Oleh Pius Rengka
Gubernur NTT Victor B. Laiskodat, dan Yosef Naesoi, bolehlah disebut The Fenomenon Team. Bagaimana tidak. Saya sedang membayangkan Victor Laiskodat dan Yosef Naesoi, seperti dua pemain serang berlapis ala sepakbola Brasil, Ronaldo atau Ronaldinho.
Keduanya mengocek lawan main begitu piawai, sampai-sampai lawan tanding pusing bukan main. Keduanya pemain legendaris dunia yang dikenang zaman entah sampai kapan. Dan, saya suka.
Seperti layaknya Ronaldinho, dia mengoper bola ke kawan main sambil melihat ke arah lain. Lawan main pun kelimpungan dijebak dan dikepung kebingungan. Khawatir gawang jebol. Tendangannya pun dasyat, terarah, indah dan kadang melengkung pasti, membelok dengan tenang lalu bola masuk ke tepi gawang lawan. Gooooolll. Sontak riuh rendah tepuk tangan massa penonton di tepi lapangan main bergemuruh seperti langit-langit stadion hendak runtuh.
Dia, Ronaldinho atau Ronaldo, lalu mengangkat tangannya ke arah langit biru, seolah bersyukur akan seruan Ilahi, melambaikan tangan ke para pendukung di tepi lapangan dan tak ketinggalan menghormati lawan tanding dengan elegan sambil tersenyum.
Sepertinya, tebaran senyum itu mengandung ozon olokan misterius, tetapi maknanya serius. Seperti sebuah peringatan, tetapi tandas dan jelas. Hati-hati gawang pertahananmu akan jebol. Siap-siap saja, atur administrasi permainan agar luput dari kurungan. Atur langkah pertahanan dengan baik, agar tak salah olah gerak, karena pertahanan yang baik tidak selalu tanpa menyerang. Peringatan itu sepertinya mengiringi langkahnya ke tengah lapangan tanding.
Menimang sejarahnya, Ronaldinho itu, memiliki masa silam nan kelam. Dia datang dari keluarga miskin sederhana hina dina. Ke sekolah rakyat di kotanya, Porto Alegre, dihujani keluh kesah dan dirajam perih perut nan lapar. Tetapi dia bangkit perlahan dan pasti.
Sepertinya disadari sekali, di kakinya menyimpan emas murni yang laku dijual di pasar bebas industri sepakbola. Bahkan mungkin semacam intan berlian yang berkilau laku ke pasar main seantero bumi. Sejarah hidupnya, sungguh mati, memintal silih berganti antara riang gembira kekanak-kanakan dan perih derita duka keluarganya.
Jika dia pergi ke gereja di hari Minggu pagi, tempat di mana ia biasa ikut ibadah, dia jalan gontai seperti umat biasa dari kalangan biasa di bawah. Dia selalu duduk di tempat senyap agar tak kelihatan dekil kemiskinannya. Kotbah pastor dicerna dan didengarnya sambil lalu karena dia harus bertarung antara getir perih perutnya meminta untuk segera diisi dengan takdir agama yang harus dilakoni. Sabda memang telah menjadi daging, tetapi daging sungguh dibutuhkan untuk memenuhi perutnya yang kian perih.
Namun, dia (atau keduanya), bangkit membebaskan dirinya dari rantai belenggu derita hidupnya dengan dua kaki yang terampil mengolah si kulit bundar. Di lapangan bola sepak keduanya menemukan eksistensi dirinya, periang, berlari sejadi-jadinya, menembus badai angin dan serangan, tetapi selalu luput dari kepungan dan merumput begitu rupa sampai akhirnya mencetak gol berkali-kali. Penonton bersorak dan senang sejadi-jadinya lalu mengenang.
Dia tekun mengolah bola, mulai dari tepi lapangan main. Apa saja yang dapat disepaknya, disepak dengan terarah. Dia miskin, itu sudah pasti. Tetapi dia pemain bola sepak kian jelas, hingga singkat kisah dua pemain ini masuk panggung pemain nasional Brasil dengan goyang samba nan menawan.
Gadis-gadis belia nan elok rupawati jelita Amerika Latin, menari erotis menantinya tiap kali dan berteriak meminta perhatian seperti menakar merebut masa puber dalam lekuk relung renung kenikmatan cinta yang tak tertahankan.
Kota kelahirannya dikenal sebagai kota yang penuh praktek demokrasi partisipatif. Kalangan tertentu menyebut kota kelahiran Ronaldinho sebagai kota yang pantas menjadi contoh konkrit praktek demokrasi deliberatif. Porto Alegre, Brasil.
