(Refleksi Hari Raya Paskah)
Oleh: Paskalis Patut, OCarm
Pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan tatanan hidup manusia di bumi ini hampir di segala bidang.
Gaya hidup manusia modern network yang selalu terhubung satu sama lainnya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya terpaksa harus breakdown.
Setiap orang pun diimbau untuk menjaga jarak (physical distancing) dengan orang lain. Tidak hanya berhenti pada imbauan physical distancing, setiap orang pun dipaksa untuk tinggal di rumah masing-masing. Sekolah dari rumah dan bekerja dari rumah.
Everyone have to stay at home merupakan seruan imperative dunia tanpa kompromi demi memotong rantai ganasnya penyebaran pandemi Covid-19.
Baca: Paskah Pesta Kemenangan dan Bangkitkan Kembali Semangat Mengikuti Kristus
Imbauan tinggal di rumah dipertegas dengan terus bertambahnya korban, baik yang meninggal maupun dirawat di rumah sakit.
Wabah korona bukan saja merenggut korban jiwa manusia, tetapi melumpuhkan ekonomi dunia.
Bayang-bayang kematian bukan saja pada mereka yang terpapar wabah tetapi karena begitu banyak orang kehilangan pekerjaan akibat dari kebijakan physical distancing dan stay at home atau work from home.
Ekonomi dunia sungguh lumpuh. Tinggal di rumah namun hidup harus tetap dilanjutkan. Kalau ekonomi lumpuh lalu hidup dilanjutkan pakai apa?
Itulah yang membuat para pemimpin mulai dari kepala negara sampai kepala keluarga pusing kepalang bagaimana caranya agar tetap bertahan hidup.
Wabah korona melumpukan ekonomi, mengancam jiwa manusia dan berhasil mengacaukan akal sehat manusia oleh rasa cemas dan ketakutan yang berlebihan.
Bila meminjam bahasa hukum, pendemi Covid-19 berhasil mentersangkakan setiap orang di muka bumi ini sebagai terpidana korona dengan hukuman tahanan rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Baca: Pandemik Paskah dan Panggilan Eksistensial Agama
Para medis yang bekerja sebagai garda terdepan menyelamatkan nyawa yang terkapar korona bagai pembela kehidupan meringankan tuntutan dari hukuman mati kepada tahanan rumah saja.
Dan tidak sedikit para pembela kehidupan itu pun menjadi korban dari ganasnya wabah korona.
Wabah korona sungguh mengguncang dunia saat ini. Korona telah sukses menjadikan situasi dunia tidak seperti biasanya.
Refleksi Injil Yohanes 20:1-9. Situasi lockdown atau stay at home juga dialami para murid Yesus pasca peristiwa penyalibatan Yesus.
Balada penyaliban yang begitu ngeri dan kejam menjadi sebuah teror bagi para murid dan pengikut Yesus.
Mereka menjadi takut lalu bersembunyi dalam rumah dengan pintu tertutup rapat. Di tengah situasi yang mencekam itu Maria Magdalena dan teman-temannya pergi ke kubur Yesus pagi-pagi buta.
Baca: “Eli…Eli… Lama Sabakhtani” (Refleksi Jumat Agung)
Mereka menemukan kubur kosong lalu berlari memberitahu Petrus dan kawan-kawan dengan berita: “Tuhan telah diambil orang dari kubur-Nya, dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan.”
Berita itu menghentak Petrus dan kawan-kawannya sehingga harus segera ke kubur.
Setelah sampai di kubur, mereka melihat kubur kosong. Namun ada tanda yang membuat mereka percaya bahwa Yesus bangkit, bukan dicuri atau diambil orang.
Apa tandanya? Yaitu tanda posisi kain kafan dan kain peluh yang berada dalam keadaan terlipat.
Kain-kain itu semuanya rapi, terlipat seperti orang bangun dari tidur. Tidak ada tanda-tanda suatu perampokan atau perbuatan tergesa-gesa.
Tidak semua murid mengerti tanda-tanda itu selain satu murid yang bersama Petrus. Murid yang bersama Petrus itu, melihat semua itu lalu percaya.
