Kupang, Vox NTT- Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kupang, Sukario Banta mengatakan, kisruh pemilihan dan pelantikan Wakil Rektor Undana Kupang beberapa hari lalu merupakan hal yang sangat memalukan.
“Aksi saling tuding, saling menjatuhkan, saling menggugat dan lain-lain yang mewarnai proses suksesi Wakil Rektor tersebut bukanlah teladan yang baik dalam kehidupan kampus,” ujarSukario Banta kepada VoxNtt.com, Jumat malam (30/6/2018).
Menurut Sukario, Undana merupakan sebuah lembaga yang dihuni oleh kaum akademisi sepatutnya menerapkan kaidah-kaidah akademik dalam kehidupan kampus. Namun kenyataanya justru ribut memperebutkan jabatan struktural.
“Oleh karena itu, Rektor Undana harus segera menyelesaikan kisruh ini agar tidak berkepanjangan, karena masih banyak hal penting di Undana yang harus diatasi secara serius,” tegasnya.
Sala satu persoalan urgen yang melanda Undana kata dia, buruknya Kultur akademik.
Kultur akademik yang buruk ini desebabkan karena sistem pendidikan yang dijalankan masih sangat feodal. Mahasiswa menjadi obyek yang wajib mengikuti semua perintah dosen dan elite kampus yang menjadi subyeknya.
“Selain itu aktivitas akademik seperti seminar, diskusi dan lain-lain yang sangat terbatas juga merupakan penyebab hilangnya kultur akademik di kampus,” ujar Sukario
“Hal ini berdampak pada rendahnya daya kritis, analitis dan objektivitas para penghuni kampus, baik para dosen maupun mahasiswa,” tambahnya
Hal ini menurut dia, nampak dalam setiap kontestasi perebutan jabatan struktural. Mulai dari pemilihan pengurus ormawa, sampai pada pemilihan Wakil Rektor dimana pertimbangan suku, agama dan golongan lebih dominan bukan pertimbangan ilmiah. Alhasil, dari masa ke masa hampir tidak ada perubahan yang menonjol.
“Padahal jika kultur akademik kampusnya baik maka bisa dipastikan setiap orang akan menjunjung tinggi kebebasan berpikir kritis, analitis dan objektif,” kesalnya.
Lanjut Sukario, hal ini tidak sejalan dengan prinsip pendidikan nasional yang tertuang dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) 2003 yaitu demokratis dan tidak diskriminatif.
“Anehnya, kenyataan ini terjadi di Universitas yang merupakan universitas terbaik di NTT. Bagaimana tidak? Para petinggi kampus terlarut dalam drama perebutan kekuasaan untuk memperkaya diri dan demi nama besar, tetapi persoalan serius yang semestinya diatasi justru terabaikan. Sehingga jangan heran jika elemen kampus khususnya mahasiswa merasa tidak nyaman hidup pada sebuah sistem yang terkekang,” tandasnya
Dia berharap, kisruh perebutan kekuasaan di Undana dapat membuahkan hasil yang baik berupa kebijakan-kebijakan yang mampu menumbuhkan kultur akademik.
“Sehingga keindahan Undana tidak hanya pada kemasannya semata yang ternyata isinya kropos,” pungkasnya.
Untuk diketahui, tiga Wakil Rektor (Warek) Universitas Nusa Cendana (Undana) dilantik Prof.Ir.Fredrik L.Benu,M.Si, di aula lantai 3 Gedung Rektorat Undana, Kamis (21/6/2018).
Ketiganya adalah Dr.drh. Maxs Urias E.Sanam,M.Sc sebagai Wakil Rektor (I) Bidang Akademik menggantikan pejabat sebelumnya, Dr.David B.W. Pandie,MS yang telah mengakhiri masa jabatan periode kedua.
Selanjutnya, Dr.Drs. Siprianus Suban Garak, M.Sc, sebagai Wakil Rektor (III) Bidang Kemahasiswaan, menggantikan pejabat sebelumnya Prof.Dr.Simon Sabon Ola,M.Hum.
Masalahnya mencuat ketika salah satu kandidat wakil rektor, Prof. Dr. Simon Sabon Ola yang mendapat dukungan lebih dalam pemilihan senat, tidak dilantik rektor Undana.
Rektor malah melantik Dr.Drs. Siprianus Suban Garak, M.Sc, sebagai Wakil Rektor (III) Bidang Kemahasiswaan.
Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana), Prof Fred Benu seperti dilansir dari teropongntt.com, mengatakan, dukungan suara senat universitas hanya sebagai pertimbangan bagi dirinya untuk menentukan siapa yang harus menduduki jabatan wakil rektor. Penentuan siapa yang menjadi wakil rektor adalah hak prerogratifnya sebagai rektor.
“Itu adalah kewenangan saya sebagai rektor. Bisa dibaca aturannya. Dukungan suara dari anggota senat universitas hanya sebagai pertimbangan,” kata Prof Fred Benu.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Adrianus Aba