Kota Kupang, Vox NTT- Alfred Ena Mau, peneliti Bengkel APPeK NTT membeberkan hasil survei penyaluran bantuan sosial pada masa pandemi Covid-19 kepada penyandang disabilitas di Kota Kupang.
Alfred mengungkapkan, berdasarkan hasil temuan Bengkel APPeK ada 43% penyandang disabilitas di Kota Kupang belum tersentuh program perlindungan dan bantuan sosial pemerintah. Sedangkan, 20,4% di antaranya terkonfirmasi sebagai penerima bantuan khusus penyandang disabilitas.
“Dari segi mata pencaharian ditemukan 50% responden tidak memiliki mata pencaharian sebelum adanya pandemik Covid-19, sedangkan 38,3% menjawab mata pencahariannya terdampak dan 11,7% yang pekerjaannya tidak terdampak pandemik Covid-19,” jelas Alfred saat hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik hasil survei secara online tentang penyaluran bantuan sosial di masa pandemi Covid-19 kepada penyandang disabilitas di Kota Kupang, Rabu (29/07/2020) siang.
Ia menambahkan, mayoritas mata pencaharian yang terdampak diakibatkan karena pembeli/pelanggan berkurang (32,6%), pekerjaan sebagai tukang pijat dibatasi (17,4%), hasil penjualan berkurang (17,4%), usaha ditutup (10,9%), lapangan pekerjaan serabutan terbatas (8,7%), pengurangan gaji di tempat kerja, dirumahkan sementara dan usaha menjadi macet (2,2%).
Alfred juga menyentil proses pendataan yang sudah dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Kupang.
Hasil survei Bengkel APPeK, kata dia, ditemukan terdapat 51% penyandang disabilitas yang tidak didata sebelum pandemi Covid-19. Angka ini semakin bertambah setelah adanya pandemik Covid-19.
Selanjutnya, terdapat 66,7% penyandang disabilitas yang tidak pernah didata setelah pandemik Covid-19. Itu berarti hanya ada 33,3% penyandang disabilitas yang pernah didatangi dan dilakukan proses pendataan saat pandemik Covid-19.
Selain itu, tambah Alfred, ruang partispasi masyarakat untuk ikut mengawasi jaring pengaman sosial selama pandemik lewat kanal pengaduan bansos pun perlu ditingkatkan.
Hasil riset Bengkel APPeK menunjukkan bahwa hanya 9 responden (7,5%) yang mengetahui kanal pengaduan kepada Pemerintah Kota Kupang. Sedangkan kanal pengaduan Kemensos hanya diketahui 4,2% responden.
Kemudian, menurut Alfred, aplikasi JAGA Bansos KPK dan LAPOR sama sekali tidak diketahui oleh semua responden.
Meski mayoritas responden yang luput dari Bansos, namun mereka memilih diam saja. Hanya 3 responden yang melapor ke pihak Dinsos Kota Kupang. Dan, hanya 1 laporan yang ditindaklanjuti oleh pihak Dinsos Kota Kupang.
Alfred menegaskan, proses penyaluran Bansos menjadi catatan khusus Bengkel APPeK.
Pasalnya ditemukan bahwa jumlah penyandang disabilitas yang menerima Bansos semakin menurun pada tiap tahapnya.
Pada penyaluran Bansos tahap I terdapat 70% penyandang disabilitas yang menerima.
Prosentase ini makin menurun, di mana hanya 40% yang menerima dan ada 33% yang tidak menerima tahap II.
Kondisi ini semakin memburuk pada tahap III, di mana hanya ada 14% penyandang disabilitas yang menerima Bansos, sedangkan 50% tidak menerima.
“Selain itu konsistensi ketepatan pemerintah untuk penyaluran Bansos juga menjadi catatan penting Bengkel APPeK. Ada indikasi bahwa penyaluran Bansos tidak tepat waktu,” imbuhnya.
Ia menambahkan, masih ada Bansos (khususnya BST) tahap I dan II yang disalurkan pada bulan Juni.
Terdapat responden penerima tahap I bulan Juni pada Minggu I (tanggal 6 – 10). Sedangkan tahap II pada Minggu III bulan Juni (14 -18 Juni). Penerimaan jenis bantuan yang sesuai waktu adalah PKH dan Bantuan Sembako Tunai.
Lebih lanjut, Alfred menjelaskan, hasil temuan Bengkel APPeK tentang bantuan sosial lain bagi disabilitas menunjukkan bahwa ada perbedaan terkait bentuk bantuan yang diterima, meski berasal dari sumber bantuan yang sama.