Kubur kosong adalah fakta bahwa Dia hidup. Kain-kain yang begitu rapi terlipat pada tempatnya merupakan tanda jelas bahwa Ia tidak dicuri orang tetapi bangkit dari mati mengalahkan maut. Itulah hal yang mendorong murid yang lain itu menjadi percaya bahwa Yesus bangkit.
Dialah orang pertama yang mengalami rahasia paskah karena melihat tanda-tanda itu. Dia percaya bahwa Tuhan hidup dan berada di antara mereka meskipun mereka tidak melihat-Nya.
“Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya” (Yoh.20:29).
Pertanyaannya mengapa para murid lain itu belum juga mengerti akan tanda-tanda yang mereka lihat itu? Dan bukankah Yesus sudah mengajarkan bahwa Ia harus menderita, mati lalu bangkit dari antara orang mati? Mereka tidak mengerti tanda-tanda itu karena mereka tidak mengerti akan Kitab Suci.
Rupanya situasi yang begitu mencekam melumpuhkan nalar dan menghilangkan daya ingat mereka akan seluruh isi Kitab Suci.
Ketidakmampuan Maria Magdalena, dkk dan Petrus memahami tanda-tanda juga menjadi gambaran diri kita umat beriman yang begitu sulit menemukan dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita.
Sabda Tuhan pada Hari Raya Paskah ini mengajarkan bahwa Allah hadir melalui tanda-tanda.
Dia berkarya dan meninggalkan jejak-Nya. Kita akan memahami tanda-tanda kehadiran-Nya kalau kita mampu membaca Kitab Suci dan merenungkannya.
Para murid semakin percaya dan menjadi saksi kebangkitan Tuhan ketika mereka diajarkan kembali oleh Yesus mengenai seluruh isi Kitab Suci.
Apa pesan Paskah di masa pandemi Covid-19? Pertama, merayakan paskah tahun ini memang sangat berbeda.
Meski dilanda wabah penyakit yang merenggut banyak nyawa di seluruh dunia, perayaan paskah memberikan kita umat beriman harapan baru untuk percaya kepada Tuhan yang telah menderita, wafat dan bangkit mengalahkan maut.
Ia menghapus dosa kita, Ia menanggung segala penyakit kita dan memberi kita hidup baru oleh kebangkitan-Nya. Yesus yang bangkit itu menyapa kita, Salam bagimu, jangan takut.
Tuhan yang bangkit menguatkan kita di tengah beratnya badai yang kita hadapai. Yesus yang hidup mengalahkan rasa takut dan menyembuhkan segala penyakit kita. Kita diundang untuk percaya akan misteri Paskah Tuhan.
Kedua, misteri Paskah tetap penuh bagi umat yang merayakan dengan penuh kerinduan dari rumah masing-masing.
Meskipun kita merayakan paskah melalui ibadat kerinduan dari rumah masing-masing namun kita percaya bahwa Allah menyempurnakan segala doa dan kerinduan kita akan Dia.
Ketiga, makna di balik seruan stay at home dan work from home mengajar kita banyak hal. Kita belajar untuk berhenti dari segala kesibukan manusiawi kita.
Inilah saatnya kita mendengarkan diri kita masing-masing. Kita berhenti dari rutinitas untuk memahami kemanusiaan kita melalui relasi sosial dengan orang-orang terdekat yang kita cintai, merasakan hangatnya cinta dan persaudaraan yang harus dibangun dari rumah kita masing-masing.
Stay at home juga mengajar kita untuk merefleksikan sesama saudara kita yang tunawisma.
Ketika seruan tinggal di rumah untuk melawan pandemi Covid-19 ke manakah mereka akan bernaung? Kita bersolider dengan mereka yang tunawisma dengan doa dan tindakan nyata.
Dan, work from home mengajar kita memahami pekerjaan rumah yang mungkin sebelumnya dikerja istri atau pembantu, pekerjaan yang mungkin kelihatan sederhana dan kita sendiri harus mengerjakannya secara bersama-sama.
Akhirnya, merayakan paskah dalam suasana pandemi covid-19 mengajar kita untuk membangun suatu pola berpikir yang baru dalam mewujudnyatakan iman kita akan Tuhan yang telah menderita sengsara, wafat dan bangkit untuk keselamatan kita. Selamat pesta Paskah. Alleluya, Alleluya.
Penulis adalah imam Ordo Karmel bertugas di Biara Karmel Maumere