Redaksi, Vox NTT-Pilgub dan Pilkada serentak di 10 kabupaten/kota di NTT semakin dekat. Kita semua dituntut untuk jeli membedakan mana politisi yang elektabilitasnya dibangun atas dasar propaganda dan rekayasa informasi dan mana yang memang benar-benar punya integritas serta kapabilitas memadai untuk mengeluarkan daerah ini dari berbagai keterbelakangan.
Kita juga dituntut untuk kritis menilai mana giringan opini yang memuat kebenaran dan mana yang menyebarkan kebohongan semata.
Kecermatan serta sikap kritis kita (Pemilih-red) adalah keharusan agar pilkada serentak kali ini dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang progresif merealisasikan agenda perubahan selama lima tahun ke depan.
Ada suatu kecemasan yang cukup mendasar sehingga goresan pena sederhana ini coba dirangkai.
Kecemasan itu terutama muncul melihat propaganda politik yang sengaja dimainkan para kandidat dan tim suksesnya masing-masing untuk merebut simpati pemilih. Segala macam cara dihalalkan termasuk memoles setiap figur agar sesuai dengan keinginan pasar pemilih. Ruang publik kita pun ramai berseliweran informasi yang memuat profil, kegiatan, visi-misi, dan program para kandidat.
Drama pilkada ini kemudian diaktor ‘pemeran utama’ yang menyuarakan visi, misi, dan berjuta janji. Sang pemeran berusaha meyakinkan bahwa ia pantas dipilih. Tak lupa diselingi dengan artis rupawan nan seksi, bila perlu yang sering nongol di tv.
Sejauh informasi ini dibangun di atas fundasi kebenaran, tentu menghasilkan referensi yang benar pula di benak pemilih. Namun ketika informasi yang muncul adalah hasil rekayasa, pencitraan bahkan hoax, maka rakyat NTT berpotensi memilih figur yang palsu. Tampilan luarnya penuh kebaikan tapi di dalamnya penuh borok dan penuh kebusukan.
Disinilah ruang kewarasan publik diuji. Ujian ini tentu gampang-gampang sulit karena yang benar dan yang palsu berlebur dalam suatu ruang publik dengan aneka strategi. Media sosial menjadi medan pertarungan sengit yang sangat tampak terlihat. Perang isu kontra isu tak terhindarkan. Kepalsuan dan Kebenaran bagaikan dua sisi mata uang yang susah dibedakan dan berusaha saling meyakinkan pemilih.
Pertanyaannya apakah kita menjadi bagian dari pemilih yang sudah dikibuli informasi palsu atau masih ‘waras’ mengolah setiap informasi yang ada?
Pertanyaan ini penting untuk direnungkan agar arsip informasi yang berhasil merengsek masuk ke dalam pikiran bahkan terlanjur menyentuh aspek perasaan dievaluasi kembali.
Misalnya persepsi tentang figur A yang dianggap merakyat. Apakah persepsi ini lahir dari hasil rekayasa informasi atau memang figur tersebut berkarakter kerakyatan. Tak hanya sampai di situ, pertanyaan yang lebih penting adalah dari mana saya mendapatkan informasi tersebut? Apakah lewat foto, video, dan berita yang muncul musiman menjelang Pilkada? Atau memang sudah terbukti nyata dalam rekam jejek serta perannya sebagai bupati, DPR atau pejabat birokrasi publik lainnya?
Kalau cagub atau cabup tersebut berlatar belakang bukan politisi atau birokrat, misalkan dia adalah pengusaha, apakah kekayaan yang ditumpuknya dihasilkan melalui kerja halal atau kotor? Apakah sistem usaha yang dijalankannya mengeruk dan menindas sesama manusia atau tidak?
Kalau seorang kandidat terlanjur dianggap bersih, apakah kandidat tersebut pernah tersangkut kasus hukum semisal pembunuhan, korupsi dan kasus amoral yang merugikan sesama manusia?
Pertanyaan seperti ini memang terlihat sederhana bahkan mungkin terkesan basi. Namun setiap pemilih harus membersihkan pikiran dan perasaanya dari gempuran informasi palsu yang sekarang kebanjiran di ruang publik agar mampu menemukan figur yang asli secara integritas dan kapabilitasnya. Dalam konteks ini kita perlu bahkan harus mendiagnosa ulang kewarasan kita.
Serangan informasi yang kebanjiran ini jika secara terus menerus dipompa ke ruang publik tentu akan memperlemah benteng kewarasan berpikir itu. Seperti iklan sampoo yang ditayangkan secara terus menerus. Awalnya kita melihat iklan ini sebagai tipuan, mana mungkin sekali pakai saja rambut langsung lurus? Namun ketika dipompa secara terus menerus, lama kelamaan kita pun membeli produk sampoo tersebut.
Kalau benteng kewarasan kita sudah jebol dan membiarkan informasi palsu itu bercokol dalam kepala kita, itu sama artinya membiarkan seorang pemimpin palsu menguasai aspek-aspek kehidupan kita selama lima tahun ke depan. Jika pemimpin itu meraih kekuasaan dengan berlandaskan informasi palsu, maka janji dan visi-misi itu hanyalah balon-balon sabun yang terbang ke udara. Waspadalah!
Penulis: Irvan K