Oleh: Bonefasius Jehadin
Redaktur VoxNtt.com
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tinggal 6 (enam) hari lagi. Gegap gempita kampanye para pasangan (paslon) pun tiba di detik akhir, namun memasuki masa tenang justru suasana politiknya kian panas dan ganas, bisa diperdiksikan masa tenang bakal menjadi keadaan paling tidak tenang. Hal ini dapat kita deteksi setelah melihat perdebatan antartim sukses dan simpatisan yang berjalan hampir tanpa jeda baik di alam nyata maupun maya.
Kendati begitu, perdebatan itu, menurut saya tengah membuktikan bahwa demokrasi sedang bertumbuh di NTT.
Hal ini patut diberi apresiasi tetapi juga penting untuk dikritisi terutama karena perdebatan yang dipraktekan cenderung tanpa diskursus. Yang tampak justru debat kusir dan aksi saling serang antartim, dengan menebar ujaran kebencian juga fitnahan bahkan hinaan yang dilontarkan kepada paslon atau tim paslon lawan.
Aksi saling serang berbau fitnahan dan hinaan ini tentu saja menghambat benih demokrasi yang sedang tumbuh juga sebagai signal kuat, tanda-tanda akan matinya demokrasi di daerah ini. Mengapa demikian, sebab dalam aksi saling serang itu bukan gagasan yang dipertaruhkan atau dipertaungkan tetapi kemampuan untuk menjatuhkan lawan dengan hinaan, fitnahan dengan menyebar berita-berita palsu (Hoax) yang menyudutkan lawan politik.
Pembantaian Terhadap Pancasila di Balik Klaim Pancasilais
Selain aksi saling serang dan penyebaran hoax di dunia maya, ada semacam tim khusus yang bertugas memainkan opini menyesatkan. Bahwasannya ada tim paslon tertentu mengklaim diri paling Pancasilais dan menobatkan paslon lain sebagai kubu non-Pancasilais.
Dalam Pilgub NTT korban tudingan itu menyasar ketiga Partai seperti Gerindra, PAN dan PKS. Tidak sebatas tudingan tetapi alasan Partai agama tertentu ini kemudian dipakai untuk memprovokasi masyarakat agar menolak kehadiran paslon yang diusung ketiga Partai tersebut.
Menurut saya, cara-cara ini merupakan tanda bahwa yang mengklaim dan menuding orang lain tidak Pancasilais tengah mengalami kekurangan stok pemahaman terhadap inti dari Pancasila dan justru memperlihatkan dirinya sangat anti terhadap keberagaman, anti terhadap demokrasi dan mengesampingkan politik berakal sehat.
Cara ini juga bisa dianggap sebagai perilaku kejam yang membantai Pancasila, sebab Pancasila anti terhadap kelompok yang anti keberagaman dan tidak mengiyakan provokasi SARA yang mengakibatkan perpecahan. NTT sudah tuntas dengan Pancasila, NTT menjunjung tinggi keberagaman SARA.
Karena itu Pancasila bukan menjadi perioritas dalam diskursus politik di NTT. Sebab, kehadiran partai-partai yang dituduhkan di atas tidak membawa perpecahan tetapi menjadikan NTT semakin kaya dengan keberagaman, baik suku, ras maupun pandangan politik.
Karena itu memprovokasi masyarakat dengan tudingan anti Pancasila sebagai bahan kampanye adalah upaya memecah bela kedamaian NTT yang sudah terawat dengan baik. Sikap seperti inilah yang sesungguhnya tidak Pancasilais, bahkan secara sadar memanfaatkan Pancasila sebagai bahan kampanye untuk kepentingan sesaat. Pancasila bukan sebagai alat kampanye untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya Pancasila adalah ideologi sekaligus titik temu berbagai perbedaan di negeri ini.
Pertarungan rakyat NTT saat ini adalah melawan kemiskinan, keterbelakangan, stigma NTT bodoh, NTT sakit, Nusa Trafficking Tinggi, Infrastruktur buruk dan Korupsi yang merajalela. Ini sesungguhnya musuh Pancasila di NTT bukan perbedaan SARA.
Karena itu diskursus politik Pilgub NTT haruslah mengarah kepada program yang bisa mengentaskan sejumlah persoalan yang terlanjur melekat erat dengan bumi Flobamoratas ini.
Adu Program
Debat kusir dan aksi saling klaim dan menuding yang kian langgeng dipraktekan itu menyebabkan program para Paslon tidak lagi menjadi keutamaan dalam pembahasan, sebab yang paling penting di sana adalah pengklaiman siapa yang paling benar dan paling salah serta paling baik juga paling buruk, Paling Pancasilais, Nasionalis dan sebaliknya.
Program akhirnya hanyalah sebatas pajangan yang dilihat sambil lalu tanpa dipedulikan seberapa penting program itu. Padahal, demokrasi (elektoral) adalah bertaruh untuk nasib dan masa depan sebuah bangsa. Karena itu pembahasannya haruslah mengarah kepada figur calon pemimpin dan programnya.
Dua soal inilah yang seharusnya diadu, diperdebatkan dengan ketat di dalam ruang diskursus Pilgub. Tentu akan ada pertanyaan mengapa figur dan program itu yang harus diadu? Sebab figur sang pemimpin adalah sosok yang nanti menjadi pemandu jalan, dia adalah bintang penuntun untuk membawa daerah ini keluar dari berbagai macam permasalahan yang selama ini mendera rakyat NTT.
Ini sangat penting, demi untuk menghindarkan rakyat salah memilih, misalnya memilih calon pemimpin yang bermasalah dengan dirinya, bermasalah secara hukum juga bermasalah secara moral. Kalau yang terpilih itu bermasalah dengan integritasnya maka tidak akan mungkin dia berlaku sebagai pemandu, bintang penuntun untuk rakyatnya.
Saya kira masalah ini juga pernah diterangkan Rm. Frans Magnis Suseno, “Pemilu bukan memilih yang terbaik melainkan mencegah yang terburuk berkuasa”.
Adapun masalah serius NTT yang menjadi sorotan nasional saat ini adalah, korupsi yang menempatkan NTT masuk 10 besar bahkan perioritas keempat pengawasan KPK setelah Papua, Maluku dan Sumatra Utara. Masalah lain adalah Infrastruktur yang kurang memadai yang berimplikasi pada indeks pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang rendah, kualitas pendidikan yang standar rendah hingga menempatkan daerah ini menjadi juara tiga terendah setelah Papua dan Papua Barat, kualitias kesehatan juga rendah serta penataan birokrasi dan lemahnya penegakan hukum.
Ada juga masalah kemiskinan, pengangguran yang menyebabkan masyarakat kita banyak yang hidup susah dan memilih ke luar negeri dan menjadi korban perdagangan orang. Singkatnya NTT adalah provinsi juara miskin dan juara keterbelakangan. Bahkan ada yang menyebutnya propinsi mayat, oleh karena hampir setiap minggu mendapatkan kiriman mayat dari luar negeri. Ini sebenarnya materi yang diperdebatkan jika mau menunjukan kita Pancasila.
Ujian terhadap program ini sekaligus untuk mendeteksi nurani para Paslon, apakah tulus membangun atau karena dorongan kekuasaan pragmatis? Program juga dapat mengukur kadar keberpihakan empat paslon yang maju ini, apakah serius untuk memecahkan persoalan rakyat atau hanya janji manis demi mendulang suara.