Oleh: Antonius Rahu*
Ujian Nasional (UN) merupakan salah isu yang selalu menjadi sorotan publik di negeri ini. Sejak digulirkanya sistem evaluasi pendidikan ini sejak tahun 2001 dengan nama Ujian Akhir Nasional (UNAS), Ujian Nasional selalu ramai diperbincangkan publik karena menimbulkan pro-kontra yang tiada habis.
Bola panas alat evaluasi yang kontroversial ini rupanya terus bergulir dalam dunia pendidikan tanah air. Di tahun 2005 pemerintah mengeluarkan PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang di dalamnya memuat tentang Standar penilaian.
Standar tersebut salah satunya mengatur tentang pelaksanaan ujian nasional.
Ada yang mencolok dalam pelaksanaan Ujian nasioanl pasca dikeluarkanya PP no 19 yakni harus adanya target minimal kelulusan.
Target tersebut harus dicapai siswa jika ingin mendapat kelulusan dari satuan pendidikan tertentu.
Maka munculah kebijakan ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan bagi siswa. Saya adalah salah satu peserta yang sempat mengikuti ujian Nasional dengan sistem baru ini.
Momok Menakutkan
Sistem pelaksanaan Ujian Nasional membawa momok yang menakutkan bagi peserta ujian. Secara psikologis, peserta didik terbebani dengan munculnya ketakutan saat mengikuti UN.
Bagaimana tidak, jika satu mata pelajaran saja mendapatkan nilai di bawah standar maka dinyatakan tidak lulus. Akibatnya banyak siswa yang merasa tertekan dan stres duluan sebelum menghadapi ujian.
Belum lagi dengan sistem ujian yang menggunakan lembar jawaban computer (LJK). Kesalahan dalam melingkar kunci jawaban yang berakibat fatal, menciptakan ketakutan yang lebih besar.
Bayangkan jika pada saat mengerjakan ujian, siswa lebih did0minasi perasaan takut dibanding pikiran rasional. Tentu ini sangat berpengaruh pada hasil kerja. Sehingga jangan heran ada siswa yang sebelumnya terkenal pintar di kelas, malah tidak lulus ujian nasional.
Tak hanya siswa, dari aspek pengajar juga mendapatkan tekanan karena guru dipacu untuk bekerja ekstra keras terutama guru-guru yang mengajar mata pelajaran UN.
Ujian Nasionalpada akhirnya menyebabkan mata pelajaran yang di-UN-kan lebih dianakemaskan, seolah mata pelajaran UN menjadi yang paling penting dan paling utama di antara deretan pelajaran lain yang diajarkan di sekolah.
Sementara itu, di tengah ketatnya persaingan antara sekolah untuk mendapatkan pengakuan publik, persaingan ini kemudian menimbulkan kecurangan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional. Singkat kata, sekolah yang banyak siswanya tidak lulus akan akan dihakimi publik sebagai sekolah gagal.
Kewarasan Berpikir
Sistem pelaksanaan Ujian Nasional telah merenggut kewajiban seorang Guru sebagai pendidik yang mengetahui secara detail karakter setiap peserta didiknya.
Para guru dibuat resah dan gelisah karena evaluasi sebagai aspek yang cukup penting dalam penyelenggaraan pendidikan direnggut oleh Negara.
Dengan dalil penyetaraan kualitas pendidikan di tanah air, Negara kemuadian menjadikan Ujian Nasional sebagai satu-satunya aspek penentu kelulusan siswa.
Intelligence Question (IQ) merupakan aspek utama yang di nilai dalam system ujian nasional. Sementara aspek lain seperti Emotional Question (EQ) dikesampingkan.
Pada kenyataanya jika diamati bukan hanya IQ yang membentuk karakter seseorang tapi ada aspek lain seperti EQ juga.
Keanehan ini semakin nyata ketika pada saat yang sama adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mendapat hasi UN yang baik. Sementara di sisi lain, pemerintah tidak pernah memperhatikan fasilitas, ketersediaan Guru dan sarana prasarana di sekolah-sekolah terutama di pelosok seperti NTT dan Papua.
Ini yang membuat kewarasan berpikir saya sedikit diuji. Hal lain yang saya temui dibalik penyelenggaraan Ujian Nasional di negeri ini adalah anggaran yang digelontorkan begitu fantastis.
Di balik penyelenggaraan ujian nasional yang menghabiskan banyak anggaran Negara tersebut, telah terbukti diwarnai kecurangan masal yang menjungkir balikan rasionalitas berpikir. Hal tersebut bagaikan menggarami air laut, inilah potret buruk dari sistem penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.
Hembusan Angin Segar
Angin segar akhirnya berhembus dari lokomotif pemerintahan Jokowi-JK. Setelah pada jumat 25 November 2016 Muhadjir Effendy yang menahkodai kapal pendidikan tanah air mengeluarkan pernyataan akan menghapus Ujian Nasional.
Mendikbud Muhadjir dalam pernyataanya menyebut bahwa ujian nasional akan dihapus dan diserahkan ke sekolah-sekolah.
Ekspektasi Publik akhirnya berujung klimaks sekaligus mengembalikan kewarasan berpikir saya yang selama ini cukup lama dijungkir balikan.
Evaluasi pendidikan memang salah satu hal yang penting dalam dunia pendidikan. Melalui evaluasi berupa ujian, kita akan dapat mengetahui sejauh mana system pembelajaran yang diterapkan berhasil.
Idealnya yang melakukan evaluasi adalah pengajar itu sendiri, karena dibalik evaluasi ada penilaian. Juga karena merekalah yang mengetahui secara detail karakter dan kemampuan masing-masing peserta didiknya.
Alangkah baiknya jika dana fantastis yang digunakan untuk penyelenggaraan Ujian Nasional itu dialihkan ke pengadaan fasilitas, sarana-prasarana penunjang pembelajaran.
Jika sarana dan fasilitas penunjang terpenuhi maka hal tersebut akan berimbas pada kualitas pembelajaran yang diterima oleh peserta didik. Jika pembelajaranya sudah baik maka hal tersebut akan berimabas pada kualitas lulusanya.***
Foto Feature: Illustrasi
Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan pendidikan Matematika di IKIP PGRI Bali, penulis aktif di berbagai organisasi kampus seperti KBMK dan PMKRI Bali.