Kupang, Vox NTT- Ketua Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus (YAPENKAR) Kupang, P. Yulius Yasinto, SVD, M.A., M.Sc., memberi beberapa testimoni menarik tentang perjuangan dan suka-duka pembangunan gedung Rektorat baru Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) di Bilangan Penfui, Kota Kupang.
Berdasarkan rilis dari Mikhael Rajamuda Bataona, dosen FISIP Unwira yang diterima VoxNtt.com, Rabu (23/02/2022), menyebut sebagai mantan Rektor dua periode yang kemudian terpilih menjadi Ketua YAPENKAR, Pater Yul, sapaan karibnya, adalah pelaku sejarah yang mengetahui secara persis latar belakang pembangunan gedung ikonik Rektorat Unwira Penfui.
“Sebenarnya, pembangunan gedung baru ini dipicu oleh beberapa peristiwa latar yang membuat kita semua merasa bahwa kita ini tidak bisa seperti ini lagi,” kata Pater Yul.
Menurut dia, fasilitas yang ada di gedung lama sangat terbatas dan tentu saja menemukan kesulitan dan masalah.
Itu terutama masalah kerumunan mahasiswa saat masa-masa registrasi. Kerumuman mahasiswa tersebut sangat mengganggu kegiatan-kegiatan di rektorat dan kegiatan lainnya.
Sebagai sebuah kampus swasta terbesar di NTT, demikian Pater Yul, pertumbuhan Unwira memang luar biasa.
Hal ini kemudian berdampak pada aspek pelayanan kepada mahasiswa. Di gedung rektorat lama, alur pelayanan mahasiswa sangatlah terpencar.
Mahasiswa harus ke bagian belakang gedung untuk validasi registrasi, kemudian ke bagian keuangan, dan kembali lagi ke BAK, lalu mencari dosen untuk konsultasi KHS dan lain lain. Semuanya terpencar dan tidak teratur.
Singkatnya, sebut Pater Yul, di gedung lama, koordinasi dan pengaturan ruangan sangat jelek. Bahkan koordinasi antara Rektor dan para Wakil Rektor juga susah, karena ruangannya sangat berjauhan.
Selain Rektor dan para Warek, sebut Pater Yul, para pimpinan unit dan lembaga juga tidak mendapat ruangan yang baik. Hampir semua ruangan sangat sempit dan letaknya berjauhan.
Akibatnya, unit-unit utama yang harusnya mendapat perhatian, juga tidak kebagian karena ruangan sangat minim.
Misalnya, Lembaga Penjamin Mutu, dan Lembaga Penelitian, mereka harus menempati ruangan yang sangat kecil dan harus dibagi lagi untuk kepala kepala divisi dan lain-lain.
Bahkan, Yayasan sendiri hanya mendapat sebuah ruangan kecil di belakang Gedung rektorat dan ketika ada tamu yang datang mencari pihak Yayasan, mereka umumnya sangat kesulitan.
Masalah laiannya, sebut Pater Yul, adalah fasilitas-fasilitas umum ketika Unwira ingin mengadakan acara publik seperti aula, sangatlah terbatas.
Sebagai mantan Rektor, Pater Yul merasa sangat malu dengan realita tersebut. Putra Manggarai ini bahkan bercerita, ketika dua kali acara pelantikan dirinya sebagai Rektor, banyak tamu yang mengeluh karena ruangan sangat panas.
Selain itu, ketika ada pihak luar yang datang untuk rapat koordinasi atau penandatanganan kesepakatan dengan Unwira, semuanya hanya terpusat di satu ruangan konferensi kecil yang terletak di samping ruangan Rektorat.
Dan bahkan ada cerita tidak enak, di mana, pada suatu ketika, ketika pihak BI datang untuk kegiatan di Unwira, mereka harus menyewa AC tambahan sendiri agar ruangan menjadi lebih sejuk.
“Jadi rasanya bagaimana jika sebuah Universitas besar dengan perkembangan yang sekian pesat tapi keadaannya seperti itu? Itulah yang membuat kita berpikir, Unwira harus memiliki gedung baru yang representative. Terutama untuk pelayanan mahasiswa agar alur dari registrasi ke BAK, ke keuangan berjalan dalam satu area yang bagus dan nyaman. Inilah yang menjadi ide awal,” katanya.
Sebagai pimpinan Yayasan, menurut Pater Yul, pihaknya memang sudah punya cita-cita sejak lama bahwa yang akan lebih dahulu dibangun adalah gedung-gedung kuliah. Karena dalam pembicaraan dengan Pimpinan Prodi dan Fakultas, disampaikan bahwa yang paling penting adalah ruang kuliah.
Mahasiswa wajib mendapat pelayanan terbaik. Artinya, mahasiswa harus memiliki ruang kuliah yang baik. Itulah yang terlebih dahulu dibangun. Sehingga dibangunlah dua terlebih dahulu gedung kuliah.
Salah satunya adalah gedung St. Yosef Freinademetz untuk FKIP. Gedung megah berlantai empat ini bahkan diakses menggunakan lift.
Dengan konsep gedung berlantai empat ini, kebutuhan ruangan kuliah FKIP akhirnya sudah bisa teratasi.
Baru setelah itu, pihak Yayasan mulai berpikir mengeksekusi ide pembangunan Gedung Administrasi pusat yang oleh Pater Yul diharapkan akan menjadi ikon dari keseluruhan Kampus Unwira Penfui.
Disebut sebagai ikon karena gedung Rektorat baru tersebut, akan menjadi pusat pelayanan administrasi Unwira.
