Oleh: Erwin Bastian
Mahasiswa STFK Ledalero
G. W. F. Hegel pernah menemukan sebuah gagasan filosofis tentang dunia melalui beberapa karyanya seperti Fenomenologi Roh (1807), Persiapan Filsafat, Ilmu Logika (1808), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Filsafat (1818), Garis-Garis Besar Filsafat Hukum (1821) dan Filsafat Sejarah, Estetika, Filsafat Agama, Sejarah Filsafat.
Maksud utama karya Hegel untuk memahami secara rasional dunia dan sejarah lewat konstruksi suatu sistem yang secara mutlak logis tentang pemahaman itu, suatu sistem di mana “semua yang rasional adalah real, dan semua yang real adalah rasional” (semua yang dapat dipikirkan dan dikenal ada dan semua yang ada, ada, jika ia dapat dipikirkan dan dikenal).
Hegel begitu percaya pada kemampuan intelektual dan rasional manusia dengan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala yang ada.
Dengan pemikiran ini, Hegel secara tidak langsung memberi penafsiran yang dualistis kepada para pengikutnya sehingga membentuk dua kubu (Hegelian kanan dan Hegelian kiri).
Apakah semua yang nyata adalah rasional? Atau apakah semua yang rasional itu nyata?
Dua tafsiran dari para pengikut Hegel membuka lembaran diskursus filosofis yang sangat mendalam. Tafsiran pertama dari Hegelian kanan menganggap Hegel membenarkan status quo “apa yang nyata itu rasional”, Negara Indonesia adalah nyata karena itu ia rasional, dan karena rasional maka harus dibela.
Sedangkan tafsiran kedua dari Hegelian kiri meyakini “apa yang rasional itu nyata”, karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya nyata kalau ia rasional.
Kalau sebagaian besar penduduknya terkungkung dalam KKN maka ia tidak nyata. Kalau NKRI tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya maka ia tidak rasional dan harus dikritik. Indonesia itu nyata kalau kesejahteraan penduduk tercapai.
Walaupun demikian, Hegel sendiri tidak pernah bermaksud untuk membentuk dua kubu dari pemikirannya. Ia tidak memberi pembedaan antara yang nyata itu rasional dan yang rasional itu nyata.
Fenomena Hoaks Ala Ratna Sarumpaet
Pertanyaan dasar yang harus segera dijawab adalah bagaimana pemikiran Hegel dapat membaca fenomena hoaks ala Ratna Sarumpaet yang akhir-akhir ini menjadi trending topic di Indonesia?
Setelah membaca Editorial VoxNtt.com yang berjudul “Gempa Hoaks Ala Ratna”, saya lansung berpikir tentang efek dari musibah besar hoaks yang sedang dialami bangsa Indonesia.
Kalau dibaca dari sudut pemahaman Hegel, persoalan utama yang sedang disajikan dalam fenomena hoax Ratna maupun yang selama ini merajai dunia online adalah sebuah bentuk irrasionalitas bangsa.
Menurut Hegel pengalaman akan hal yang negative, ketiadaan, kekurangan, alienasi dan ketergantungan yang selalu mengelilingi dan menipu dalam kehidupan hal yang positif dan hal yang baik yang terjadi dalam sejarah umat manusia adalah irasional maka tidak nyata.
Merujuk Hegel, Indonesia sedang mengalami ketidakrasionalan karena tidak nyata atau karena banyak kebohongan di dalamnya. Kebohongan adalah bukti ketidakrasionalan yang mungkin sudah mendara daging dalam realitas masyarakat.
Hoaks Ratna adalah sampel bagi banyak penipu di negeri ini. Lebih dari itu fenomena hoax ala Ratna membuka kedok kebohongan yang sudah lazim dilakukan oleh elit bangsa Indonesia dalam skala nasional maupun lokal. Dan anehnya masyarakat bersifat pasif pada berbagai kebohongan itu.
Contoh yang paling nyata adalah kampanye menjelang pemilu, bukannya menyampaikan deretan program melainkan malah deretan hoaks.
Karena itu, kita patut menduga bahwa dalam beberapa konteks, apa yang nyata dalam realitas sebenarnya adalah sebuah kebohongan besar secara ontologi (setidaknya melalui fenomena hoax ala Ratna, hakikat realitas di Indonesia bukanlah kebenaran dan karena itu tidak boleh dipercayai begitu saja).
Namun kita tetap optimis bahwa masih banyak orang jujur yang memperjuangkan nilai kebenaran dalam pemerintahan kita. Karena kalau tidak, semua yang nyata adalah kebohongan maka betapa total kebohongan itu.
Kebohongan total seperti inilah yang menurut Hegel tidak rasional dan akhirnya tidak nyata. Namun dalam seluruh tatanan masyarakat sosial, politik, budaya, dan agama, fenomena hoax adalah sesuatu yang sudah lazim terjadi.
Konstruksi tatanan seperti inilah yang membuat bangsa ini tidak rasional dan tidak nyata. Karena melalui konstruksi seperti itu masyarakat atau pendengar tidak hanya ditipu atau dibohongi tetapi juga dibodohi. Penipuan dan pembodohan masal yang merajalela menurut Hegel tidak rasional dan harus dikritik atau dilawan.
Editorial yang tulis Pimred VoxNtt.com, Irvan Kurniawan “Gempa Hoaks Ala Ratna” (03/10/2018), menunjukan beberapa hal penting antara lain:
Pertama, gempa hoaks ala Ratna adalah sebuah fenomena yang meluluhlantahkan banyak korban tak bersalah. Masyarakat umum adalah korban paling rentan yang menjadi target utama.
Sedangkan beberapa korban lain seperti Prabowo, Amin Rais, Roky Gerung dan kawan-kawan lain yang terlampau tergesa-gesa memberi respon justru menjadi korban yang paling menanggung malu. Apalagi mereka memeri respon sekaligus menuduh, membenarkan sekaligus meyakini hoaks ala Ratna itu sebagai tindakan yang dilakukan lawan pilpres 2019.
Karena respon ini maka, persoalan yang sebenarnya hoaks itu dibawa ke dalam ranah politik. Siapa yang menjadikan kabar bohong ini sebagai isu politik, tentu saja kelompok yang terlampau reaktif itu. Lalu terjadilah seperti kata Irvan “Namun apa daya bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, para politisi dan siapapun yang termakan kabar ini harus menelan pil pahit.”
Kedua, respons yang terlalu cepat atau terlalu tergesa-gesa terhadap suatu persoalan tanpa menyelidiki terlebih dahulu fakta dari peroalan itu justru menjadi pintu masuk yang lebar bagi hoaks bukan hanya soal tingginya IQ (seperti yang disampaikan Roky Gerung).
Seharusnya semakin rasional semakin sabar, semakin tenang, dan semakin berpikir jernih. Rasionalitas tidak sama dengan tergesa-gesa.
Ketiga, Ratna adalah korban sekaligus pelaku. Ia korban karena, fenomena hoaks sebenarnya seudah menjadi salah satu sistem yang berlaku lumrah di Indonesia dalam rangka meloloskan kepentingan tertentu.
Kebohongan yang adalah negatif dipakai untuk meloloskan suatu kepentingan politis yang adalah positif menimbulkan sebuah kontradiksi logis.
Tujuan tidak bisa membenarkan segala cara. Sebagai pelaku Ratna adalah satu dari sekian orang yang hidup dalam sistem yang mengafirmasi kebohongan sebagai sarana pencapaian tujuan.
Tetapi hebatnya Ratna berhasil keluar dari sistem itu dan menunjukan diri sebagai orang yang rasional dan orang yang nyata. Maka di suatu sisi Ratna adalah penipu sedangkan di sisi lain Ratna adalah orang bebas (bebas dari kungkungan sistem).
Keempat, hemat penulis, fenomena hoaks ala Ratna harus dinilai secara proposional dengan berpikir melampaui fenomena itu. Apa yang dilakukan Ratna adalah sebuah revolusi redefinitif terhadap realitas kebenaran sebab banyak kebohongan yang sudah terlihat sebagai kebenaran.
