*) Cerpen Leo de Jesus Leto
Setelah pulang dari ladang gandum, Ayah duduk di meja makan menikmati el mate dan las sopapillas. Ibu menemaninya sambil bercerita tentang harga gandum dan kebutuhan pokok lainnya yang kini harganya sedang menjulang tinggi, lantaran krisis pangan akibat cuaca buruk. Tiba-tiba terdengar rentetan klakson mobil. Ibu cepat-cepat pergi membuka pintu. Ia melihat sebuah mobil Jeep hitam sedang parkir di halaman rumah. Tak lazim mobil mewah masuk ke dalam halaman rumah.
Seorang pria berdasi turun dari Jeep hitam itu. Dua orang berbadan kekar mengawalnya dari belakang. Ia menyapa Ibu dan Ayah. Mereka menyambut pria berpakaian neces itu dengan sangat sopan. Ternyata dia adalah Blanco Mestiso, seorang politisi terkenal berdarah Spanyol yang biasa tampil dalam diskusi-diskusi politik di layar televisi nasional. Sepanjang hidup, tak pernah ada politisi lokal bertamu ke rumah, apalagi politisi nasional. Kunjungan sang politisi ke rumah reyot kami yang hampir tumbang itu ibarat mimpi indah menjelang subuh.
Ayah berbisik kepada Ibu supaya lekas menyiapkan kopi dan el mate terbaik untuk tamu-tamu terhormat itu. Ibu merogoh recehan di dalam tas Ayah. Lalu, bergegas ke kios untuk membeli kopi dan el mate. Sekembalinya dari kios, Ibu menyalakan gas untuk memanaskan air. Lalu, Ibu meletakkan kopi, el mate, gula pasir, las sopapillas, beberapa cangkir dan termos air panas di atas meja. Ayah mengeluarkan sebungkus rokok murahan bernama Pall Mall dari saku celananya. Lalu, meletakkannya di atas meja. Begitulah tradisi orang Indian dalam melayani tamu.
“Silahkan Bapak-Bapak,” pinta Ayah kepada ketiga tamu itu.
Sang politisi menolak secara halus suguhan Ayah dan Ibu.
“Pak Diago dan Bu Gloria, tidak usah repot banyak. Saya sudah membawa makanan dan minuman dari rumah sebagai hadiah spesial untuk keluarga Pak Diago,” ungkapnya.
Lalu, ia memerintahkan kedua anak buahnya menurunkan makanan dan minuman dari bagasi Jeepnya. Raut wajah Ayah merah. Hatinya dongkol. Ayah merasa sangat terhina dengan lagak politisi itu. Amarahnya berkecamuk, nyaris meluap.
Namun, Ayah tak bisa berbuat apa-apa. Blanco Mestiso bukan sembarangan orang yang bisa dimarahi begitu saja. Hati Ibu gunda gulana. Dengan sangat malu, Ibu mengangkat kembali el mate, kopi, gula pasir, cangkir-cangkir, las sopapillas dan termos air panas dari atas meja. Kedua anak buahnya meletakkan pizza, lasagna, buah-buahan, cokelat, minuman segar dan rokok cerutu di atas meja.
“Silahkan dinikmati!” pinta politisi itu.
Malam itu, untuk pertama kali dalam hidup, lidah kami mencicipi pizza dan lasagna makanan paling lezat dari negeri Italia. Selama hidup perut kami selalu diisi dengan kentang, gandum dan kadang-kadang nasi putih dari Asia Tenggara. Blusukan tak terduga politisi kaya raya itu sungguh membuat malam minggu di rumah menjadi malam terindah dalam sejarah keluarga kami.
Politisi itu berkata, “Pizza dan lasagna baru kubeli tadi siang di kota Roma dalam lawatanku ke Italia menghadiri sebuah pertemuan internasional dengan para pemimpin dunia.”
Ketiga adikku melahap makanan-makanan lezat tersebut dengan sungguh-sungguh. Cara makan mereka yang terlalu kampungan membuat politisi itu merasa risi dan geleng-geleng kepala. Mungkin pikirnya dalam hati ‘dasar Indian kampungan dan rakus.’ Salah satu dari anak buahnya memotret acara makan malam tersebut. Sudah tentu, momen terindah itu akan dimuat di laman Facebook, Twitter, Instagram dan pasti akan dibagikan ke WhatsApp group.
Sementara menikmati hidangan mewah tersebut politisi itu bertanya kepada Ayah dan Ibu tentang keadaan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok hidup harian. Ayah diam tanpa kata. Dalam tradisi orang Indian, seorang lonco sungkan menceritakan kesulitan keluarganya kepada orang lain sebab hal itu bisa menjatuhkan wibawanya. Ibu tak segan merespon pertanyaannya. Dengan lantang, Ibu membeberkan unek-unek kehidupan keluarga kepada politisi itu.