“Kita lalu mulai berdiskusi dan mengambil master plan yang diusun dengan melihat batas batas tanah yang terbaru. Di mana, konsepnya tetap konsep Salib. Jadi, kalau master plan tata bangunan di sini diperhatikan dari atas udara, akan terlihat bahwa tata bangunannya berbentuk salib. Dan jantung dari Salib itu berada di patung Arnoldus Jansen itu,” jelas Pater Yul.
Dari alurnya, lanjut Pater Yul, tahun 2015 saat memasuki periode kedua dirinya menjabat Rektor, ide tentang membangun rektorat sudah mulai menguat.
Saat itu, bersama para pengurus Yanpenkar, dirinya terus mendorong hal ini dalam setiap pertemuan termasuk di RUA.
Akhirnya persetujuan prinsipnya sudah diterima di RUA Yapenkar 2015. Setelah itu, pihaknya mencari desainer, lalu ditemukan arsitektur yang cocok yang memahami konsep-konsep yang disodorkan Yapenkar.
“Setelah mendiskusikan konsep-konsep bangunannya, akhirnya kami sepakat dan mulai dibangun,” ujar Pater Yul.
Gedung rektorat akhirnya dibangun dan pembangunan itu telah rampung sehingga siap diresmikan.
Menurut Pater Yul, hal paling prinsip dari konsep gedung Rektorat Unwira adalah, pertama, efektivitas. Yaitu efektivitas alur pelayanan mahasiswa.
“Bahwa mahasiswa harus merasa nyaman dalam area yang nyaman dan tidak ada tumpukan saat registrasi. Dan juga pegawai yang melayani mereka harus merasa nyaman. Artinya, dari tiga alur pelayanan mahasiswa yang utama yaitu registrasi di BAK, pendataan di Pusat Teknologi Informasi, dan verifikasi di Keuangan harus berjalan satu arah dan di satu lokasi,” katanya.
Itulah alasan mengapa, seluruh pusat pelayanan mahasiswa diletakan di lantai satu.
Kedua adalah, konsep efisiensi koordinasi antara Yayasan dengan Rektorat, Rektor dengan para Wakil Rektor, juga dengan unit-unit yang penting seperti LPPM, LPM, Teknologi Informasi, Biro-biro utama, dan divisi-divisi.
“Itu semua harus ada dalam satu gedung dengan tata komunikasi dan jangkauan yang baik sehingga diletakan di lantai dua dan tiga pada gedung Rektorat,” beber anggota Ordo Serikat Sabda Allah ini.
Selain itu, Yayasan juga berada dalam gedung yang sama untuk mempermuda koordinasi antar unit.
Desain gedung rektorat Unwira juga memperhatikan Fungsi yang ketiga yaitu keluasan dan kenyamanan area kerja pegawai.
Tujuannya, sebut Pater Yul, agar mereka tidak terlihat dalam satu ruangan yang sumpek dan kecil tetapi area yang luas. Karena itu mempengaruhi gairah kerja dan energi yang mereka keluarkan.
Dan fungsi yang terakhir adalah fungsi Green Building dan fungsi representasi. Di mana Gedung Rektorat Unwira, didesain dengan jendela yang banyak, demi menghemat penggunaan cahaya, juga lingkungan sekitar yang ditata secara asri, juga tata kelola parkiran dan alur kendaraan yang baik.
Juga fungsi representasi yaitu bahwa dengan gedung Rektorat yang baru, civitas akademika Unwira akan merasa bangga dan tidak lagi kesulitan dalam mencari icon-nya Unwira. Karena Gedung Rektorat tersebut telah menjadi ikon baru Unwira.
Dan sebagai ketua Yapenkar, suatu hal yang membanggakan, sebut Pater Yul, adalah bahwa pembangunan gedung Rektorat Unwira murni menggunakan dana pembangunan keuangan mahasiswa yang dikumpulkan dari tahun ketahun.
Tidak ada sumbangan berarti dari pihak ketiga sehingga bisa dikatakan bahwa 95% kekuatan dana berasal dari kekuatan Unwira sendiri.
“Itulah yang membanggakan. Tidak hanya hasilnya, tetapi juga prosesnya yang sungguh membanggakan,” beber Pater Yul.
Selain gedung Rektorat, saat ini Unwira juga memiliki sebuah Aula yang representative untuk acara Wisuda yaitu Aula St. Imaculata.
Dibangunnya aula tersebut karena setiap kali Wisuda, Unwira selalu kesulitan menetapkan tanggal karena selalu tergantung dari gedung-gedung yang mau dipesan untuk dipakai.
Selain itu, panitia wisuda juga sangat kesulitan dan para orang tua juga tidak bisa melihat kampus Unwira karena jauh.
Akhirnya, sebagai ketua Yapenkar, Pater Yul mengaku mengajukan sebuah ide untu sebaiknya dibuat sebuah bangunan yang ternyata kemudian dipoles sana-sini, akirnya menjadi bagus.
Di mana, saat ini, aula tersebut menjadi gedung yang representatif yang paling banyak digunakan untuk kegiatan kemahasiswaan skala kecil hingga besar termasuk untuk acara Wisuda. Unwira juga memiliki Ballroom St. Hendrikus, Auditorium St. Paulus dan Aula Serbaguna Sta. Maria Imaculata.
Di mana, menurut Pater Yul Yasinto, sebagai pimpinnan Yayasan, dirinya sangat memperhatikan masalah sound untuk aula dan ballroom-ballroom tersebut. Karena Pater Yul tidak ingin masalah sound menjadi kendala dalam acara-acara besar di Unwira.
“Sound ini menjadi salah satu kendala dalam setiap acara. Meski kita mempersiapkan segalanya dengan baik tetapi ketika sound onar maka akan mempengaruhi seluruh mood. Jadi, kita punya sound itu sudah dengan standar yang tinggi. Mahal memang, tetapi standarnya sudah cukup tinggi,” tutup Pater Yul.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba