Editorial, VoxNtt.com
Tahun 2017, Habib Rizieq Shibab (HRS) mengasingkan diri ke Mekah. 17 kasus membuntutinya. Kepergian Rizieq dinilai banyak pihak sebagai sebuah sikap lari dari masalah, sehingga ia layak disebut pengecut.
Di satu sisi, segelintir orang menganggap HRS sebagai pahlawan. Ia menghindari ketidakadilan di negeri ini. Anggapan itu menjadi nyata ketika momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November 2020, HRS pulang. Ia disambut setidaknya ratusan ribu jamaah Front Pembela Islam (FPI) di Bandara Sukarno-Hatta.
Mahfud MD dalam suatu wawancara menganjurkan kedatangan HRS dijaga sebaik mungkin, sebab baginya kedatangan HRS ke Tanah Air adalah sebuah harapan akan adanya revolusi akhlak. Apa benar demikian?
Situasi negara akhir-akhir ini bisa dibilang kontradiktif dengan apa yang diharapkan Mahfud. Kedatangan HRS justru menyalakan permasalahan-permasalahan yang kini menjadi trending topic.
Pertama, ketidakpatuhannya akan protokol kesehatan Covid-19. Sehari setelah RHS berada di Indonesia, ia langsung dibesuk Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Itu adalah hari-hari di mana RHS sebagai pelaku perjalanan semestinya melakukan karantina dan mengurangi kontak fisik. Siapapun pasti tahu, ini pertemuan politis, bukan pertemuan biasa. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, ketika menanggapi pertemuan ini pun mengatakan hal yang sama.
“Sebagai kawan lama, mereka bersilaturahmi, tapi bukan silaturahmi biasa, itu silaturahmi politik, karena dilakukan oleh tokoh politik,” ungkap Komarudin.
Tentu saja, setelah itu masyarakat DKI Jakarta kehilangan kepercayaan terhadap gubernur mereka. Tak hanya itu, Bahkan PSSB yang diperpanjang dari 8 November 2020 pun menemukan titik cerah. Pada Sabtu 14 November, jumlah kasus positif Covid-19 dilaporkan menembus angka di atas 5.000. Menurut Kementerian Kesehatan, penambahan kasus positif tertinggi ditemukan di DKI Jakarta dengan 1.255 kasus baru.
Saling klaim antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun terjadi. Alhasil, dua Kapolda dicopot jabatannya. HRS tidak ada kesalahan dalam semua permasalahan ini. Ia yang melakukan acara dan mengumpulkan undangan dari berbagai tempat, pihak lain yang kena imbasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tak berdaya di hadapan HRS.
Masyarakat angkat bicara. Nikita Mirzani memberikan komentar. Ocehan nyinyirnya terkait kepulangan HRS sekejap mengundang perdebatan. Dalam ciutannya, ia mengatakan bahwa HRS adalah “penjual obat”.
“Gara-gara Habib Rizieq pulang sekarang ke Jakarta, penjemputannya gila-gilaan. Nama habib itu adalah tukang obat. Screenshot! Nah nanti banyak nih antek-anteknya mulai nih, nggak takut juga gue,” ujar Nikita di Instagram Story.
Ada api, ada asap. Komentar tersebut dikecam pendukung HRS, Ustaz Maaher At-Thuwailibi. Ia mengungkapkan akan menurunkan 800 orang untuk mengepung rumah Nikita Mirzani.
“Saya imbau 1×24 jam kalau kau tidak melakukan klarifikasi dan permintaan maaf di depan publik secara terbuka, saya Maaher At-Thuwailibi secara terbuka bersama 800 laskar pembela ulama akan mengepung rumahmu. Saya serius, saya tidak main-main, kita lihat apa yang terjadi. Darah kami kucurkan untuk membela kehormatan cucu Rasulullah SAW,” tegas Maaher.
Rentetan ancaman tak berhenti. Forum Masyarakat Pecinta Ulama (FMPU) DKI Jakarta melaporkan Nikita ke polisi terkait dugaan tindakan asusila, Senin (16/11/2020). Namun, bukti tak cukup kuat, petugas Polda Metro Jaya belum memproses kasus tersebut.
Di lain sisi, Nikita Mirzani justru mendapat dukungan dari masyarakat atas protesnya. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan ujaran kebencian kepada perempuan di ruang publik.
“Kata-kata yang dipertontonkan Maher sangat tidak pantas disampaikan kepada perempuan mana pun, termasuk kepada Nikita. Nikita seorang perempuan, seorang ibu. Bayangkan perasaaan anak dan keluarganya ketika dihina seperti itu,” jelas Wakil Sekjen DPP PSI, Danik Eka Rahmaningtiyas.
PSI juga berharap peristiwa ini membuka mata kita, terutama pemerintah, agar lebih serius mengkampanyekan penggunaan media secara baik dan bernorma.
“Terus terang apa yang dipertontonkan kepada publik beberapa hari terakhir sangat memprihatinkan. Banyak caci-maki bertebaran, tidak edukatif dan jauh dari nilai-nilai keindonesiaan,” ungkap Danik.
Apa dengan semua permasalahan yang tiba-tiba muncul pascakepulangan HRS, revolusi akhlak benar-benar terwujud? Pertanyaan ini tentu bisa dijadikan evaluasi untuk melihat sejauh mana ketegasan hukum di Indonesia dan bagaimana peran negara melihat permasalahan yang ada.
Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. HRS sebagai warga negara, semestinya memiliki perlakuan yang sama. Kasus-kasusnya yang menggantung di tengah jalan, seyogianya dituntaskan. Ia pergi karena masalah, seharusnya pulang dan menyelesaikan masalahnya. Sayangnya, masalah lama tak tuntas, masalah baru lahir. Dengan demikian, apakah HRS pantas disebut hero bagi terwujudnya revolusi akhlak?
Revolusi akhlak saja sudah jauh dari harapan, apalagi revolusi mental? Mental dan akhlak kita mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Data dari KPK menunjukkan bahwa kasus korupsi dari segala jenis perkara telah mencapai angka 1075. Jumlah tindak pidana korupsi berdasarkan profesi/jabatan mencapai angka 1.207. Saat ini lebih parah lagi ketika korupsi sudah terdesentralisasi sampai ke desa-desa. Dana desa yang seharunya diperuntukan kemakmuran rakyat, malah masuk kantong segelintir elit di desa.
Data di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa apa yang disebut mental Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) itu masih terus terjadi. Revolusi mental yang dicanangkan Jokowi dan revolusi akhlak yang dimotori Rizieq pada akhirnya bernasib sama. Sama-sama pemanis bibir untuk mendulang dukungan rakyat.
Sebagaimana kata Bung Karno, revolusi kita memang belum selesai. Salah satu revolusi yang belum tuntas itu ialah revolusi kata-kata elit negeri. Sudah terlalu banyak “kata” di negeri, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma, Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah realitas negeri kita. Rakyat menunggu kapan kata-kata itu membebaskan rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Penulis: Dunstan Obe