Oleh: Yohanes Mau
Penulis, Misionaris SVD, asal Belu Utara-NTT.
Tinggal di Zimbabwe-Afrika.
Post Modernisasi menghantar manusia hanyut di dalam realitas modernisme yang sedang gencar di tengah dunia.
Telah tersedia pelbagai macam alat komunikasi yang memadai dan robot yang bisa membantu melancarkan aktivitas manusia sebagaimana manusia normal beraktivitas.
Berhadapan dengan kemudahan dunia terkini generasi milenial pun ditantang. Artinya apakah mereka masih setia untuk berpikir? Berpikir adalah aktivitas yang tidak terlepas dari eksistensinya sebagai manusia.
Manusia yang malas berpikir adalah manusia yang membiarkan dirinya mati sebelum ajal menjemput.
Manusia yang berpikir adalah manusia yang setia menjaga dan merawat eksistensi hidup secara bertanggung jawab.
Berkaca pada pernyataan filsuf Rene Descartes, “Cogito ergo Sum, “I think, therefore I am” (“Saya berpikir maka saya ada.”) Setelah membaca pernyataan Descartes ini sejenak saya berpikir. Apa maksud terdalam yang terselubung di baliknya?
Saya berpikir maka saya ada sebenarnya ungkapan manusia akan keberadaan dirinya di dunia ini.
Manusia mengungkapkan segala totalitas dirinya dengan mengekspresikan diri lewat pelbagai cara sehingga bisa diketahui oleh yang lain bahwa mereka masih menghuni dunia ini.
Cara yang paling lazim sebagai panggung sandiwara di era milenial ini adalah ekpresi diri via media sosial Facebook, WhatsUpp, Twitter, Google, dll.
Tingkat tahapan manusia dari kalangan kaum elite yang notabene berpendidikan tingkat Sekolah dasar hingga Profesor pun memposting aktivitas harian dari hal-hal kecil seperti makan, minum, mood tidak baik, sampai ungkapan rasa aneh-aneh juga diposting semua lewat media sosial.
Bahkan kaum religius, biarawan-biarawati sebagai figur publik pun tidak mau kalah saing. Pokoknya panggung media sosial diramaikan dengan aneka postingan oleh semua kalangan.
Misalnya posting gambar sedang makan di restoran bersama kawan-kawan, makan kaki sapi atau rendang sapi. Seluruh dunia tahu dia sedang makan dan dia masih hidup.
Orang-orang seperti ini sebenarnya sangat miskin berpikir akan eksistensi dirinya.
Mengapa saya katakan demikian, karena mereka hanya saja berpikir tentang hal yang sifatnya sementara dan habis dalam waktu sekejab.
Figur macam ini termasuk mereka yang menentang akan pernyataan Descartes. Candu macam ini lazim disebut orang yang malas berpikir.
Tidak berpikir tentang sesuatu yang sifatnya abadi adalah mengkebirikan nalar.
Malas berpikir adalah cara membiarkan diri hanyut di dalam roda zaman milenial.
Hal yang mau diutarakan di sini adalah generasi mileneal dengan pelbagai gelar dan jabatan yang mentereng mesti berpikir secara seni.
Seni adalah sesuatu yang indah dan tak lekang oleh ruang dan waktu.
Berpikir jauh ke depan dengan gagasan yang brilliant dan menulis tentang kehidupan secara luwes serta diabadikan agar menjadi kenangan abadi yang bisa dibaca oleh generasi selanjutnya.
Saya berpikir maka saya ada. Manusia yang berakal budi mesti senantiasa berpikir dan berpikir untuk memecahkan misteri kehidupan yang sedang terpampang luas di hadapan mata.
Manusia yang mampu berpikir dan membacakan tanda-tanda zaman secara hari ini adalah manusia yang mampu keluar dari dinding keegoismean diri dan menembusinya untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang terselubung di sana.
