Oleh: Pius Rengka
Sebagaimana maknanya, ini sebuah balada. Sebut saja, namanya Bibiana Retangmolas. Ia gadis dusun. Tinggal nun jauh di pedalaman gunung.
Kota Kecamatan terdekat, ditempuh jalan kaki satu jam, 15 km, jalan tikus lekuk kelokan bukit dan berbatu.
Di musim hujan, akses ke kampung itu, sulit sudah. Tak ada seorang pun orang kota yang datang ke sana, karena untuk urusan apa juga ke situ. Kampung itu, sebut saja Sekok, namanya.
Bibiana, bersama orangtua dan sanak saudaranya, tinggal di sebuah gubuk. Atap alang-alang lubang di sana sini, dinding bambu sisa. Sedangkan tiang-tiang rumah terdiri dari kayu campur-campur. Tiang satu dari bambu, tiang lain kayu jambu. Apa yang disebut kamar, tidak lebih dari sekadar sekat bambu lapuk yang dihajar anai-anai dan lainnya remuk.
Saking tua usia rumah itu, 20-an tahun, berdiri tak tegak lagi. Untung saja, gubuk itu terletak di antara gubuk-gubuk lain, yang berfungsi sebagai penghadang alami manakala badai angin barat tiba tiap Desember. Gubuk keluarga Bibiana seolah dipeluk teguh perlindungan alami yang meluputkan mereka dari ancaman bahaya. Tetapi tidak manakala hujan menguyur. Tatkala hujan tiba, mereka harus bertarung siaga penuh 24 jam dari tikaman rintik hujan yang menembus masuk lewat atap yang sudah tak rapi dan lapuk.
Manakala guntur bergemuruh dan kilat menyambar di mana-mana, badai menghajar bibir tebing sekuat-kuatnya, bukan tak jarang mereka di situ menanggapinya sambil mata tertutup tangan membuat tanda salib, atas nama Bapa Putra dan Roh Kudus. Seolah-olah dengan bertingkah begitu segala perkara sirna punah dengan sendirinya tanpa jejak.
Dusun Sekok, secara alami terletak di lembah. Di barisan lereng bukit jauh yang ditumbuhi aneka jenis kayu. Di sana puluhan kayu putih tumbuh menjadi pohon raksasa. Ada juga sebaran pohon mangga berbuah sangat asam. Di situ tumbuh pula sejenis pohon dari kelompok pohon paku yang, isi dalamnya dapat dijadikan bola sepak di dusun itu.
Untuk mendapatkan lauk pemuas dahaga, kadang mereka berburu tikus hutan dengan rombongan anjing kampung yang terlatih untuk maksud itu. Tetapi, itu pun jarang dilakukan, karena teramat sering kawanan tikus hutan kabur meluputkan diri meloncat masuk ngarai dalam atau evakuasi dini masuk liang batu yang sulit diakses anjing. Termasuk anjing bernama Mbako yang kesohor tangkas di situ.
Memang, Mbako kerap berani masuk jurang juga, tetapi kemudian dia melolong sejadi-jadinya manakala tak sanggup mendapatkan keluar dari sana. Biasanya, tim bantuan dari kampung, Nabas, dianggap handal untuk urusan itu. Dan, Mbako selamat.
Nabas, usia paruh baya, kumis dan janggut tebal, berbadan kekar. Dia, dikenal di situ semacam paranormal. Biasa meramalkan masa depan pasien, sesekali juga sanggup menyembuhkan orang sakit dengan ramuan yang hanya dia saja yang tahu. Kepadanya digelar “Ata Mbeko” (semacam dukun).
Hiburan paling menyenangkan, tetapi juga sudah biasa mereka tahu, adalah siulan burung hutan yang melengking merdu berirama nyaris setiap senja. Kadangkala, siulan burung itu sudah menjadi pratanda, bahwa hari kian menjelang petang. Para petani ladang harus segera bergegas pulang jika tidak ingin dijebak gulita malam. Burung itu dikenal bernama Kokak, entah apa nama ilmiahnya.
Saban hari, sedari pagi hingga rembang petang, kelakuan penduduk kampung itu sudah tertata sama. Pagi dini hari bangun tidur. Kaum pria mengasah parang, perempuan merebus ubi. Hidup telah begitu sudah sejak dahulu kala jadi rutin seperti itu.
