Catatan Pius Rengka
“Tak ada badai yang tinggal menetap di tempat”. Begitu kata Victor Laiskodat, sesaat setelah Gubernur NTT ini menginstruksikan agar seluruh pegawai kantor Gubernur NTT kembali bekerja normal di kantor meski dengan sistem shifting, Jumat (15/5/2020).
Gubernur Victor, berpendapat work at home atau work from home, tidak hanya tidak produktif bagi kepentingan pembangunan, tetapi konsolidasi pembangunan dan koordinasi struktural berjalan relatif lamban. Padahal target pembangunan harus tercapai dan dikerjakan konsisten.
Karena itu, menurut Gubernur NTT, mulai Juni 2020, tidak hanya semua pegawai bekerja sebagaimana biasa, tetapi seluruh proyek infrastruktur pun harus kembali dikerjakan sambil terus diingatkan kepada semua pihak untuk tetap setia memperhatikan protokol WHO dan Pemerintah.
Karena itu para kontraktor proyek jalan propinsi harus kembali konsentrasi penuh untuk menuntaskan pekerjaan mereka dengan kualitas baik.
“Tak ada alasan karena corona-19 untuk memaafkan pekerjaan yang tak bermutu. Tidak,” ujarnya.
Kata Gubernur, kita semua kasat mata menyaksikan, semua hotel ditutup. Bahkan banyak di antaranya yang terpaksa telah merumahkan sebagian besar karyawannya tanpa ada kepastian kapan mereka diaktifkan kembali.
Kondisi ini sungguh buruk karena ketahanan ekonomi masyarakat terancam. Karena itu, kita harus bangkit dan bekerja ekstra keras supaya ekonomi rakyat berjalan stabil. Daya beli masyarakat harus pulih.
Pantauan VoxNtt.com mencatat, sedikitnya 30 rumah makan di Kota Kupang sepi pengunjung. Antaranya, rumah makan Se’i di bilangan Bambu Kuning Oebufu, Aroma Walikota, dan Oebobo, tampak bagai rumah hantu. Sepi nian.
Begitu pun rumah makan yang terletak di sepanjang tepi pantai Kupang, lumpuh total, tak ada pengunjung. Tak ada aktivitas produksi. Para karyawan diliburkan tanpa kepastian gaji dibayar utuh.
Informasi serupa diperoleh dari sumber kredibel di SoE, Kefamenanu, Atambua dan Betun Malaka.
Disebutkan, hotel dan rumah makan di sejumlah kota di Pulau Timor itu, lumpuh total. Tempat karoke di hotel-hotel pun, tutup rapat-rapat. Tak ada dentuman musik dari ruang-ruang remang sebagaimana biasa. Kota mati, sunyi senyap.
Kecuali siang hari, dilaporkan masih tampak hilir mudik kendaraan melintas di jalan kota, tetapi tak seramai sebelum wabah Covid-19 tiba. Perusahaan angkutan antarkota di Pulau Timor, sepi penumpang. Para sopir mengeluh, tetapi mengeluh kepada siapa.
Akibat ikutannya, kata Victor B. Laiskodat, banyak karyawan swasta stress karena kehilangan pekerjaan. Para karyawan yang sudah berkeluarga pun terpaksa mengetatkan pengeluaran agar mereka dapat menyambung hidup secara normal.
Lainnya, ada yang telah pulang ke daerahnya masing-masing, sementara lainnya lagi parkir di tempat kost tanpa ada kepastian kapan mereka mulai bekerja. Sementara tuntutan biaya untuk makan minum dan sewa kost tetap jalan terus.
Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, Victor Laiskodat dan Josef Nae Soi, melihat dan mencermati fakta ini sebagai tantangan serius. Berulangkali dikatakan, tak ada badai yang menetap di tempat, karena itu kita pun tak boleh menetap tanpa bergerak maju.
“Virus corona-19 ini tidak mengharuskan kita untuk tetap diam di tempat, apalagi tidak ada kepastian waktu terminasi. Kita harus terus bergerak, asalkan kita harus setia mematuhi protokol Pemerintah secara ketat. Karena itu, saya minta masyarakat mendukung pemerintah dengan cara sederhana yaitu tiap warga patuh dan disiplin pada protokol pemerintah,” ujarnya.
