Oleh: Viktorius P. Feka
Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM & Penerima Beasiswa LPDP 2016
Pos Kupang edisi Selasa (13/11/2018), menurunkan sebuah berita mengejutkan. Mengejutkan karena “roh halus” dituduh menenggala (membajak) dunia pendidikan.
“Roh halus” menenggala dunia pendidikan, hanya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan (baca: uang beasiswa).
Sebagaimana diberitakan surat kabar ini, Kepala Sekolah SDN Niki-Niki IV Maria Benu (MB), yang diduga menggunakan uang Beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) untuk kepentingan pribadinya, beralasan uang tersebut raib digasak roh halus.
Pada kenyataannya, uang PIP tersebut sejak tahun anggaran 2016 belum dicairkan kepada para murid penerima beasiswa PIP. Aneh memang.
Roh halus dikambinghitamkan dalam kasus dugaan penyalahgunaan uang negara. Ketika logika pembenaran diri sudah tidak ada lagi, roh halus jadi sasaran empuk.
Pengetahuan mistik dijadikan tameng dari gempuran penegakan hukum. Objek abstrak-supralogis dijadikan alat paling tepat untuk memerdekakan diri dari tekanan massa, misalnya. Akan tetapi, alasan itu tetap tidak bisa diterima secara positivistis (empiris).
Ada dua kejanggalan dalam kasus ini, hemat saya. Pertama, alasan MB bahwa uang PIP dicuri orang di rumahnya patut dipertanyakan. Sebab, kasus pencurian itu tidak dilaporkan kepada aparat kepolisian.
Jika memang uang itu dicuri orang, semestinya dilaporkan kepada aparat kepolisian untuk diusut.
Kedua, alasan lain yang dikemukakan bahwa uang PIP dicuri roh halus patut diragukan. Ini karena persoalan pembuktian.
Bagaimana makhluk abstrak diketahui mencuri uang bila ia tak bersosok, bahkan tak berjejak. Atau, mungkin saja karena keyakinannya akan bantuan tim doa—menyebut uang PIP hilang karena arwah nenek moyang yang marah. Lucu memang.
Sampai di sini, lagi-lagi arwah nenek moyang dilibatkan dalam kasus ini. Pengetahuan mistik memang acap digunakan untuk membenarkan diri walau mesti bertentangan dengan nalar.
Kedua alasan yang dikemukakan MB itu bisa dilihat sebagai argumentasi dikotomis antara dunia nyata dengan dunia gaib (mistis). Alasan pertama tentang kecurian mungkin bisa segera diterima secara akal sehat, tapi alasan kedua tentang makhluk halus sebagai biang kerok kehilangan uang PIP harus ditimbang dulu.
Soal utamanya adalah bagaimana meyakinkan publik kalau uang itu dicuri roh halus. Kalau hanya lewat pengetahuan mistik, hal itu sudah berkaitan dengan dunia keyakinan (iman)—tidak bisa dijadikan basis argumentasi dalam dugaan pembiasan uang PIP.
Saya khawatir, rendahnya mutu pendidikan di sekolah bisa juga disangkutpautkan dengan roh halus (dunia abstrak-mistis). Gejala-gejala seperti ini tak boleh diperkenankan hadir di dunia pendidikan.
Dunia pendidikan semestinya dijauhkan dari perbuatan-perbuatan korup (-tif). Dunia pendidikan tidak boleh jadi lahan subur berbiak korupsi dan koruptor. Sebab, hal demikian akan membahayakan anak-anak bangsa yang lagi diundang untuk menjadi manusia terdidik dan bermoral.
Pendidik mesti menjadi penggugu yang pantas digugu anak didik, bukan menjadi pendidik yang tergugu-gugu mencari alasan irasional manakala berhadapan dengan kasus hukum (baca: penyimpangan dana pendidikan).
Pendidikan semestinya membebaskan, bukan menindas. Penyimpangan keuangan pendidikan, apa pun bentuknya, saya kira, itulah penindasan.
Disebut demikian karena hak-hak anak didik dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, menerima beasiswa, misalnya, direnggut secara tak adil.
Dunia pendidikan adalah tempat memanusiakan manusia (humanisasi), bukan tempat mereduksi kemanusiaan manusia (dehumanisasi); bukan pula tempat persemaian benih korupsi.
Pendidikan yang korup (-tif) merupakan pendidikan yang menindas. Jadi, siapa pun yang berlaku korup (-tif) dalam dunia pendidikan boleh disebut sebagai kaum penindas, sedangkan mereka yang menjadi korban pendidikan yang menindas disebut sebagai kaum tertindas.
Logika ini berangkat dari pemikiran Paulo Freire (2007:27) yang menyebut pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindasan itu sendiri.
Penindasan merupakan perangkat dehumanisasi. Korupsi pendidikan merupakan salah satu bentuk dehumanisasi, yang harus ditentang.
Korupsi sudah sangat meresahkan. Berdasarkan rilisan Indonesian Corruption Watch (ICW), pada tahun 2017 terdapat 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp. 6,5 triliun dan suap Rp. 211 miliar. Jumlah tersangkanya mencapai 1.298 orang (kompas.com).
Ini adalah data korupsi di sektor nonpendidikan. Di sektor pendidikan, menurut data ICW tahun 2016, modus korupsi pendidikan adalah penggelapan hingga mencapai 132 kasus dengan kerugian Rp.518,7 miliar.
Untuk lembaga tempat terjadinya korupsi, dinas pendidikan menjadi tempat paling sering terjadinya korupsi yang merugikan negara sebesar Rp. 457 miliar; di sekolah terdapat 93 kasus dengan kerugian negara Rp. 136 miliar, disusul perguruan tinggi 35 kasus dengan kerugian negara Rp. 7,8 miliar (antaranews.com).
Data ini menunjukkan bahwa korupsi masih kian bercokol di dunia pendidikan. Pendidikan, padahal, harus bertanggung jawab terhadap merebaknya kasus korupsi di negeri ini, tapi malah menjadi lahan subur korupsi. Mau dibawa ke mana pendidikan kita kalau masih dililit kasus korupsi? Mau jadi apa anak-anak didik kelak kalau pendidiknya menjadi pelaku korupsi?
Bagi saya, cara sederhana untuk menangkal kasus korupsi pendidikan, walau sedikit retoris, adalah para pendidik (guru), segenap tenaga kependidikan, bahkan pemangku kuasa (pendidikan) mesti berkarya atas nama kemanusiaan dan sumber daya manusia (SDM), bukan atas nama kepentingan pribadi yang menampik hakikat dari pendidikan itu sendiri: humanisasi.
Pendidikan harus mampu mencetak manusia berintelektual-bermoral, bukan manusia kretin-koruptif. Pendidikan harus tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan, intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas.
Dengan demikian, saya yakin “roh halus” tidak akan lagi menenggala dana Beasiswa PIP, Dana BOS, DAK, ataupun dana-dana (pendidikan) lainnya.
Viktorius P. Feka