Apalagi, di dalam keluarga yang dikisahkan di sini, Bibiana anak sulung. Ia memang sempat menikmati pendidikan hingga tamat kelas 6 sekolah dasar. Cukup tahu baca sedikit, tahu tulis seperlunya dan dengan begitu cukup sudah dia dianggap terpelajar di situ.
Bibiana Retangmolas, bertumbuh mekar jadi gadis dewasa. Dia gadis yang mempesona di kampung itu. Tetapi, dia menyimpan sejuta imaji, ironi nan merana juga. Dia mekar dalam kultur kampung. Selalu pakai sarung. Urusan BH pelindung atas wanita, cukup langka di sana.
Meski begitu, mereka memegang teguh tabiat biasa, norma sopan santun tekun dijaga. Bahwa anak kampung wajib santun, dan dituntun kebiasaan harus selalu ada di dapur. Diyakini sepenuh hati, wanita memang ditakdirkan untuk selalu berurusan di dapur. Urusan di dapur, bagi Bibiana memang sudah rutin. Masak ubi, rebus daun singkong atau daun ubi tatas, untuk mengalas perih perut keluarga serumah sendiri.
Bangun pagi, harus lebih awal, tetapi itu harus, karena ia wanita. Di kampung mereka para wanita, selain berurusan dengan dapur, entah apa pun yang diurus juga tidak selalu jelas, tetapi api harus segera menyala. Air minum harus diambil di sumber air yang harus jalan kaki satu kilometer. Di sana ada pancuran yang melontar dari sebuah tebing wadas.
Sisa-sisa ubi dari kebun di lerenng bukit, ditanak untuk mengalas perut serumah sebelum pergi ke kebun mereka. Begitulah adat biasa di kampung itu, dan semua perempuan memang sudah begitu.
Begitulah seterusnya, hingga sekali waktu pas di musin kemarau, pemuda agak necis datang ke sana dengan harum semerbak parfum murahan. Pemuda itu, kita sebut saja bernama, Potiwolo.
Dia berlagak. Dia tak sengaja bertemu Bibiana, tatkala Bibiana pulang timba air. Demi melihat Bibiana, Potiwolo berhenti sejenak, menyapanya pakai bahasa Indonesia. Tentu saja, sapaan itu, kecuali dianggap tak biasa di sana, tetapi juga cukup memusingkan Bibiana lantaran harus menyusun tatabahasa seturut apa yang pernah dipelajarinya di sekolah dasar.
Dialog pun terjadi. Intinya, ditanya rumah Bibiana, dan dia hendak menginap di rumahnya. Bagi Bibinana, entah rejeki datang dari mana, pemuda agak bersih, berbahasa Indonesia pula, menawarkan diri nginap di rumah.
Bibiana bersilih mengambil jalan di depan demi menuntun Potiwolo. Sampai di rumah. Satu kampung geger nian. Tafsir pun macam-macam. Ada yang menduga, itu pemuda calon suami Bibiana, mungkin dia datang hendak melamar. Lainnya menduga, ada sesuatu yang belum jelas di sana, karena itu desas-desus pun merembes cepat di seantero kampung.
Demi sopan santun, tatkala malam tiba, Potiwolo, disiapkan tempat tidur dengan tikar baru, dan itu satu-satunya tikar mewah di rumah itu, dan sebuah bantal dari anyaman daun pandan. Singkat ceritera, Potiwolo nginap di situ, dan tuan rumah memimnjam lampu semprong tetangga untuk menerangi kehidupan malam itu.
Tak ayal lagi, penduduk sekampung datang ke sana, dan bertamu ingin tahu dan mendengar apa gerangan khabar yang dibawa Potiwolo. Begitulah, Potiwolo menjelang mulai berkisah malam itu. Tetapi, sebelum dia berceritera jauh-jauh, tamu agung ini disambut ayam jantan satu ekor milik Nabas sebagai lauk khusus yang didedikasikan untuk Potiwolo. Dia disambut bak raja. Potiwolo minta agar ayam itu dibakar saja, tidak perlu diolah dengan cara lain. Dua paha ayam disikat Potiwolo, jantung dan hatinya pun disambar dan dia sangat kenyang.