“Terdapat 5 responden penerima PKH yang menerima uang tunai dan Sembako; 3 responden menerima uang tunai dan 2 orang hanya menerima sembako. Ini adalah temuan kami di lapangan ketika penyandang disabilitas diwawancarai,” tegasnya.
Almas Sjafrina, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam diskusi tersebut mengatakan, terdapat beberapa persoalan penyalahgunaan Bansos di tengah pandemik.
Proses pendataan (inclusion error, exlusion error), hangusnya BST Kemensos karena warga terlambat menerima undangan dari Kemensos, kaburnya informasi jenis Bansos, praktik pungli dan politisasi anggaran masih menjadi tantangan.
Tak hanya itu, menurut Almas, absennya nama warga penerima pada tahap selanjutnya, buruknya kualitas bantuan Sembako, dan tidak sinkronnya data antar-instansi.
“Bantuan ganda dan keterlambatan waktu penyaluran adalah poin penting yang menjadi temuan ICW terkait Bansos di tengah pandemik saat ini,” ujar Almas.
Ia pun mengharapkan proses pendataan dan penyaluran Bansos bagi penyandang disabilitas dilakukan secara lebih rigit dan teliti.
“Hasil temuan temuan Bengkel APPeK boleh menjadi masukan bagi Dinas Sosial dalam memperhatikan penyandang disabilitas di Kota Kupang,” katanya.
Sementara, Berti Soli Dima Malingara, koordinator riset GARAMIN hadir sebagai penanggap menggarisbawahi beberapa poin penting. Disampaikan bahwa Dinas Sosial perlu untuk meng-update SIMPD mengingat banyak data disabilitas yang belum sempat ter-cover pada DTKS. Selain itu koordinasi dengan BPS menjadi penting guna memastikan data penyandang disabilitas.
“Saat ini NTT dalam angka yang kita miliki juga masih dalam tanda tanya besar,” tegas Berti.
Lebih lanjut disampaikan bahwa desa/kelurahan inklusi yang ada di Kota Kupang saat ini bisa dioptimalkan oleh Dinas Sosial untuk melakukan pemutakhiran data.
Bagi Berti, ketimpangan pemerataan keadilan bagi penyandang disabilitas juga masih perlu diperjuangkan bersama.
“Ada teman-teman disabilitas yang mengalami diskriminasi di tempat kerja. Misalnya disabilitas digaji lebih rendah dibandingkan dengan pekerja lain pada tempat kerja yang sama,” imbuhnya.
Diketahui, survei ini dilakukan atas kerja sama Bengkel APPeK NTT dan ICW.
Mereka menengambil lokasi survei di Kota Kupang. Survei ini dilakukan sejak 16-24 Juni 2020.
Kemudian, reponden yang dilibatkan adalah penyandang disabilitas yang dipilih secara acak (random), tersebar pada 6 Kecamatan dan 20 kelurahan dengan mengacu pada data dari Dinas Sosial Kota Kupang.
Dalam diskusi publik ini, Bengkel APPeK NTT dan Indonesia Corruption Watch (ICW), melibatkan Dinas Sosial Provinsi NTT, Dinas Sosial Kota Kupang, para Lurah Kota Kupang, penyandang disabilitas dan juga organisasi penyandang disabilitas yang ada di Kota Kupang, media cetak dan online dan NGO.
Rekomendasi
Dari hasil temuan riset Bengkel APPeK menghasilkan beberapa poin rekomendasi:
Pertama, Pemerintah Kota Kupang melakukan pendataan yang lebih merata untuk penyaluran Bansos selanjutnya atau untuk memutakhirkan DTKS harus dipastikan bahwa kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, yang tidak mampu telah terdata sebagai penerima bantuan.
Kedua, Pemerintah dalam penyaluran Bansos tahap selanjutnya harus lebih tepat waktu agar Bansos yang direncanakan diberikan tiap bulan dapat lebih optimal membantu warga. Ketika bantuan terlambat disalurkan, dikhawatirkan warga akan makin kekurangan dan terpaksa berhutang, sehingga mempunyai masalah ekonomi baru.
Ketiga, Pemerintah melakukan evaluasi penyaluran dan menelusuri dugaan adanya potongan dalam penyaluran Bansos.
Keempat, Pemerintah menginformasikan secara terbuka daftar penerima Bansos, sehingga warga dapat mengecek status kepesertaannya dan dapat mengoreksi apabila ada penyaluran yang diduga kurang tepat.
Kelima, Pemkot Kupang, Kemensos, KPK, LAPOR, dan lainnya perlu memasifkan sosialisasi mengenai kanal pengaduan yang dikelola.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba