*) CERPEN_Yohan Mataubana
“Oras loron malirin, teu tanis laka teu tanis”. Wanita senja itu masih mencintai rerumputan Fulan Fehan. Beralaskan kaki kosong ia meletakkaan suaranya di atas batu. Sambil berlari kecil – kecilan seakan senja yang ia jumpai adalah lelaki sejati. Lelaki yang paham akan cinta tak semudah memasak nasi atau mencuci pakaian atau tak semudah para caleg menipu para rakyat dengan janji manisnya.
***
Namanya Emi. Periang, penyabar. Itulah yang selalu ditunjukkannya pada orang kemak, orang yang cukup keras dengan tradisi dan adat istiadat. Salah satu yang paling menonjol dan yang paling ditakuti orang kemak maupun orang timor adalah Belis. Ya, belis. Aku pernah mengalami itu juga dan itulah yang menjadi alasan mengapa aku harus merantau di tanah Timor Lorosae. Demi belis istriku, kehidupan anakku, dan juga demi harkat dan martabat leluhurku.
Semua ini kusadari cinta menjadi satu – satunya landasanku sebagai lelaki, ayah dan juga Atoin meto. Meski demikian aku menyadari belis telah menjadikan diriku lupa diri. Tapi, sudahlah, aku telah jatuh pada kenikmatan sesaat, Emi sudah hamil dan aku harus bertanggung jawab. Sebab namanya cinta kalau sudah melekat tai kucing pun terasa coklat. Demi Emiku sayang, aku rela melukiskan kisah di tanah Fulan Fehan. Sebab takdir telah dilukiskan Tuhan dalam dua bola mataku, dan telah mewariskan Bere sebagai keturunanku.
Sudahlah air mata ini kusyukuri dengan bahagia. Aku bangga punya anak, meski aku dan Emi hanya mempunyai satu anak. Bukannya anak adalah harta terpenting yang dititpkan Tuhan untuk manusia? Seperti yang dikatakan sabda Tuhan: beranak cuculah dan bertambah banyaklah, penuhilah bumi dan taklukan itu. Maka baiklah Bere menjadi penerus keturunannku.
Sepenggal musim dingin di patok kepalaku yang dingin, ada kecemasan – kecemasan mulai berguguran bagai hujan dalam kelopak mata dan itu hujan rindu namanya. Sebab Semenjak aku di Timor Lorosae. Aku tak pernah mendengar suara anakku, tak kuingat lagi wajahnya seperti apa, senyumnya bagaimana, lagi kepanikannya seperti apa.
Oh Emi, bagaimana dengan anak kita. Ah, dia pasti sudah tampak dewasa, sudah tambah cantik, cerewet dan pasti sudah ribonding rambut. Seperti mamanya waktu masih muda. Kuakui Bereku adalah wanita imut yang juga seperti mamanya Emi. Kuyakin dia sudah dewasa, sudah bisa paham tentang baik dan buruknya kehidupan. Jadi, aku tidak usah cemas, aku tidak usah takut dengan tingkah lakunya lagi. Ia sudah besar. Sudah dewasa dan bisa jaga diri.
Jarak telah meluluh- lantahkan sajak –sajaknya, di pusaran mimpi, menundukkan ingatanku dan membawa aku dalam sejumlah ilusi dan Terperangkap. Aku kaget.
“Pruitttttttt…..” bunyi pluit bus di persimpangan jalan. Kendaraan yang ku tumpangi pun berhenti.
“Yang di Lamaknen turun,” kata seorang sopir kepada para penumpang.
Menghayalku pun selesai. Bunyi peluit bus sinar gemilang memaksaku untuk berjalan kaki. Sedang jarak menuju rumahku masih cukup jauh di ujung barat. Sopir rupanya cemas dengan medan di kampung kami, sebab jalan menuju desaku sangat buruk, yah mungkin kalau bus itu melaju ke arena desa kami, bisa jadi istri dan anaknya di rumah akan menunggu dengan peti di dalam kamar sambil meratap lalu orang – orang datang dan menguburnya.
Sebab jalan menuju desa kami sangat rusak penuh bebatuan besar, ini entah kutukan atau karena politik, tetapi yang kusadari kampung kami tak pernah ditata baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Yang terjadi adalah korupsi dan korupsi sepanjang masa. Dan aku bosan membicarakan hal itu. Mendingan aku menikmati situasi senja ini.
Senja adalah obat penawar rindu di Fulan Fehan. Sudah dua tahun aku kehilangan harapan hidup. Berjalan jauh di Timor Lorosae cukup membosankan bagiku. Di hadapan mataku hanyalah harapan wanita penawar rindu itu.
“Hari ini aku pulang”. Kusebutkan beberapa kali kata –kata ini, berharap sang empunya cinta dapat menghadirkan sebait senyuman gadis itu .
Aku pun di berjalan kaki dari Builalu. Waktu masih pukul 15 : 00, aku masih punya waktu banyak untuk bertemu kenalanku di sepanjang jalan. Ku melangkah dengan penuh kegembiraan, kuberharap akan ada orang yang bisa menyapaku atau sejenak mengajakku bercerita tentang bagaimana saja situasi Timor Leste yang sedang gempar dengan virus korona, atau sejenak minum sopi kepala sambil mengenang masa lalu.
