Ruteng, Vox NTT- Dr. Mantovanny Tapung mengatakan, para lulusan Unika St. Paulus Ruteng perlu menerapkan ‘Strategi Laut Biru’ (Blue Ocean strategy) sebagaimana digagas oleh W. Chan Kim & Renee Mauborgne.
Menurut Mantovanny, pada era tranfromasi digital ini, jika merasa tidak bisa bersaing dalam sebuah kompetisi, maka keluarlah dari kompetisi tersebut. Hendaklah menciptakan kompetisi baru untuk bisa menjadi pemenangnya.
Tidak hanya itu, ia juga meminta para sarjana lulusan Unika Ruteng untuk menghindari berselancar di ‘laut merah’ (red ocean), kondisi di mana terjadinya persaingan sangat ketat dan keras dengan kompetitor lain, yang berujung pada upaya saling menjatuhan demi mengejar juara atau sekedar bertahan hidup.
“Bukan saatnya lagi kita bersaing, yang pada akhirnya saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Ciptakan kebutuhan dari orang lain,” ujar doktor Ilmu Sosial lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2018 itu ketika dimintai komentar oleh sejumlah awak media seputar acara wisuda 610 sarjana Unika St. Paulus Ruteng, Sabtu (13/11/2021).
Menurut dia, tugas seorang sarjana adalah memenuhi kebutuhan orang lain. Ketika suatu saat orang lain sangat membutuhkan atau bergantung pada sarjana, maka saat itulah sarjana menjadi pemenang dan mengalami kemerdekaan.
Dosen di Unika St. Paulus Ruteng itu juga meminta para sarjana agar merubah kompetisi menjadi sebuah kolaborasi. Kolaborasi harus menjadi warisan (legacy) bagi peradaban baru (habitus baru).
“Persiapkan kapasitas dan kapabilitas diri (karakter), kreativitas, kritis-etis, kolaborasi, dan konektivitas,” imbuh Mantovanny.
Dunia kerja sangat terbuka lebar saat ini. Para sarjana hendaknya tidak lagi sebagai pencari kerja, tetapi sebagai pencipta lapangan kerja.
Sebutan sebagai pencipta lapangan kerja, kata dia, tentu sangat tergantung pada kreativitas seorang sarjana. Bila kreativitas rendah, maka hal itu akan berdampak rendahnya produkvitas.
BACA JUGA: Transformasi Dunia Digital Butul Modal Manusia yang Mumpuni
Sebagai sarjana, tentu harus mulai mengenal potensi yang ada dalam diri. Setelah itu berusaha untuk mengembangkan potensi-potensi dengan melakukan berbagai tindakan nyata yang produktif dan berorientasi hasil atau tujuan (result).
Jika sudah mencapai tujuan dan mendapatkan hasil atau keuntungan, maka tentu saja berdampak secara konsekuensial pada meningkatnya kepercayaan diri (self believe) dan pengakuan sosial (social trust).
Bila sudah ada kepercayaan diri dan pengakuan dari pihak lain terhadap karya-karya para sarjana, maka dengan sendirinya memudahkan pengembangan diri sebagai manusia yang berkualitas pada masa yang akan datang.
Bila sebagian besar kita bertekad untuk ini, maka program strategis pemerintah Indonesia tentang ‘bonus demografi’ tahun 2025 betul menjadi kenyataan. Kalau tidak maka malah akan menjadi ‘bonum demografi’, kondisi di mana munculnya kemalangan, keterpurukan karena banyaknya jumlah penduduk tidak berbanding lurus dengan kreativitas dan produktivitas dalam meningkatkan perekonomian negara bangsa,” ujar Mantovanny.
BACA JUGA: Dr. Mantovanny Tapung: Guru PAK di Matim Tumbuhkan Legacy Positif di Dunia Kekatolikan
Menurut Mantovanny, pada era transformasi digital tentu yang tidak bisa ditawarkan lagi adalah memperkuat modal sebagai manusia (human capital).
Oleh karena itu, para sarjana baru, mesti bisa ‘survive’ di era tranformasi digital ini. Untuk bisa survive maka perlu memiliki keutamaan-keutamaan sebagai manusia bermodal.
Itu seperti: Pertama, digital mindset, yakni cerdas memanfaatkan teknologi dalam rangka efektivitas dan efisiensi di dunia kerja. Kedua, brave to be different. Berani untuk berbeda, berpikir alternatif, berinovasi, baik dalam berpikir, membuat kebijakan maupun penampilan. Ketiga, inclusive, tidak berperan sebagai seorang “Boss” namun dapat berperan sebagai leader, mentor dan rekan atau teman. Keempat, observer dan active listener, yakni memiliki kedekatan dengan masyarakat, rekan kerja, kawan, dan siswa secara langsung maupun melalui media sosial. Kelima, agile, yakni cepat beradaptasi dan responsive terhadap perubahaan.
Demi mendukung keutamaan ini, lanjut dia, para sarjana mesti memiliki: Pertama, memiliki karakter positif dan khas, baik secara individu, komunitas (kelompok), dan kebangsaan (nasional). Karakter yang dibangun untuk melawan stereotype atau anggapan salah tentang bangsa, komunitas dan diri selama ini. Kedua, kreatif dan produktif dalam menciptakan karya-karyadan konten asli anak bangsa. Karya-karya tersebut menjadi warisan (legacy) yang akan menjadi alternatif konsumsi generasi muda saat ini dan masa depan. Ketiga, kritis dan etis; mampu membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, memberi solusi bila ada masalah, dan menyampaikan pikiran secara santun di berbagai situasi dan media. Kelima, berani berkolaborasi; saling mengisi satu sama lain dan mampu saling melengkapi di antara komunitas (kelompok) yang berbeda untuk kepentingan bersama. Keenam, konektivitas, senantiasa terhubung satu sama lain dan selalu mengakses konten-konten kreatif yang ada. Lalu, memperluas jaringan komunikasi yang tidak terbatas ruang dan waktu, namun tetap positif dalam berkarakter melalui kecanggihan teknologi.
Penulis: Ardy Abba