Mbay, Vox NTT- Memasuki musim panas (kemarau) warga di lokasi seputar perbukitan Desa Aeramo, Kecamatan Aesesa hingga sekitar wilayah Kecamatan Wolowae akhir-akhir ini mengalami keresahan.
Bagaimana tidak, sepekan terakhir bukit yang tumbuhi rerumputan itu mulai dibakar oleh orang-orang tak dikenal dan tidak bertanggung jawab.
Pantauan VoxNtt.com, Senin (16/07/2018), selain di Desa Aeramo, bukit di sekitar lokasi Gua Jepang arah Dadiwuwu-Aeramo yang terdapat di Kelurahan Lape pun mulai terbakar.
Kejadian serupa juga terjadi di sekitar lokasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aeramo yang juga sudah terbakar.
Kekwatiran warga sekitar lokasi, akan ada pencemaran udara, air yang menyusul dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekosistem setempat.
Hal itu sebagaimana diungkapkan warga Aesesa, Welem Meo saat dijumpai media ini. Ketika dimintai komentarnya, dia mengatakan bahwa keluarganya sangat kwatir dengan adanya peristiwa kebakaran tersebut.
Kata Welem, setiap tahun mereka mengalami hal itu. Mereka berharap pemerintah setempat bisa mengambil langkah tegas dalam menyikapi peristiwa yang peristiwa yang meresahkan itu.
Namun Welem juga tidak menampik, jika setiap tahun pemerintah menghimbau agar warga tidak boleh lagi membakar di bukit yang ditumbuhi padang rumput tersebut, karena dapat merusak lingkungan.
Namun demikian lanjut Welem, kesadaran warga masih rendah dalam memahami bahaya lingkungan hidup yang bisa berdampak luas.
Welem juga mengingatkan agar masyarakat menyadari bahwa, membakar hutan atau lahan di bukit tersebut bisa dikenakan sanksi hukum terutama pasal mengenai pembakaran hutan atau lahan serta lingkungan hidup.
Dikatakannya, wilayah Kecamatan Aesesa sangat rentan terjadinya kebakaran, apalagi saat musim kemarau dengan suhu udara yang cukup panas, sangat mudah terjadinya kebakaran.
Dengan membuang puntung rokok di pinggir jalan saja, menurutnya bisa menimbulkan kebakaran. Oleh karena itu, dia berharap agar warga masyarakat tidak boleh membuang puntung rokok di sebarang tempat atau di tepi jalan, karena bisa menimbulkan kebakaran.
Budaya Berburu
Lebih lanjut, mantan Kepala Desa Nangadhero ini mengatakan, penyebab kebakaran juga bisa didorong oleh faktor budaya berburu yang dilakukan permusiman.
Selain berburu, juga karena matapencaharian masyarakat yang beternak dan melepaskan hewan peliharaannya di padang, bukit sebagaimana yang dilakukan secara turun temurun.
Tradisi beternak yang tradisional seperti ini membuat masyarakat terbiasa membakar padang, bukit saat musim kemarau. Dengan harapan, kala musim hujan tiba bisa ditumbuhi rumput baru.
Senada dengan Welem, tokoh masyarakat Desa Bidoa, Ferdinandus B. May mengatakan, pada musim kemarau, rumput pada kering sehingga ternak kesulitan mendapatkan makanan.
Budaya masyarakat membakar rumput pada musim kemarau kata dia, selain untuk menjalankan ritual adat berburu juga diharapkan bisa tumbuh rumput baru, sehingga memudahkan ternak yang dibiarkan berkeliaran di padang bisa mendapatkan makanan.
Kata dia, untuk Desa Bidoa, pemerintah sudah memberikan himbauan berulang-ulang kepada masyarakat, namun tetap pada setiap tahun selalu saja ada yang membakar.
“Memang pemerintah mengalami kesulitan untuk melakukan pemantauan karena pelaku yang membakar rumput, pasti melakukannya secara diam-diam,” ungkapnya.
Ferdinandus berharap, ada pengertian baik dari masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Selain itu, membakar rumput dapat menimbulkan bencana seperti erosi dan lain sebagainya. Langkah yang perlu dilakukan menurut dia yakni, pemerintah perlu membentuk tim khusus di setiap desa untuk mencegah perilaku membakar itu.
“Kalau bisa pemerintah kabupaten perlu menginisiasi, membentuk tim penanggulangan bencana sampai ke desa,” ujarnya.
Pidana Penjara dan Denda
Pembakaran hutan atau lahan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan, tidak hanya sekedar musnahnya ekosistem tapi kabut asap yang ditimbulkannya menjadi monster yang merusak kehidupan.
Karenanya, pembakaran hutan atau lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara komprehensif oleh setiap pihak.
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pembakaran yang berkelanjutan adalah menghukum pelaku dengan pidana penjara dan denda semaksimal mungkin, guna membuat jera para pelaku serta pelajaran bagi yang lain.
Berikut adalah Pasal sanksi pidana bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan:
Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:
Pasal 50 ayat (3) huruf d: Setiap orang dilarang membakar hutan
Pasal 78 ayat (3): Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 78 ayat (4): Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Undang Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Kebakaran hutan atau lahan juga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup, sehingga dapat dikenai sanksi berdasarkan UU PPLH sebagai berikut:
Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH: Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
Pasal 108 UUPPLH: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 69 ayat (2) UUPPLH: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing masing.
Penjelasan Pasal 69 ayat (2): Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pasal 98 ayat (1) UUPPLH: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Sumber: http://blogmhariyanto.blogspot.com/2015/10/pasal-jerat-sanksi-hukum-pidana-pelaku.html
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/08/undang-undang.html
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Boni Jehadin