*) Cerpen Yance Paji
Pagi itu Opa Meki tidak ingin ke mana-mana. Ia hanya mau menghabiskan segelas kopi dan beberapa potong pisang goreng sambil mengobrol dengan istrinya di dapur. Maka, ketika Mama Sofia mengetuk pintu rumahnya dan memanggil-manggil dengan nada gelisah, ia memandang sekilas istrinya yang sedang mengupas bawang untuk bumbu sayur bayam kesukaannya. Lalu berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi sambil mengumpat sendiri. Oma Maria, istri Opa Meki, buru-buru membuka pintu depan rumah dan menyambut Mama Sofia dengan penuh tanda tanya.
“Vinsen, Oma! Vinsen jatuh dari pohon mangga di belakang rumah. Dia mati sebelum dukun datang membantu.”
Mama Sofia hanya menyampaikan sepotong pesan itu, lalu pergi dengan isak ditahan-tahan. Meninggalkan Oma Maria yang terkulai lemas sendirian di kursi dan kegeraman Opa Meki di kamar mandi.
Tapi Opa Meki sendiri seperti sudah tahu apa maksud kedatangan Mama Sofia. Meski berita yang hendak disampaikan itu tentang kejadian yang baru beberapa menit berlalu. Dan dapat dipastikan waktu itu, Opa Meki baru saja menghampiri hidangan kopi panas dan beberapa potong pisang goreng di dapur. Dan Oma Maria sedang mengambil beberapa helai daun bayam di pekarangan belakang rumah.
Malam kemarin, ketika berulang kali menangkap suara kokok ayam menjelang pukul 24.00, Opa Meki tahu ketakutan demi ketakutan yang menimpa kampungnya belum akan berakhir. Besok masih ada korban lagi. Peristiwa naas dan kematian beruntun itu dimulai kira-kira dua minggu yang lalu. Waktu Opa Nikus, tetangga yang masih sepupu dekat Opa Meki, ditemukan oleh istrinya sudah tak bernyawa di dekat kandang babi. Ia jatuh dengan kepala membentur tiang kandang babi setelah memberi babi-babinya makan sore.
Kematian tidak wajar itu disusul berita dari tanah rantau tentang Bapak Natus, anak bungsu dari salah satu adik lelaki Opa Meki, yang mati tertimpa alat berat dan harus segera dikirim pulang untuk dikuburkan di kampung halaman. Baru dua tahun lalu, Bapak Natus berangkat ke Malaysia meningggalkan istrinya yang sedang hamil muda dan dua anak lelaki yang kurus kering. Dia berencana pulang tahun ini, tetapi tak dinyana yang tiba di kampung hanya tubuh yang kaku. Orang-orang pemerintah melarang petinya dibuka karena sudah beberapa hari tubuhnya membusuk. Namun, setelah dipaksa oleh keluarga untuk memandikan jenasah secara adat, dilihat dada dan perutnya penuh dengan bekas jahitan yang masih baru.
Beberapa hari setelah penguburan jenazah, dari cerita-cerita burung yang beredar, Opa Meki baru tahu kalau Bapak Natus sebenarnya pulang bukan saja tanpa nyawa, tetapi mungkin juga tanpa organ-organ di dalam tubuhnya.
Tiga hari berselang, Opa Meki kembali dikejutkan oleh berita tentang cucunya, anak sulung dari anak perempuan satu-satunya, yang dibuat hamil seorang Pastor. Cucunya yang baru berusia 14 tahun itu sering menjadi pelayan altar di kapela Stasi mereka. Stefania, nama cucunya itu, mengaku sudah lama tubuhnya sering dipijit-pijit oleh Pastor saat sedang latihan melayani altar.
Dari itu, orang-orang kemudian tahu tabiat buruk Pastor mereka, tetapi tidak ada yang berani melapor. Mitos tentang Pastor yang suci dan bisa memberi kutuk sudah cukup mengunci mulut mereka. Beberapa hari lalu, entah oleh alasan apa, Pastor itu tiba-tiba pindah. Meninggalkan kebencian dan ketakutan yang bercampur aduk di hati orang-orang. Meninggalkan cucu Opa Meki yang menderita dengan janin dan trauma yang tumbuh di perutnya.
Dan Vinsen, anak lelaki bungsu dari Opa Pius, adik ketiga Opa Meki, yang berita kematiannya baru saja disampaikan Mama Sofia pagi menjelang siang tadi, adalah korban yang keempat selama kurang lebih tiga minggu terakhir ini.
