Labuan Bajo, Vox NTT- Ribuan massa datang dengan terencana membanjiri halaman kantor DPRD Manggarai Barat, Rabu (12/02/2020) siang.
Massa aksi unjuk rasa itu terdiri dari Asita, Askawi, HPI, Formapp, P3Kom, DOCK, Gahawisri, Garda Pemuda Komodo, dan Sunspirit for Justice and Peace.
Di bawah terik matahari di depan kantor dewan, beberapa orator meneriaki beberapa realitas miris yang saat ini terjadi di Taman Nasional Komodo (TNK).
Bahkan, mereka mengecam keras kehadiran Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOP-LBF).
Massa menilai kehadiran badan yang dikabarkan mendapat sokongan dana Rp 115 miliar dari Kementerian Pariwisata pada tahun 2020 itu adalah representasi oligarki.
“Per hari ini BOP adalah representasi pemerintah pusat, dan kami yakin representasi oligarki di tingkat pusat,” teriak Yohanes Ino Mance, salah satu orator di depan kantor DPRD Mabar.
Dilansir Wikipedia, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Joni Mance kemudian mengajak peserta aksi untuk mengecek website BOP-LBF. Ia menilai hampir tidak menemukan prosentasi konsep tata kelola pariwisata Labuan Bajo dan Flores untuk meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.
“Yang ada adalah desain strategis nasional untuk diperjualbelikan di tingkat pusat,” ujar mantan Germas PMKRI Ruteng itu.
Oleh karena itu, Joni mendesak DPRD Mabar agar memanggil BOP-LBF untuk mempertanggungjawabkan tupoksinya.
Menurut dia, sejak BOP-LBF ada di Labuan Bajo, banyak potensi konflik di kota unjung barat Pulau Flores itu. Hal itu disebakan karena seluruh kerja teknis BOP-LBF didesain untuk diperjualbelikan di tingkat pusat.
Senada dengan Joni, Koordinator Formapp Aloysius Suhartin menyatakan, BOP-LBF merupakan institusi lapangan yang berada di balik rencana utak-atik kawasan TNK sebagai target baru investasi.
Sebab itu, Aloysius menuntut kepada pemerintah agar membubarkan BOP-LBF dan mencabut Perpres Nomor 32 tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores.
“Sebaiknya Pemda Manggarai Barat harus diberi ruang untuk menentukan pembangunan pariwisata yang sesuai dengan konteks ekonomi, budaya, dan lingkungan masyarakat setempatnya,” ujarnya saat membacakan pernyataan sikap bersama di ruang rapat DPRD Mabar.
Pantauan VoxNtt.com, usai menggelar dialog dengan sedikitnya 7 anggota DPRD Mabar, massa aksi berakan menuju Kantor BOP-LBF.
Usai berorasi beberapa saat, massa aksi kemudian menyegel kantor BOP-LBF dengan spanduk bertuliskan “Bubarkan BOP Labuan Bajo”.
Dalam pernyataan sikap bersama massa aksi yang salinannya diterima VoxNtt.com, mereka mengkritisi beberapa poin, antara lain,
Pertama, pemberian izin investasi kepada sejumlah perusahaan swasta di dalam kawasan TNK.
Izin investasi itu seperti Sarana Pariwisata Alam (IUPSWA) kepada dua perusahaan.
Keduanya yakni, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dengan memberikan izin investasi di atas lahan seluas 151,94 hektare di Pulau Komodo dan seluas 274,13 hektare di Pulau Padar.
Kemudian, PT Sagara Komodo Lestari (PT SKL) di atas lahan seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca.
Kedua, pemerintah menjadikan Pulau Komodo dan perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata ekslusif super-premium dengan tiket masuk sebesar 1000 USD. Pengelolaannya akan diserahkan kepada PT Flobamora (BUMD Pemprov NTT) dan “pihak lain”.
Ketiga, pemerintah hendak merombak penataan Pulau Rinca dengan dalih persiapan agenda KTT G-20 2023 dan Asean Summit.
Penataan ini dilakukan dengan cara meruntuhkan semua Barang Milik Negara (BMN) yang ada di Loh Buaya dalam waktu dekat dan digantikan dengan pembangunan sarana dan prasarana yang baru.
Keempat, pemerintah akan membangun di Pulau Padar dermaga dan pusat kuliner bertaraf premium, yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak perusahaan.
Pada saat yang sama, telah diserahkan kepada PT KWE untuk investasi sarana pariwisata alam (IUPSWA).
Kelima, pemerintah berencana mengelola Pulau Muang (dan mungkin juga Pulau Bero/Rohbong) yang terletak antara Pulau Rinca dan Golo Mori akan dijadikan sebagai area investasi untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tana Mori seluas 300 hektare.
Dua pulau itu masing-masing adalah zona rimba dan zona inti TNK.
Keenam, pemerintah yang sebelumnya mengumumkan kebijakan relokasi warga Kampung Komodo sampai saat ini belum membuat surat keputusan resmi yang membatalkan rencana tersebut.
Penulis: Ardy Abba