Membedakan orang miskin dan orang kaya di Porto Alegre, konon, hanya terletak pada luas bangunan tempat tinggal. Tetapi mutu bangunan sama, pelayanan pendidikan sama untuk orang kaya dan miskin, bahkan pelayanan kesehatan pun begitu juga. Jadi, untuk urusan publik pelayanan sama tanpa diskriminasi, tetapi problem individu digendong masing-masing pribadi.
Karena itu, Porto Alegre selalu dijadikan contoh terbaik untuk penerapan demokrasi terlibat. Kota ini pula selalu dipakai kalangan aktivis sebagai contoh aktual tentang cara menyusun anggaran terlibat, cara membuat keputusan publik dengan pelibatan masyarakat seluas-luasnya, dan tentu saja, dicahayai sinar terang rembulan keadilan.
Bahwa manusia miskin, memang, masih ada di sana. Tetapi disadari bersama keberadaannya. Cara untuk mengatasinya pun harus sama-sama dan dirasakan bersama, sehingga kerja sama dan sama-sama bekerja adalah prinsip gerakan bersama. Begitulah sekilas tentang konteks dua pemain ini, dan terutama Ronaldinho, karena saya suka.
Victor Yos
Metafora sepakbola Brasil dengan dua tokoh pesepakbola kesohor di atas, sebenarnya membuat bandingan metaforis untuk kepemimpinan dan historia Viktor Yos, meski mungkin tidak selalu pasti paralel. Tetapi, kejutan leadership keduanya tampaknya berhasil serupa, sekurang-kurangnya dalam aras perubahan cara lihat, cara pandang dan cara gerak atau cara olah kekuasaan. Apalagi ideologi NTT Bangkit dan berubah telah mahir diucap khalayak.
Pilihan ideologis Viktor Yos, sangat jelas. Optio fundamentalis jelas pula. Paling tidak untuk sementara, meski saya tak harus bertepuk tangan di pagi hari. Optio fundamentalis itu yaitu pembebasan rakyat NTT. Bebas dari apa dan bebas untuk apa?
Bebas dari belenggu rantai kemiskinan dan bebas dari pengaruh buruk dari semua para penyebabnya, dan bebas untuk mengekspresi diri agar kelak rakyat punya harga diri.
Rakyat NTT telah lama dalam hipokritisme manusia melarat, dekil, kumuh dan serba kagum akan keagungan harta, dan selalu perih pedih dalam selimut derita nan panjang.
Tantangan utama rezim Victor Yos untuk kelola NTT adalah mengubah kultur kerja dan ideologi kerja team kerjanya.
Pejalanan sebulan kepemimpinannya, dua tokoh ini selalu berujar sejumlah pernyataan yang menyiram harapan kepada khalayak ramai. Ada kesan menggertak, tetapi serius. Ada joking kasar tetapi menyasar pada makna. Dan, sering pula menuding tetapi memusingkan yang merasa bersalah.
Mungkin karena belum biasa saja, orang-orang merasa gerah dengan tuntutan disiplin tinggi. Kantor lingkungan kerja harus bersih. Sampah di Kota Kupang dan Labuan Bajo dibidiknya serius, dan terkesan agak geram. Para Kadis dan Kepala Biro dimintanya serius urus bersih kantor dan disiplin. Tiap pegawai harus punya target, dan SOP patut dipatuh. Semua bergerak. Pemimpin itu membuat khalayak bergerak.
Untuk sampah Kota Kupang dan Labuan Bajo, diingatkannya berulangkali, agar dua pemimpin di dua kota ini fokus, dan serius. Meski memang terkesan, dua tokoh penting di dua kota ini seperti kehilangan momentum politik dan arah, dan lamban serta disorientasi, tetapi toh momentum untuk keduanya dapat diraih lagi jika mau. Walikota dan Bupati, didorongnya untuk terus bergerak dalam irama serupa. Lekas dan cepat siaga tinggi. Kini, Walikota dan Bupati terbimbing menari pada irama yang sama.
Walikota Kupang, Jefry Riwu Kore, misalnya, dengan sigap menanggapi umpan Victor Yos, tidak dengan wacana, melainkan dengan tindakan konkrit tanpa banyak riuh diskursus. Kota Kupang dibenah dari aneka dimensi, sambil terus mencermati team impian yang cocok dan pantas untuk kepemimpinan Firmanmu.
Pembenahan struktur birokrasi, dan gelombang mutasi akan segera digerakkan tanpa banyak bicara. Mulai dari level kelurahan sampai ke Dinas-dinas yang aksesibel dengan visi misi Firmanmu. Meski demikian badai kritik, sebagai ciri utama dinamika politik kota tak kunjung sepi.
Tetapi, kita semua mencatat, perlahan tapi pasti pembenahan dipastikan Jefry Riwu Kore, tanpa banyak berwacana.