Tapi sayang. Segalanya berbeda. Dunia seakan kepedihan bagiku, bagai membaca sabda Tuhan di malam hari, “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang tapi anak manusia tak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya.”
Aku bagai orang asing di tanahku sendiri. Desaku sudah berubah, orang – orangnya juga sudah berubah dan banyak yang sudah berubah. Ina teman lamaku serta mantan pacarku sudah punya anak lima, salah satunya sedang digendong sedangkan yang lainya sudah ke Malaysia. Suaminya Om Botak juga parlente suka – suka selingkuh dan jago main bola guling, serta beberapa kali jadi calo human trafficking (hebat bukan?)
Sesampainya di desaku tercinta, Kulihat rakyatku sudah pada social distancing. Sudah pada sejahtera. Kalau dulu, kita saling kumpul, sekarang kita saling cemburu. Handphone adalah sahabat setia mereka, guru serta tuhan yang benar. Entah laki – laki maupun perempuan, semuanya fifti-fifti. Aku bangga karena semuanya sudah bahagia, sudah sejahtera, tapi aku sedih. Tiada norma, tiada lagi santun semuanya memilukan.
Kulihat nenek Meni, rambutnya yang keriting kini sudah tak keriting lagi (meski sudah putih kumal). Tais Feto yang biasa dikenakan gadis kewar sudah diganti dengan celana jeans dan rok atas lutut (celana Umpan) dan lumayan bahagia ketika di-cannon-kan lalu diposting ke Facebook. Mereka bahagia sekali. Nyaman. Persis kalau kaum adam melirik pada kaum wanita selera apa saja rasa nikmat. Sungguh gila. Di mana – mana kutemukan anak – anak kecil berumura 10-17 tahun sudah menggendong bayi. Itu bayi mereka, bukan bayi siapa – siapa.
Lonceng gereja mendendangkan bunyinya di balik sunyi batinku. Bebatuan tajam menggores kepedihan sepi. Aku tetap berjuang bersama lapar dan keringat. Tak kupedulikan lagi situasi di desa ini. Aku seakan ingin muntah dengan tingkah laku anak – anak muda yang pada konfoi dengan motor Kawazaki, handphone di telinga dan celana lubang – lubang.
“Ah ini baru Zaman Now” kata salah satu anak muda yang sedang mengisap sebatang SAMPOERNA sambil lenyap pada kondusifnya zaman milenial.
Kakiku terus berlangkah dan tak kupalingkan tubuh ke belakang atau ke kiri lagi. Semua yang telah kulihat dengan kekecewaan kuhempaskan selurunya dalam tumpahan keringatku. Hanya ada sebongkah harapan yang paling diharapkan semoga keluargaku tak sebegitu terpengaruh dengan masyarakat digital gila. Dan aku yakin, keluargaku baik – baik saja.
Kakiku hampir tiba di rumah. Rumah yang kubangun dari hasil keringatku selama 2 tahun di tanah Lorosae. Hari ini aku akan menikmati kebahagiaan bersama keluargaku. Dari kejauhan aku telah mendengar suara elok seorang gadis desa menyanyikan lagu oras loron malirin. Aku mendengar nyayiannya, suaranya bagai kokokan ayam dan kicauan burung di pagi hari yang mampu meluluh lantahkan batin orang – orang di kampungku.
Sejenak batinku bergelora haru. Aku berusaha menahan langkahku mengambil segenap kekuatan Ilahi, lalu aku berdoa:
Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin(+)
Ya Yesus Kristus, Guru dan Sahabatku. Berilah aku damai JiwaMu
amin.(+ )
“Ama….Ama…..”
“Bere,”
Seketika itu juga kami berpelukan. Tirai jendela mata dan kata mulai menyatu. Gadis satu – satunya yang kubanggakan langsung memelukku. Kami berdua melukiskan rindu di atas batas cakrawala hati yang tak bisa dibasmi oleh virus mana pun. Di sini kusadari jarak telah mempersandingkan tawanya pada pentas pergolakan rindu.
“Di mana mama.”
“Itu mama”
“Aku di sini sayang ” kata seorang wanita berperut buncit di hadapanku, kehadirannya .seakan melumpuhkan gelora harapanku. Aku tersungkur di tanah dan tak kusangka bahwa virus korona[1] memang mematikan di luar sana tetapi yang lebih mematikan adalah virus tikung istri orang.
“ina huin..lu hamil sapa pun anak”.
“Saya ikut program virus korona, mati satu tumbuh seribu sayang…….”
Program psychal distancing [2] antara kami rupanya membuat istriku Emi sudah lima bulan mengandung anak dari om botak, lelaki parlente dan suami dari mantan pacarku.
“Dengan om botak,” katanya.
“Dengan om botak???” Haufuan kanek los
Covid, 2020.
*Yohan Mataubana adalah Mahasiswa STFK Ledalero tingkat 1 yang saat sangat mencintai kehidupan sastra dan budaya. Lahir di Kupang 24 juni 1998. Kini bergiat sastra di komunitas Aletheia dan bermukim di Unit Mikhael.