemalas. Mereka bukan hanya sebagai pengagum (sobit) hasil karya atau kekayaan orang lain. Tidak ada yang mencuri dan merampas.
Nilai kejujuran ini dinarasikan dalam sebuah kalimat : èmè data, de ata kèta, nèka data ngong data (Jangan menjadikan milik orang lain sebagai milik pribadi). Mereka juga gemar bergotong royong, bekerjasama dan membantu sesamanya.
Hal ini dikenal dengan istilah Manggarai dodo atau lèlès, bahkan masih berjalan sampai sekarang untuk beberapa kampung di Manggarai. Saat ini banyak generasi muda yang money oriented (uang dulu baru kerja)
Nah, bagaimana konteks kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” dalam perspektif sosial ekonomi? Secara kasat mata, saat ini kebanyakkan generasi Manggarai menjadi bermental instan.
Banyak yang bermental konsumtif daripada menjadi manusia produktif. Mengharapkan bantuan pemerintah daripada sendiri berusaha (high dependence). Belum lagi dengan banyak dan beragamnya budaya pesta. Ditambah lagi dengan adanya kupon putih, lonto lèok (berjudi), miras, dll.
Tambah lagi begitu banyak melego-kan tanahnya kepada orang lain untuk mempertahankan dirinya. Ah tambah malas untuk bekerja. Sebagai contoh, banyak orang muda tidak lagi bekerja di sawah atau kebun, apalagi menanam tanaman perdagangan. Lebih banyak bermental proyek (project oriented) daripada bersandar pada tangè bèrit-nya untuk bisa survive.
Selain menunggu bantuan pemerintah, kalau kita jalan-jalan ke pasar, kebanyakkan bahan sayur-sayuran serta buah-buahan diimport dari tempat lain. Walaupun ada hasil dari tanah Manggarai, jumlahnya sangat sedikit.
Dalam konteks inilah, kita generasi penerus Manggarai sedang meninggalkan tangè bèrit dan memberikannya kepada orang lain untuk ditempati.
Bersamaan dengan itu, kita sedang membiarkan orang lain untuk menjajah tanah kita. Menjajah di sini bukan lagi dalam arti fisis tetapi penguasaan orang lain terhadap harta kekayaan kita dengan membeli tanah yang kita jual kepada mereka. Jadi akhirnya, “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”. ***
*Penulis berminat pada ekososbud dan politik, tinggal di Leda Ruteng-Kabupaten Manggarai, email : sipriguntur@gmail