Maka, pada tengah malam sebelum Vinsen jatuh dari pohon mangga, saat kokok ayam bertalu-talu memecah kesunyian kampung, Opa Meki beringsut ke teras depan rumahnya sambil menarik sebatang kretek. Diambilnya sebuah kursi kayu untuk menopang pantatnya yang kusut. Matanya memandang jauh melewati atap-atap rumah. Dan setelah menghembuskan asap rokok terakhir ia berbisik kepada dirinya sendiri.
“Dua hal ini sudah pasti. Pertama, masih ada korban lagi. Kedua, di balik semua ini ada permainan Opa Joni.”
Dendam lama tersulut kembali.
***
Opa Joni percaya satu-satunya cara menuntaskan sengketa ini adalah dengan mengundang Polisi, Bapak Kepala Desa, dan Bapak Camat ke rumahnya. Ia sendiri harus mengambil satu keputusan yang berani. Sudah dua tahun lebih tanah kosong seluas enam hektar itu menjadi sumber pertengkaran. Opa Joni sendiri masih ingat benar batas-batas tanah yang pernah ditunjukkan oleh ayahnya dulu, sebagaimana ayahnya ditunjuk oleh neneknya, dan neneknya oleh ayah dari neneknya, dan seterusnya dari nenek moyang mereka.
Namun, pikir Opa Joni, sekarang ini dunia sudah membentuk orang-orang dengan kebenaran mereka masing-masing. Maka, ketika suatu hari Opa Meki, sepupu jauh Opa Joni yang tinggal di lain kampung, datang dengan cerita yang katanya diturunkan dari ayahnya sebagaimana ayahnya dari neneknya, dan neneknya dari ayah neneknya, dan seterusnya dari nenek moyang mereka, Opa Joni mulai menyadari dia hanya memiliki satu di antara entah berapa kebenaran lain tentang sebidang tanah itu.
Dan suatu kebenaran hanya bisa hidup kalau dibela sampai mati.
Opa Joni dan Opa Meki dulunya berteman karib ketika masih sama-sama jadi penambang pasir. Sebelum truk-truk dan alat-alat berat lain didatangkan oleh PT dan menjadi saingan kerja yang terlalu sulit. Setelah mengundurkan diri dari usaha tambang pasir, Opa Joni dan Opa Meki sama-sama menyadari betapa penting tanah yang diwariskan nenek moyang mereka. Sebab hanya dari tanah itu mereka dan ternak-ternak mereka mampu menyambung hidup tanpa gangguan makhluk-makhluk buas seperti PT. Namun, kesadaran baru itu, ditambah pahitnya hidup di tanah gersang, justru menyulut api perselisihan di antara mereka. Opa Joni dan Opa Meki rela melupakan semua keakraban mereka dulu demi memiliki secara penuh tanah kosong seluas enam hektar itu.
Sudah tiga kali mereka adu parang dan belasan korban dari kedua belak pihak berjatuhan. Opa Joni sebagaimana juga Opa meki, keras dengan pendirian masing-masing. Maka, ketika tersiar kabar Opa Joni mengundang Polisi, Bapak Kepada Desa, dan Bapak Camat ke rumahnya, orang-orang menghembuskan nafas legah karena mencium tanda-tanda perdamaian. Dan benar saja, dalam perjumpaan itu Opa Joni tanpa banyak komentar menyerahkan sepenuhnya kepemilikan tanah seluas enam hektar itu kepada Opa Meki. Opa Meki menerimanya dengan terkejut dan penuh tanda tanya. Di hadapan Polisi, Bapak Kepala Desa, dan Bapak Camat mereka membubuhkan tanda sah di atas kertas lalu berjabatan tangan. Opa Joni terlihat legah. Opa Meki pulang ke rumahnya dengan hati gelisah.
Perjumpaan di rumah Opa Joni itu terjadi dua minggu sebelum Opa Nikus ditemukan istrinya mati di kandang babi. Atau kurang lebih satu bulan menjelang datang kabar dari mama Sofia yang membuat Opa Meki tidak habis menikmati segelas kopi dan beberapa potong pisang goreng pada suatu pagi yang seharusnya tenang dan hanya diselingi suara-suara bebek yang berebutan makanan di belakang dapur.
***
Dari dalam kamar mandi Opa Meki bisa mendengar suara bebek yang berkejaran di belakang dapur. Juga isak istrinya yang riuh rendah seperti seseorang yang terserang asma. Mama Sofia sudah pulang dan berita yang ia sampaikan persis seperti yang diramalkan Opa Meki malam tadi. Kini Opa Meki berusaha mendinginkan pikiran untuk bisa mengambil sikap terhadap kematian keponakannya Vinsen. Dan terutama terhadap Opa Joni, dalang yang bermain di balik semua ini.