Ketika manusia mampu berpikir dan menemukan kebenaran di dalam ziarah pergulatan hidupnya maka pada saat itu pula manusia itu menjadi figur yang bijaksana.
Bijaksana artinya menjadi pribadi yang selalu menggunakan akal budi, pengalaman dan pengetahuan secara arif dan tajam, berhati-hati di dalam menghadapi suatu realitas secara tenang serta memberi jalan keluar yang sejuk kepada publik tanpa ada rasa mengecewakan pihak lain.
Berhadapan dengan zaman milenial hari ini yang sangat instant manusia sedang hanyut di dalamnya. Bahkan anak-anak kecil sudah mulai dimanjakan dengan aneka jaringan komunikasi yang modern.
Anak-anak diajarkan untuk bermental instan. Hal ini secara tidak sadar dan perlahan mematikan daya pikir mandiri anak-anak untuk lengah dengan tawaran zaman.
Sebenarnya tawaran zaman dengan segala sajiannya terkini hanyalah alat yang menantang anak-anak dan kaum muda untuk berpikir lebih mantap akan hari-hari esok yang masih baluti misteri.
Manusia harus mampu berpikir untuk menggeruak aneka seni yang terselubung di balik misteri esok. Berpikir adalah jalan terbaik. Maka Descartes menantang manusia untuk berpikir dan berpikir.
Berpikir adalah tentang eksistensi diri sebagai manusia yang berakal budi dan unik dari segala ciptaan lainnya. Jangan membiarkan diri hanyut oleh aneka tawaran dunia yang menggiurkan dan meninabobokan pikiran.
Hanyut dengan tawaran duniawi dan hal-hal yang sifatnya mesti diposting oleh anak tingkat Sekolah Dasar tak perlu diposting oleh seorang figur publik.
Jika sampai terjadi demikian maka dunia akan memahami figur publik macam ini kurang bahagia di masa silam.
Figur yang malas berpikir adalah dia yang sedang membiarkan seni melewati ziarah hidupnya tanpa menjejakkan kaki.
Dan pembiaran semacam ini adalah mematikan nalar dan eksistensi dirinya sebagai manusia. Sejati manusia adalah berpikir. “Cogito ergo sum”, “Saya berpikir maka saya ada”. Kalau saya tidak berpikir maka saya tidak tidak ada.
Lantas bagaimana caranya agar saya bisa berpikir dan tetap ada dan terlestari di dalam seni hidup itu?
Cara terbaik adalah berusaha untuk berpikir tentang keberadaan diri setiap hari dengan menulis kisah-kisah pengalaman harian secara unik dan bisa dijadikan sebagai kenangan untuk generasi selanjutnya.
Lebih jauh dari itu melakukan kebaikan dan cinta secara tulus dan ikhlas tanpa harap pulang.
Kebaikan dan cinta yang dileburkan di tengah realitas suram hidup masyarakat kecil adalah goresan terindah yang akan membekas hingga abadi di hati mereka.
Berpikir dan menjadi perantara bagi orang-orang kecil di tengah sulitnya suatu realitas hidup adalah berkat. Berpikir mesti menyapa realitas masyarakat secara hari ini dan menyejukkan.
Berpikir adalah tentang ada yang sebenarnya. Berpikir adalah ada dari yang ada dan tetap ada di tengah ketiadaan harapan, cinta, dan kasih.
Sejati dari berpikir adalah membagi segala kebajikan yang ada kepada yang lain agar mereka pun mengalami kepenuhan di dalam kebaikan itu. Hidup yang berarti adalah hidup yang berguna bagi orang lain.
Ada dan hadir lewat beripikir adalah seni, dan seni itu mesti ditunjukkan kepada dunia bahwa kita masih ada dan tak akan mati sekali pun jazad kelak tiada dan kembali menjadi bumi yang kini sedang dipijak.
Dari bumi kembali kepada bumi dengan menata bumi ini menjadi lebih indah sebagaimana telah diciptakan oleh Sang Khalik.