Sementara di lapangan tengah birokrasi Propinsi NTT, tampak semua bergerak gesit. Jika Victor Laiskodat berjalan agak lekas, semua rombongan birokrat pun ikut bergerak lekas, meski agak ngos-ngosan, lantaran suasana ikut berubah. Tetapi, arahnya tetap jelas, yaitu tuntaskan urusan birokrasi karena rakyat NTT menanti pelayanan super prima para pelayan. Sebagaimana selalu dikatakan Victor Laiskodat, NTT harus kerja keras dan cepat untuk mencapai kesetaraan dengan propinsi lain yang sudah terlanjur berlari jauh di depan.
Jangan bertele-tele karena waktu selalu habis. Waktu, tak akan datang kembali. Segera tendang bola kemajuan agar kita lekas menciptakan gol kemenangan membebaskan ini NTT dari tudingan propinsi serba belakang. Semua ini untuk pemenuhan jargon NTT Bangkit NTT sejahtera.
NTT, memang serba miskin, melarat, korup, malas, bodoh, penyakitan dan lain-lain. Itu stigma tidak boleh ada lagi. NTT Bangkit, NTT maju. Victor Yos, terus bergerak. Perihal moratorium human trafficking kian diperjelas dan dipertegas.
Pilihan untuk mengirim tenaga profesional ke luar negeri kian terang diarahkan dan sangat niscaya. BLK di sejumlah wilayah harus berfungsi maksimal untuk melahirkan ribuan tenaga kerja profesional agar laik tanding di level internasional. BLK-BLK tidak boleh lagi hanya menjadi kandang kambing dan sarang para penyamun. Lalu para pemain yang mengambil keuntungan atas bisnis human trafficking yang selama ini nyaman di zona kolutif harus dikejar habis-habisan sampai ke lubang tikus persembunyiannya. Para pemain lama diidentifikasi, dikuntit dan ditantagkap lalu dijebloskan ke dalam jeruji bui.
Bank NTT pun dibidik. Rabu, 28 November 2018, diselenggarakan RUPS Luar Biasa. Tujuannya jelas. Direksi dan Komisaris dievaluasi. Birokrasi di bank pemerintah daerah itu dipangkas. Gaji para petingginya ditinjau ulang. Yang diangkat karena hubungan kolutif digusur dan dicari team baru yang lebih liat, tangkas dan bermimpi sama dengan Gubernur NTT. Urusannya lekas. Karena itu momentum perlu terus dijaga.
Sedangkan para penonton yang bersorak di tepi lapangan main politik NTT juga tak sabar melihat perubahan, berharap cemas tetapi dengan tuntutan sangat jelas. Bahwa seluruh para perusak NTT yang selama ini pesta santai, perlu dikejar. Para tikus perusak birokrasi dan mekanisme perekrutan birokrasi yang rusak parah itu harus diburu dan ditangkap dari sarang persembunyiannya. Promosi birokrasi berbasis merit system, bukan rekruitmen berbasis relasi dengan istri gubernur atau keluarga gubernur.
Jika Gubernur berhasil merangsek pertahanan pemain lama, maka akan segera terdengar gemuruh aplaus rakyat. Dukungan pun mengalir dari mana-mana sebagaimana dukungan para cerdik cendekian di Ledalero, dukungan para dosen di perguruan tinggi sedaratan Timor dan Rote, juga dukungan serius para tokoh agama. Mereka semua seperti berada dalam satu koor kesepakatan, bahwa Gubernur Viktor Yos tuntaskan problem NTT, dan tangkap semua para pecundang pelaku jahat di masa silam.
Maka telah menjadi jelas, bahwa kini, giliran para birokrat profesional yang tidak menuntut belas kasihan dari upah politik hanya karena bagi-bagi keuntungan hasil elektoral. Kaum birokrat profesional hari-hari belakangan ini ternyata memberi dukungan keras gerakan Bung Viktor dan Kak Yos ini. Mereka, kaum profesional di birokrasi NTT itu, justru merasa terbebaskan, karena mereka pun ingin menampilkan profesionalisme yang mereka punya.
Sedangkan para bupati, Walikota, camat dan Kepala Desa berada dalam satu formasi. Dan, saya duga, impian NTT Bangkit akan segera menjadi nyata, asal saja, terus terang, tak boleh hangat-hangat tahi ayam, agar Gubernur Viktor dan Yos, tak dicibir bibir ramai dari tepi lapangan tanding perubahan.
Jika Victor dan Yos hanya gertak sambal hangat-hangat tahi ayam, nasib NTT tak berubah kembali sebagaimana rezim sebelum ini.
Biasa-biasa saja dan NTT tetap terpuruk. Selamat mengepung NTT bung Viktor dan bung Yos.