Pemikiran Hegel yang terlalu percaya pada rasionalitas dan intelektual manusia akhirnya menuai persoalan ketika indra manusia menipu. Karena itu, pemikiran Hegel juga sebenarnya sudah mengalami kepincangan sejak awal.
Kelima, Ratna tahu persis bahwa ia berbohong karena dialah yang menciptakannya. Kenyataan penganiayaan yang dilakukan sekelompok orang kepadanya adalah sebuah rekayasa masif yang dibuat secara ‘tahu dan mau’ untuk suatu kepentingan tertentu.
Karena itu Ratna dengan tahu dan mau pula akan masuk tahanan karena tindakannya. Ada tiga kenyataan yang penulis temukan dalam Editorial, “Gempa Hoaks Ala Ratna”.
Pertama, tujuan Ratna untuk menipu banyak orang berhasil tetapi alas mendasar yang menjadi sebab dari tindakan itu belum terungkap secara jelas.
Kedua, hoax menyerang setiap orang tanpa pandang bulu. Ketiga, menaikan IQ sebagaimana dianjurkan Roky Gerung untuk menangkal hoaks belum cukup.
Sebagaiman disampaikan Irvan, “Menaikan IQ saja belum tentu tak termakan hoaks. Kita perlu menaikan emotional quotient (EQ) untuk lebih bersabar dan control diri dan menaikan spiritual quotient (SQ) untuk lebih tenang membedakan suara hari.
Rocky akhirnya terjebak dalam realitas yang tidak dapat dijangkau oleh IQ-nya yakni realitas hoaks itu sendiri. Rocky sebetulnya tidak mengenal realitas yang sedang dihadapinya dan terlampau melayang dalam dunia rasionalitasnya sendiri.
Melalui pengakuan Ratna, kedok kebohongan yang sudah lazim dipraktekan oleh elit politik mulai terungkap dan masyarakat akhirnya tidak tergesa-gesa mempercayai apa yang disampaikan pemimpinnya.
Karena itu, kebenaran baru dinyatakan sebagai benar kalau apa yang dipikirkan sesuai dengan realitas dan menurut Hegel kebenaran adalah apa yang rasional. Rasional dalam pemahaman Hegel adalah sebuah kenyataan yang dapat diterima oleh akal sehat misalnya kenyataan keadilan, kedamaian, kejujuran dan kesejahteraan yang dialami oleh manusia.
Gempa hoaks ala Ratna dan pemikiran Hegel sama-sama mengeritisi sebuah realitas yang negative, tidak adil, dan manipulative. Hebohnya panggung nasional oleh pengakuan Ratna membuka mata banyak pihak untuk mengkaji secara dalam realitas bangsa yang memelihara hoaks.
Realitas seperti ini menjadi persoalan yang mesti dibereskan bangsa Indonesia. Pertama, seturut Irvan, kecerdasan IQ tidak lagi menjadi andalan satu-satunya untuk menangkal hoaks karena kemampuan IQ sangat terbatas.
Hoaks harus dilawan dengan tiga kecerdasan sekaligus (IQ, EQ dan SQ). Tiga kecerdasan ini harus mendapat tempat dan perhatian yang proposional dalam pendidikan kita.
Kedua, Hegel menganjurkan kerja (penulis mengaitkan konteks kerja yang dimaksudkan Hegel dengan perjuangan menangkal hoaks) sebagai solusi filosofis atas realitas yang negatif.
Bagi Hegel kerja adalah aktivitas apa saja melalui mana manusia mengungkapkan diri, berusaha memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, dan memenuhi harapan-harapan, dengan memanusiakan realitas dan dengan mewujudkan diri sebagai manusia.
Karena itu, perjuangan mengubah realitas yang subur hoaks merupakan perjuangan memanusiakan manusia.
Ketiga, hemat penulis meningkatkan kecerdasan (IQ, EQ, SQ) adalah sesuatu yang perlu.
Namun kecerdasan tidak berguna tanpa realisasi nyata untuk memanusiakan realitas.
Kecerdasan tidak hanya dipakai untuk menangkal hoaks tetapi juga untuk berpikir kreatif bagaimana realitas yang penuh dengan manipulasi dapat diatasi.***