Kata Potiwolo usai santap malam. Dirinya mencari para gadis atau pemuda kampung berfisik tangguh dan kuat untuk bekerja di luar negeri. Serial warta gembira itu, mengalir masuk ke relung sukma manusia kampung. Nyaris tak seorang jua pun berkedip mata.
Mereka mencermati tawaran Potiwolo, dan tiap kali usai satu sesi penjelasan, selalu disambut dengan tanda salib atas nama Bapa Putra dan Roh Kudus. Apalagi Potiwolo, malam itu, tampil gagah. Di tas tentengannya, diisi penuh aneka jenis rokok pabrik. Gudang Garam, Sampurna, Djisamsu. Sesekali ditawarnya ke orang kampung, tetapi Nabas tampaknya mendapat jatah lebih.
Hasil propaganda malam itu, 10 muda mudi kampung mendaftar. Mereka siap berangkat bersama Potiwolo, karena janji gaji dan penghasilan yang disebutkan, nyaris tak pernah terbayangkan. Luar biasa.
Dukun Nabas pun, menyelanya dengan mengisahkan mimpinya dua malam silam. Katanya, dia bermimpi datang cahaya ke kampung mereka. Terang sekali. Seruan suara tentang cahaya itu diduganya datang dari sebelah bukit, tetapi entah suara siapa.
Mungkin inilah sudah makna mimpi itu, kata Nabas akhirnya. Nabas memang dipercaya sangat handal utuk urusan ramal meramal. Tak ada yang berani membantah. Potiwolo didaulat semacam pembawa cahaya. Terkonfirmasi mimpi dukun Nabas yang handal itu.
Maka 10 pemuda pemudi terdaftar, tidur tak nyenyak malam itu membayangkan betapa indahnya hari-hari esok itu. Mereka menyiapkan bawaan seperlunya, sejak dini hari, karena menurut Potiwolo, hidup di tempat baru penuh ugahari. Gaji tinggi. Sebulan diganjar gaji 8 juta. Tak terbayangkan, gaji setinggi itu seperti rejeki nomplok. Tafsir umum di situ, benar kata Nabas. Mimpi Nabas adalah mimpi pemberi petunjuk.
Untuk Bibiana Retangmolas, diperlakukan khusus, karena dialah pembawa rejeki itu. Maka Bibiana selalu dekat dengan Potiwolo dan diperlakukan sangat dekat oleh Potiwolo. Serta merta sekampung tahu Bibiana Retangmolas dianggap orang sangat dekat. Bolehlah disebut orang dalamnya Potiwolo. Begitulah, mereka keluar kampung.
Tiga tahun berselang. Ada selenting warta tiba di sana. “Bibiana akan pulang”. Orangtua Bibiana bahagia bukan alang kepalang mendengar desas desus itu. Tiap hari ayah dan ibunya, memandang ke arah pucuk bukit, karena itu jalan masuk menuju kampung. Jangan-jangan Bibiana muncul begitu saja di sana dengan rombongan pemikul bawaan yang begitu banyak.
Lepas seminggu, benar rombongan tampak di bukit, dan menandu sesuatu. Kedua orangtua Bibiana membatin, banyak benar bawaan Bibiana sampai-sampai datang berombongan besar. Tetapi, begitu tiba di mulut kampung, Bibiana tak ada, dan seorang di antara mereka menyebutkan, ini mayat Bibiana.
Tangisan pun pecah dan tatkala peti mayat dibuka, sekujur tubuh Bibiana penuh jahitan, dan sulaman. Tak ayal lagi, kedua orangtua pingsan seketika.
Potiwolo tak lagi jelas sedang di mana. Kawan Bibiana yang lain tak kunjung ada berita. Tetapi sebulan berselang, dikabarkan, semua anggota rombongan berangkat sama Bibiana ke tempat jauh itu didagangkan Potiwolo menjadi hamba sahaya di sana.
Maka sejak saat itu di kampung Sekok dikenal ungkapan Pergi Jadi Mendi Pulang Tinggal Belulang (Mendi = hamba). Sembari tanda salib atas nama Bapa Putra dan Roh Kudus.