Labuan Bajo, Vox NTT– Bupati Manggarai Barat (Mabar) Agustinus Ch Dula memediasi polemik persehatian batas antara Desa Nangalili dan Surunumbeng, Kecamatan Lembor Selatan. Upaya mediasi tersebut berlangsung di Kantor Bupati Mabar, Selasa (14/01/2020).
Bupati Dula kemudian menghadirkan saksi adat terkait polemik batas tersebut. Mereka dihadirkan untuk dimintai keterangan terkait kepemilikan ulayat.
Pada kesempatan tersebut Bupati Dula berpandangan bahwa ini adalah persoalan keluarga, persoalan weta agu nara (saudari dan saudara).
Menurut dia, tentu hukum adat juga menjadi indikator untuk menentukan keputusan penyelesaian polemik persehatian batas antara Desa Nangalili dan Surunumbeng. Hukum adat mencangkup fakta sejarah dan adat. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Meski demikian, pandangan sejarah dan fakta adat yang disampaikan oleh kedua belah pihak maupun para saksi adat dari lintas kampung belum menghasilkan sebuah keputusan tetap.
Sementara Kepala Bagian Tata Pemerintah Mabar Ambros Syukur, menjelaskan persehatian batas dibentuk tidak untuk menghilangkan hak ulayat dari kampung lain. Hal itu termaktup dalam Permendagri Nomor 42 tahun 2016.
Polemik terjadi di tengah masyarakat diduga terjadi karena persehatian batas antara Desa Nangalili dan Surunumbeng tahun 1992 “melangkahi” daerah kekuasaan ulayat Kampung Kaca, Desa Surunumbeng.
Kesaksian
Dalam upaya mediasi oleh Bupati Dula terungkap kesaksian dari saksi hidup tu’a gendang (pemuka adat) Kampung Amba, Petrus.
Petrus menjelaskan, pada saat itu sejumlah masyarakat menanyakan kepada pemerintah terhadap penetapan persehatian yang melewati batas ulayat.
“Saya termasuk orang yang bertanya kepada Camat Leo Manek, apakah nanti hak ulayat tidak hilang karena persehatian batas ini melewati batas ulayat Kampung Kaca? Menurut camat masa itu, bahwa persehatian batas tidak serta menghilangkan hak ulayat,” ungkap petrus di hadapan Bupati Dula dan perwakilan kelompok adat dari Kampung Kaca, Desa Surunumbeng, Kampung Kendol Nangalii maupun para saksi adat dari beberpa kampung lainnya.
Sementara itu, Masni, tokoh adat kampung Kendol, Desa Nangalili menjelaskan kronologis kepemilikan ulayat tanah yang terletak di Lingko Sumur itu. Menurutnya, tanah tersebut merupakan warisan leluhurnya.
“Saya adalah keturunan ketujuh dari moyang saya, tanah itu sudah ada sejak dahulu kala. Leluhur saya menceritakan bahwa dari Kendol sampai Lingko Sumur adalah warisan milik kami,” tegas Masni.
Menanggapi pernyataan Masni, tokoh adat Kampung Pumpung, Rius Hander membantah kepemilikan ulayat yang disampaikan Masni.
Menurutnya, kepemilikan awal tanah tersebut ialah milik ulayat Kampung Pumpung, Desa Surununmbeng masa itu.
Karena Kampung Pumpung dan Kampung Kaca adalah weta nara (saudara laki-laki/perempuan), maka Kampung Pumpung berinisatif memberikan gendang (rumah adat) kepada Kampung Kaca.
Setelah menerima gendang, Kampung Kaca berinisiatif meminta Lingko (hak ulayat) kepada Kampung Pumpung.
Tokoh adat Pumpung pun merespon dengan baik dan memberikan Lingko atau hak ulayat kepada Kampung Kaca dari gunung Surunumbeng hingga ujung pantai di Lingko Sumur (lokasi yang disengketakan).
Masih menurut Rius, adapun hubungan dengan Kampung Kendol dan Pumpung ialah juga weta nara.
Daerah Kendol, Palis dan sekitarnya juga menjadi daerah kekuasaan Kampung Pumpung masa itu.
“Jika kemudian diklaim bahwa Kendol adalah kampung lama yang berdiri sendiri itu tidak benar. ”Saudara Masni, jangan membohongi sejarah, Kendol itu ada belakangan,” ujar Rius dalam pertemuan tersebut.
Demikian halnya, tokoh adat Kampung Pie, Lukas Rindu. Ia membeberkan sejumlah fakta sejarah adat bahwa benar Lingko Sumur merupakan daerah kekuasaan ulayat Kampung Kaca.
Karena pada zaman dahulu tanah tersebut diserahkan oleh tokoh adat Kampung Pumpung dan telah melakukan ritual adat, ritual kepemilikan dengan memotong satu ekor kerbau dan satu ekor kuda.
Jika di kemudian hari menjadi polemik, menurut Lukas itu karena kekeliruan soal penetepan persehatian batas. Penetapan persehatian batas tidak dipersoalkan pada tahun 1992 karena pemerintah menjelaskan bahwa persehatian batas dibentuk tidak serta merta menghilangkan hak ulayat.
Tokoh adat Kampung Kaca, Dominikus turut membeberkan sejumlah fakta sejarah yang sulit dibantah oleh kelompok Kampung Kendol.
Menurut Dominikus, Kendol maupun Kaca sumbernya ialah Kampung Pumpung. Hanya saja masa itu, Kampung Kaca meminta ulayat kepada Kampung Pumpung dan diberikan hak ulayat karena memiliki gendang sebagaimana filosofi Manggarai, lingko pe’ang gendang one . Ini berbeda dengan Kampung Kendol yang tidak memiliki gendang dan kemudian mengklaim hanya punya Lingko.
Setelah mendengar beberapa penjelasan tokoh adat lintas kampung, Masni kembali mengungkit soal penetepan persehatian batas oleh Pemerintah Manggarai tahun 1992. Bahwa masa itu kenapa tidak ada keberatan.
Untuk diketahui, kedua belah pihak maupun para saksi adat dari lintas kampung belum menghasilkan sebuah keputusan tetap di balik upaya mediasi polemik persehatian batas antara Desa Nangalili dan Surunumbeng. (VoN)