Maka, setelah membasuh kepala dan mukanya dengan air dingin, Opa Meki keluar dari kamar mandi, mengambil seikat sirih, beberapa butir pinang, dan segenggam kapur milik istrinya di lemari dapur, lalu memasukkannya ke dalam sebuah plastik hitam. Ia keluar dari pintu belakang dapur, berjalan di antara bebek-bebek yang sedang berebutan makanan menuju sebuah kandang ayam di bawah pohon mangga. Setelah memastikan seekor ayam merah sudah melekat di ketiaknya, Opa Meki bejalan meninggalkan rumah.
Ia tidak bermaksud pergi melihat jasad keponakannya di rumah Opa Pius. Pagi menjelang siang itu, tanpa diketahui seorangpun, dengan kebencian dan kemarahan yang bernyala-nyala di dada, Opa Meki berjalan cepat-cepat melewati pohon-pohon besar yang menjulang di belakang rumahnya. Meski sudah renta, kakinya masih cukup tangguh membawa tubuhnya menerobos semak-semak dan akar pohon. Dua puluh menit berselang, ia sudah berdiri di depan pintu sebuah pondok tua.
Oma Dao tersenyum tipis ketika Opa Meki meletakkan sirih, pinang, kapur, dan seekor ayam merah di hadapannya. Opa Meki menjelaskan maksud kedatangannya. Oma Dao tanpa banyak bicara mengambil sirih, pinang, dan kapur. Mengunyah ketiganya sampai bau tajam mulai mengusik hidung dan percik-percik merah menguar dari bibirnya. Lalu menyemburkan air merah dari mulutnya ke kepala ayam. Setelah mengucapkan beberapa kata yang sulit dimengerti, Oma Dao mengambil sebuah pisau dan menyerahkannya ke Opa Meki.
“Potong urat leher ayam itu, maka terputus pula tali nasib malangmu.”
Tanpa ragu Opa Meki menggorok leher ayam merah itu. Oma Dao mengambil empat helai buluh sayap dan memotong jeger ayam yang sedang terkelepar-kelepar itu. Ia lalu membakar buluh dan jeger itu di api tungku. Tatapannya mengikuti asap hitam yang bergerak keluar melalui sela-sela dinding pelupuh. Seperti menitipkan sebuah pesan rahasia yang hanya bisa ia dan asap hitam itu mengerti. Setelah hening yang cukup panjang, Oma Dao kembali berbisik.
“Dalam sebulan ini, semua sial yang menimpamu akan berbalik menikam Opa Joni.”
***
Pagi menjelang siang itu, dari seorang tetangga yang baru pulang dari kampung sebelah, Opa Joni mendengar kabar tentang Vinsen yang mati karena jatuh dari pohon mangga. Cepat-cepat ia memberitahu istrinya dan mereka beranjak menuju rumah Opa Pius, ayah Vinsen, sepupu jauhnya juga.
Dari jauh Opa Joni melihat beberapa orang lelaki dan perempuan sedang berusaha menenangkan Mama Sofia yang menangis histeris di halaman rumah Opa Pius. Istrinya mulai ikut terisak. Namun, beberapa langkah sebelum mencapai halaman rumah, ia melihat beberapa orang tampak menyunggingkan senyum lebar sambil menunjuk ke arah mereka. Ia terkejut bukan main saat Vinsen tiba-tiba keluar dari pintu rumah. Ia tidak tampak baru jatuh dari pohon mangga atau baru bangkit dari mati.
Seketika disadarinya bahwa hanya Mama Sofia yang meraung di antar beberapa orang yang ada di situ. Ia memukul jidatnya.
“Oh Tuhan, ini kesekian kalinya saya kena tipu dari Mama Sofia.”
Mama Sofia yang biasa kena penyakit gila pada waktu-waktu tertentu itu tetap meratap sambil memanggil-manggil nama Vinsen. Dua tahun terakhir ia memang selalu seperti itu. Ia tampak normal, tapi pada hari-hari tertentu ia akan berlari keliling kampung sambil membawa berita kematian. Berita yang ia sebarkan selalu tidak benar, tapi entah mengapa selalu banyak orang yang percaya. Mungkin karena beritanya tentang kematian, tema yang sensitif dan selalu mengganggu.
Opa Joni dan istrinya pulang ke rumah sambil menertawakan peristiwa hari itu. Tapi mereka tidak pernah tahu, karena berita dari Mama Sofia itu, dari sebuah pondok tua Opa Meki dan Oma Dao baru saja menerbangkan bala kepada mereka.***
Yance Paji lahir pada 15 Januari 1998. Sekarang menempuh pendidikan di STFK Ledalero dan aktif dalam komunitas Teater Tanya Ritapret. Seorang pecinta buah-buahan.