Bajawa, Vox NTT-Masyarakat Desa Waewea, Kecamatan Bajawa Utara, Kebupaten Ngada diduga hidup penuh dengan tekanan usai pemilihan kepala desa (pilkades) pada Selasa, 27 November 2018 lalu.
Pasalnya, ada oknum calon yang kalah pilkades Waewea, mengancam warga Transmigrasi Lokal akan mencabut kembali dan menata ulang pembagian lahan. Padahal mereka sudah menempati lokasi tersebut selama bertahun-tahun.
Hal itu disampaikan warga Desa Waewea, Marselinus Lay kepada wartawan, Minggu (02/12/2018).
Marselinus mengaku, mantan kepala desa Waewea Damianus Nua yang diduga mengancam akan mencabut kembali dan menata ulang pembagian lahan tersebut
Selain mantan Kades, Damianus juga menjabat sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Satuan Pemukiman (SP) 2 Maghiana, Desa Waewea.
Menurut Marselinus, rencana pencabutan dan pembagian ulang disinyalir terkait gagalnya anak Damianus, yakni Germanus Leo Nua dalam pilkades Waewea.
Ia juga mengaku, telah mendengar rekaman ancaman dari Damianus tersebut usai perayaan ekaristi (misa) di kapela setempat pada Minggu, 2 Desember 2018.
Dalam rekaman tersebut, kata dia, Damianus menjawab pertanyaan dari Martinus Tuba dan Ludgardus Ria. Keduanya adalah warga SP 2 Satuan Pemukiman Maghiana Desa Waewea .
Dikatakan Marselinus, Damianus menyampaikan bahwa akan diatur ulang lahan yang ditempati warga Transmigrasi Lokal, walaupun sudah banyak hasil usaha yang telah dinikmati.
“Dulu kita keluarga dan sekarang tidak lagi. Saya akan atur ulang secepatnya,” ungkap Damianus., sebagaimana ditiru Marselinus.
Marselinus menambahkan, warga Transmigrasi Lokal sebagian besar berasal dari Kabupaten Nagekeo.
Program transmigrasi kala itu, terjadi saat Kabupaten Ngada dan Nagekeo masih bersatu.
Warga transmigrasi mengaku, saat ini dalam tekanan dan takut menyekolahkan anaknya. Bahkan mereka takut beraktivitas karena diancam akan mencabut kegiatan mereka yang selama ini aman.
Terkait masalah tersebut, anggota DPRD Ngada asal Kecamatan Bajawa Utara Raymundus Bena menyatakan tidak sependapat dengan ide untuk mengukur ulang lahan transmigrasi.
Menurut Bena, pembagian lahan berdasarkan peta, bukan atas kemauan UPT.
“Ada aturan mainnya. Warga trans tidak boleh dibuat ombang ambing karena menyangkut masa depan dan keberlanjutan hidup,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, warga transmigrasi sudah lama tinggal Pemukiman Maghiana Desa Waewea. Mereka sudah beradaptasi dengan lingkungan dan lahan pembagian awal.
“Kalau bicara soal lahan masuk dalam kawasan atau lahan suku kenapa baru sekarang dipersoalkan?’’ tanya Bena.
Ia menegaskan, kawasan yang ditempati warga transmigrasi adalah urusan Negara, bukan lagi UPT.
“Setahu dirinya yang cukup lama bergelut di Komisi C periode lalu, di mana salah satu mitra kerjanya bersama Nakertrans, lahan-lahan tersebut sudah diukur untuk disertifikat,” katanya.
“Saya mau tanya yang bicara itu atas nama siapa? Kalo atas nama UPT, itu tidak benar karena ada masa berlakunya. UPT sudah tidak ada lagi di trans. Satuan pemukiman transmigrasi sudah dianggap mandiri,” tambah dia.
Menurut Bena, jika ada ancaman akan terjadi pemagaran, maka hal tersebut adalah motif pribadi dan perlu ditindak tegas oleh aparat. Negara tidak boleh menjadi penonton dengan masalah tersebut.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan Kepala UPT Satuan Pemukiman (SP) 2 Maghiana Desa Waewea, Damianus Nua belum berhasil dikonfirmasi.