“Kehidupan keluarga kami sangat susah. Kami gagal panen karena curah hujak buruk. Di tengah kerasnya kehidupan akibat gagal panen, harga semua barang kebutuhan pokok melangit. Saat ini, kami masih bisa bertahan hidup lantaran masih tersisa beberapa karung kecil gandum kering dari tahun lalu. Saya tidak tahu, seandainya beberapa minggu ke depan gandum itu habis, sudah pasti kami akan mati mampus diterpa kelaparan. Anak-anak kami tidak lagi melanjutkan pendidikan sebab kami sudah tidak mampu membiayai sekolah mereka,” jelas Ibu kepadanya.
“Saya hadir malam ini untuk menarik masyarakat dalam Comuna ini dari jurang kemiskinan dan kebodohan melalui proyek pro rakyat yang telah saya rancang. Jika dalam Pemilu nanti, partai yang saya pimpin memenangkan Pemilu, maka saya akan terpilih secara otomatis menjadi Perdana Menteri. Jika hal itu terjadi, maka saya berjanji akan menyalurkan bantuan sosial besar-besaran kepada rakyat dalam Comuna ini. Setiap keluarga akan mendapat dana 5,5 juta setiap bulan; seluruh jalan di desa-desa dalam Comuna ini akan diaspal; rumah-rumah reyot milik warga akan dibangun baru; biaya kesehatan, listrik dan pendidikan anak-anak akan digratiskan,” tukas politisi itu kepada Ayah dan Ibu.
Ayah dan Ibu sungguh terpukau mendengar janji sang politisi. Hati Ayah yang tadinya geram menjadi girang.
“… Ah, tuan ini datang membawa harapan kehidupan, kesejahteraan dan masa depan yang cerah bagi kita yang masih jauh dari kemajuan,” ungkap Ayah kepada Ibu dengan lirih.
Sejak saat itu, Ayah dan Ibu seperti orang yang kerasukan roh politik. Ayah memanfaatkan posisinya sebagai lonco untuk mensosialisasikan janji-janji politisi tersebut kepada masyarakat. Dua hari menjelang hari pencoblosan, Pak Blanco Mestiso dan kedua anak buahnya bertandang ke rumah lagi. Malam itu, ia bertanya kepada Ayah dan Ibu tentang dukungan seluruh rakyat Villa terhadap partainya.
“Semua beres, Pak. Selama empat bulan, kami bekerja keras mensosialisasikan janji Bapak kepada seluruh rakyat. Para tokoh dan seluruh rakyat menyambut dengan antusias program pro rakyat Bapak. Mereka sepakat untuk memilih partai Bapak dalam Pemilu Parlamen nanti,” ungkap ayah meyakinkannya.
“Menakjubkan pengorbanan Pak Diago dan Bu Gloria. Sekali lagi saya berjanji bahwa setelah dilantik sebagai Perdana Menteri, seminggu kemudian bantuan sosial akan segera disalurkan ke Comuna de Villa agar kesejahteraan dan kemakmuran cepat terwujud,” ungkap politisi itu.
Sesungguhnya patologi kemiskinan dan kebodohan yang telah lama mendarah daging di Comuna de Villa akan segera lenyap. Pagi itu, mulai pukul 08.00 seluruh rakyat Villa berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara.
Saking semangat, Ayah dan Ibu sudah tiba di tempat pencoblosan sebelum para petugas datang. Seluruh proses pencoblosan berjalan aman dan lancar. Pukul 15.00 para petugas mengadakan penghitungan suara.
Berdasarkan hasil quick count partai besutan Blanco Mestiso unggul sementara dari tiga partai lainnya. Dua pekan sesudah Pemilu, panitia penyelenggara Pemilu Kerajaan Lahomea mengumumkan hasil real count bahwa partai Pak Blanco Mestiso sebagai pemenang Pemilu Parlamen.
Menurut Konstitusi Kerajaan Lahomea, ketua partai pemenang Pemilu berhak menjabat sebagai Perdana Menteri. Raja segera melantik Pak Blanco Mestiso sebagai Perdana Menteri Kerajaan Lahomea. Kerja keras Ayah dan Ibu tak sia-sia. Janji politisi tersebut untuk mengeluarkan rakyat Villa dari patologi kemiskinan dan kebodohan akan segera terealisasi.
Rotasi waktu berjalan begitu cepat. Bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Sudah dua tahun politisi itu menikmati kursi empuk Perdana Menteri. Janji Blanco Mestiso untuk mengirim bantuan sosial tak pernah tiba di alamat rumah setiap keluarga dalam Comuna de Villa.
Sudah berkali-kali Ayah dan Ibu pergi ke istana menagih janji politik sang Perdana Menteri. Namun, hasilnya nihil. Pasukan istana tidak pernah mengizinkan Ayah dan Ibu menemui Perdana Menteri. Ayah dan Ibu putus asa, frustasi dan stres berat. Janji politisi itu untuk menarik rakyat Villa dari jurang kemiskinan dan kebodohan tak pernah menjelma dalam realitas. Janji sang politisi tinggal dalam ruang penipuan.