Menurut Victor Laiskodat, gejala sosial ini justru akan mungkin membuahkan fenomena baru yaitu maraknya kasus kriminal, karena krisis ekonomi menyusul merumahkan para karyawan dan macetnya dinamika ekonomi rakyat. Ancaman kriminalitas mungkin akan naik, jika kita tidak segera melakukan langkah antisipatif.
Namun, gejala sosial di lapisan petani dan peternak justru persis sebaliknya. Meski di level kelas menengah atas tampak pelambatan dinamika sosial ekonomi, tetapi di lapisan masyarakat petani peternak, geliat perubahan justru menjanjikan optimisme yang kuat. Mereka bergerak seperti biasa, sebagaimana satu kisah yang disaksikan VoxNtt.com, Kamis (21/5/2020).
Kebun Oelamasi Kupang
Tanggal 21 Mei 2020, pukul 09.00 waktu Kupang. VoxNtt.com bersama politisi PDIP, Ambrosius Nawa Nai dengan keluarga, dan lima pegawai swasta, pergi ke sebuah tepi kota ke arah timur laut tak jauh dari kantor Kabupaten Kupang di Oelamasi.
Bermodalkan taft tua putih dan kijang kapsul edisi 2002, rombongan VoxNtt.com melintas di jalan lengang, persis di hari peringatan kenaikan Isa Almasih yang dirayakan umat Kristen di seluruh dunia. Ke Oelamasi, Kabupaten Kupang, ke sebuah dataran, tempat di mana petani, yang adalah pastor, Leo Apong PR, tinggal.
Di dataran 6 Ha, tak jauh dari tepi kiri jalan utama Kupang Oelamasi. Jarak tempuh 1 kilometer, melintasi jalan tanah berbatu. Pastor Leo, menanti kehadiran kami. Sebelumnya, kami beri kabar. Rombongan 9 orang akan berkunjung ke situ. Juga mau makan siang di situ dari hasil kebun yang dikelola pastor petani yang pernah 6 tahun berkarya di Jayapura, Papua.
Romo Leo Apong berdiri. Di sampir luar rumah serba kayu knockdown tipe Menado. Berdiri di labirin rumahnya, sambil memandang nun jauh ke arah selatan timur laut, seolah Pastor Leo sedang memberi pesan kepada kami yang datang tentang nasib petani dan para tetangganya.
Kami tiba di situ, persis ketika cahaya mentari mekar kian membakar. Sejauh mata memandang, tampak hamparan luas lahan petani Kabupaten Kupang. Pemandangan yang, terus terang, menawarkan suasana persis sangat berbeda dengan apa yang dialami di kota.
Tiga petani sedang giat menyiang rumput. Mereka menyiapkan lahan supaya sayur dan jagung tumbuh sehat. Sedangkan di tempat lainnya, petani peternak menghalau kawanan sapi miliknya ke lahan sisa yang berumput.
Lainnya lagi tak jauh dari sana, seorang berteduh mencari naungan bersama kawanan sapi peliharaannya. Kawanan sapi jenis Bali tampak gemuk. Segera melintas di benak kami, kisah di Kitab Kejadian tentang tafsir ahli nujum atas mimpi tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus.
Begitu melihat kami datang, Romo Leo Apong berkata santun:
“Selamat pagi, selamat datang ke kebun kami”.
Wajahnya sumringah memancarkan cahaya teduh ketulusan penggembala hamba Allah. Leo Apong menyambut kami dengan tanpa banyak basa-basi.
Di tanah yang dikelolanya, ada 1000 pohon pepaya California berbuah lebat. Romo Leo Apong mulai berkisah tentang awal mula dia bertani.
Pastor asal Manggarai Flores ini, sejak 2017 ditugaskan Bapa Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, untuk mengolah lahan 6 hektar itu.
Maksudnya mulia, yaitu semacam memberi contoh konkrit tentang cara resistensi dan produktif petani menghalau ancaman krisis pangan yang kerap menghantui rakyat NTT.
Di lahan 60.000 meter persegi itu, tak hanya pepaya california yang tumbuh subur menghijau, tetapi juga di dalamnya ada kandang untuk ratusan ayam kampung yang siap memproduksi telur. Ciritnya sebagai pupuk untuk lombok, anggur, delima dan jenis kacang-kacangan lain.
Di bagian utara lahan itu, kacang hijau tumbuh subur. Lombok juga begitu. Sementara di tengah lahan ada kolam ikan seluas 100 meter persegi untuk ribuan ikan mujair. Sumber air diperoleh dari rembesan dengan kedalaman 9 meter. Kira-kira satu lemparan batu dari kolam ikan, enam ekor sapi sedang merumput.
Kata Romo Leo Apong, seruan berulang Gubernur Victor Lasikodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi yang menyebutkan pentingnya petani mengolah seluruh lahan pertanian agar petani resisten terhadap ancaman krisis pangan, sudah sangat benar adanya.
Dikatakannya, seruan Gubernur Victor Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nai Soi itu tak hanya menyalakan api semangat dirinya untuk mengolah tanah pertanian, tetapi juga secara biblikal seruan pemimpin NTT itu mendapatkan legitimasi teologisnya.
Tuhan menciptakan bumi dan seisinya ini untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia umat Allah. Karena itu, tugas wajib manusia adalah menjawab panggilan Allah dengan cara menjaga dan mengolah tanah demi kepentingan manusia sambil memuliakan kehidupan.
Petani adalah kaum yang selalu pasti berurusan dengan tanah. Dapat dipastikan, petani akan tetap survive meski ada badai sosial yang datang menerpa. Ancaman serius yang paling mungkin datang kepada petani ialah kalau para petani itu sendiri malas bekerja.
Meski Romo Leo Apong dibantu tiga pemuda Manggarai mengolah tanah 6 ha itu, tetapi kebutuhan hidup mereka terpenuhi dan bahkan agak berlimpah. Yang jelas, kata Romo Leo, ke depan mereka tidak membeli sayur dan beras karena semua kebutuhan itu dapat dibeli dari hasil jualan kebun sendiri.
Dia membuat kalkulasi. Jika pepaya California dijual Rp.10.000/buah/kilo, dan satu pohon sedikitnya ada 30 buah, maka tiap pohon pepaya menghasilkan Rp.300.000.
Dengan demikian 1000 pohon menghasilkan 30.000 buah dikalikan Rp. 10.000 sama dengan Rp. 300.000.000. Bukankah itu angka yang sangat mencengangkan?
“Memang itu hitungan serba lurus dengan asumsi sehat yaitu tidak ada yang rusak, tidak ada yang dicuri, atau tidak dimakan sendiri,” ujar Romo Leo.
Sumber air cukup karena ada tiga sumur bor dengan kapasitas debit air melimpah. Semua pekerjaan konstruksi dikerjakan oleh Ir. Alex Lamba, seorang profesional yang setia membantu dan membangun fasilitas pendukung untuk pengembangan pertanian dan ternak di sini.
“Pak Alex Lamba itu orang luar biasa baiknya. Dia pandai menganalisis bisnis,” ujar Romo Leo Apong.
Menurut ceritera Romo Leo, Alex Lamba rutin berkunjung dua kali dalam seminggu. Begitu pun Bapak Uskup, datang ke kebun ini sambil memberi contoh cara memangkas ranting anggur yang tumbuh merias depan rumah.
Menjelang pulang, rombongan kami tak hanya kenyang menikmati buah pepaya masak, daun ubi kayu rebus dicampur rusuk babi, juga di mobil taft dan kijang kapsul dipadati sayur, pepaya masak dan lombok. Demi melenturkan tubuh, beberapa di antara kami ke tepi kolam memancing ikan mujair.
Kisah ini, melukiskan dengan sederhana bahwa di tengah badai Korona yang agak melumpuhkan banyak aktivitas rutin di kota, tetapi kisah ini pun sekaligus mendapatkan konfirmasi tentang kebenaran kata Gubernur Victor bahwa tak ada badai yang tinggal menetap di tempat.