Kefamenanu,Vox NTT-Bukit Batu Bnoko Kaenbaun di Desa Kaenbaun, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) kini menjadi buruan penggemar foto selfie.
Bukit Batu yang menjulang tinggi sekitar belasan meter dari permukaan tanah dan panorama indah alam di sekelilingnya, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemburu view.
Untuk sampai di lokasi Bnoko Kaenbaun, para pengunjung tak perlu kuatir, aksesnya cukup mudah dan bisa dilalui semua kendaraan, baik roda dua maupun empat. Namun, di sana kendaraan kan diparkir di batas wilayah Desa Tun-Tun dan Kaenbaun, tepatnya di Faut Kenes.
Usai turun dari atas kendaraan, pengunjung tak langsung menikmati keindahan pemandangan. Sebab, dari situ pengunjung akan menempuh perjalan kaki yang memicu adrenalin.
Bayangkan, dari Faut Kenes, pengunjung akan mendaki kurang lebih dua km, menyusuri hutan belantara seblum tiba di puncak.
Sekitar 50 meter sebelum mencapai kaki bukit, pengunjung disarankan untuk beristirahat sejenak. Di sana, tersedia sebuah tempat ritus adat. Ritual adat di tempat itu dipercaya, dapat menghindari pengunjung dari kecelakaan saat mendaki menuju puncak perbukitan.
Konon, tempat itu juga dipercaya warga setempat sebagai tempat istirahat para raja yang mendiami bukit Bnoko Kaenbaun, untuk beristirahat sebelum melanjutkan pendakian ke puncak.
Mencapai puncak Bukit Batu, memang membutuhkan sedikit keberanian dan tenaga ekstra. Namun, semuanya akan terbayar lunas setiba di puncak. Semburan udara segar dan panorama alam yang memikat hati, dipastikan dapat mengembalikan energi yang sempat terkuras.
Selain menikmati udara segar dan panorama alam, di sana terdapat tumpukan batu menjulang tinggi yang tak kalah menarik. Juga, dua buah makam batu yang dipercaya sebagai makam dari Raja Kaenbaun, Usi Ban’Uf dan isterinya, Bi Ul Haki.
Ketua suku Basan, Yakobus Basan saat diwawancarai VoxNtt.com di lokasi Bnoko Kaenbaun, Rabu(29/05/2019) menuturkan, zaman dahulu sebelum Belanda dan Portugis datang, di wilayah itu sering terjadi perang saudara, memperebutkan wilayah.
Bukit Bnoko Kaenbaun yang menjulang tinggi. Menuju ke sana hanya melalui satu jalur untuk mencapai puncak. Kondisi ini meyakinkan Raja Kaenbaun, Usi Ban’Uf untuk menjadikannya sebagai Istana Kerajaan sekaligus benteng pertahanan.
“Memang di atas sana tidak ada air. Jadi, dulu leluhur mereka timba air, turun lewat lorong rahasia. Hanya, sekarang itu lorong sudah tertutup,” kisahnya.
Yakobus menambahkan, hingga saat ini, pada waktu tertentu suku Basan masih melakukan berbagai ritual adat di puncak bukit Bnoko, seperti itu upacara syukur atas hasil panen maupun upacara adat lainnya.
“Kalau ritual adat di atas tidak ada aturan khusus, mau pakai binatang apa. Babi atau ayam juga bisa, warna juga terserah kita,” ujarnya.
Larangan
Demikian Yohanes, bagi siapapun yang ingin mengunjungi lokasi tersebut, sesuai aturan adat, wajib menyampaikan kepada suku Basan selaku pemilik bukit Bnoko Kaenbaun.
Selain itu, saat berada di atas bukit, pengunjung dilarang keras untuk mengetuk batu yang berada di atas puncak secara sembarangan.
Hal itu kata dia, karena terdapat sebuah batu yang diyakini, apabila dipukul akan mengeluarkan bunyi seperti gong.
Konon dipercayai, jika batu itu diketuk dan mengeluarkan bunyi seperti gong, maka bencana kelaparan akan menimpa warga Kaenbaun dan sekitarnya.
“Itu batu kalau pukul, nanti semua orang, biar di jauh juga bisa dengar. Bunyi seperti suara gong. Tapi kalau sampai berbunyi, maka bisa terjadi bencana kelaparan. Jadi, yang mau naik di atas sana tidak boleh sembarang pukul batu,” tegasnya.
Butuh Sentuhan Kebijakan
Felix Foni, salah satu tokoh pemuda Desa Kaenbaun, kepada VoxNtt.com mengaku, saat ini, hampir setiap hari banyak pengunjung di lokasi Bnoko Kaenbaun.
Ia berharap, pemerintah daerah dapat membuka akses jalan menuju ke lokasi wisata tersebut, sehingga makin banyak orang yang tertarik untuk datang.
“Kalau mau buka jalan ke lokasi Bnoko, juga harus dari arah Desa Kaenbaun. Kalau dari Faut Kenes, nanti kami punya ternak dengan hasil alam yang di sekitar Bnoko orang curi,” tuturnya.
Penulis: Eman Tabean
Editor: Boni J