Di tengah getirnya kehidupan rakyat Villa melawan badai penderitaan, tiba-tiba muncul Covid-19, siluman pembawa maut dari Wuhan, Cina. Monster haus darah tersebut meluluhlantakkan kehidupan masyarakat dunia termasuk orang-orang Indian di kota Villa. Banyak negara mengalami krisis ekonomi, termasuk Kerajaan Lahomea. Grafik angka kemiskinan Kerajaan Lahomea langsung bertengger pada urutan kelima dunia. Sementara itu, kurva kemiskinan Comuna de Villa melaju mulus ke tangga pertama dalam Kerajaan Lahomea. Kehidupan rakyat Villa terhempas ke dalam ngarai penderitaan yang kian akut.
Dengan dalil penyelamatan ekonomi negara, penguasa berhati culas itu memberi izin kepada investor asing untuk mengeksploitasi alam dan tanah adat orang Indian di Comuna de Villa.
Para tokoh dan masyarakat geram dan melakukan protes terhadap kebijakan picik Blanco Mestiso. Namun, ia apatis tingkat dewa. Malah, ia memerintahkan polisi dan tentara Kerajaan untuk membabat rakyat yang kritis terhadap kekuasaannya. Terlalu licik dan kejam Blanco Mestiso mengobrak-abrik harga diri rakyat Indian. Ah, sungguh malang nasib rakyat Villa. Ibarat sudah jatuh tertimpah tangga pula.
Suatu malam para tokoh bertandang ke rumah. Mereka mencurigai Ayah dan Ibu sebagai begundal dari penguasa durjana tersebut. Mereka menagih janji politik yang pernah Ayah dan Ibu sosialisasikan beribu kali kepada rakyat Villa sebelum Pemilu dua tahun lalu.
“Anda telah melakukan penipuan publik. Kalian telah bekerja sama dengan penguasa yang lalim itu dan memasukkan investor asing untuk menghancurkan tempat suci leluhur kita. Jangan pernah membodohi kami!” bentak tokoh adat sambil menunjuk wajah Ayah dan Ibu. Tetesan air mata Ibu mengalir deras dari pipinya yang sudah tak lagi mulus.
“Janji kalian hanya omong kosong belaka. Jangan pernah menipu kami! Tipu adalah dosa yang tidak pernah dimaafkan oleh Tuhan. Celakalah kalian!” ungkap Pak Pendeta dengan nada kutukan.
Ayah sangat tertampar dengan kutukan keras dari Pak Pendeta. Wajahnya pucat seketika.
“Jangan sembarangan mengumbar janji manis tapi hasilnya hampa! Tindakan kalian telah melanggar hukum adat leluhur kita,” seru tokoh masyarakat dengan geram.
Terlalu pedih menyaksikan Ayah dan Ibu dibentak secara kasar di hadapan anak-anaknya. Drama pengadilan sedang terjadi di rumah. Ayah dan Ibu menjadi tersangka yang layak divonis atas hoaks yang pernah mereka sebarkan kepada rakyat Villa. Tak ada pleidoi dari Ayah dan Ibu. Wanita tangguh itu terus menangis lantaran tak lagi kuat menahan pedihnya semburan kata-kata pedas dari mulut para tokoh tersebut. Jantungnya terasa mau copot dari dadanya. Ibu sujud mencium kaki ketiga tokoh tersebut yang kotor dan bau sembari memohon pengampunan. Tapi mereka apatis. Hati Ayah palak. Lelaki tegar itu membayangi wajah politisi pembual itu, sebab gara-gara dia Ayah dan Ibu diamuk oleh para tokoh itu.
“Apapun yang hendak kalian lakukan kepada kami, lakukanlah! Kami siap menerima hukumannya,” ungkap Ayah dengan nada gusar.
Suara lengking Ayah meredakan amarah ketiga tokoh tersebut. Suasana dalam rumah hening. Tiba-tiba terdengar berita dari radio tua milik Ayah tentang operasi tangkap tangan Perdana Menteri dan seorang investor asing oleh Lembaga Anti Korupsi Kerajaan Lahomea. Mereka ditangkap atas dugaan penggelapan dana bantuan sosial untuk mengatasi krisis pangan dan pandemi Covid-19 di Comuna de Villa sebesar 4,5 triliun. Mendengar berita tersebut ketiga tokoh itu gusar. Mereka mencaci dan mengutuk keras dusta politik dan ketamakan hati si Perdana Menteri. Berita buruk tersebut menyelamatkan Ayah dan Ibu dari rajam rakyat Villa.
Keterangan
- El mate: minuman seperti daun teh yang menjadi minuman favorit di Amerika Latin
- La sopapilla: sejenis gorengan favorit di Chile
- El lonco: semacam kepala suku dalam masyarakat Indian
- La comuna: semacam kota kecamatan
- Villa: nama kota
- La plaza: alun-alun kota
*Biodata Singkat Tentang Penulis
Nama: Leo de Jesus Leto
Alumnus STFK Ledalero
Warga Belu, Nusa Tenggara Timur
Tinggal di kota kecil Quepe, Chile