Oleh: Ardy Abba
Baru-baru ini, informasi kenaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo beredar luas di jagat maya. Tidak tanggung-tanggung dalam informasi yang beredar luas itu, harga tiket naik menjadi 3,75 juta per orang dan berlaku mulai Agustus 2022 mendatang.
Namun informasi ini cepat dibantah oleh Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi di Taman Nasional Komodo, Carolina Noge.
Menurut dia, angka Rp3,75 juta itu bukan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo. Angka itu merupakan kontribusi per orang per tahun untuk program konservasi Taman Nasional Komodo.
Dilansir sejumlah media, Carolina menjelaskan, setelah membayar Rp3,75 juta per orang, wisatawan tidak perlu lagi membayar di kunjungan berikutnya dalam periode satu tahun sejak membayar.
Ia juga memastikan membatasi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo hanya 200 ribu orang per tahun dan berlaku mulai 1 Agustus 2022 mendatang.
Kebijakan ini tentu mesti dikaji ulang. Bahwa tidak semua wisatawan yang mengulangi kunjungan ke obyek wisata yang sama dalam setahun. Jika mereka hanya sekali kunjungan dalam setahun, bukankah uang Rp3,75 juta sangat fantastis? Bukankah mereka merugi?
Harga Tiket Masih Sama
Menurut Carolina, harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo masih sama dengan sebelumnya. Sedangkan uang Rp3,75 juta tersebut merupakan biaya kompensasi program konservasi di Taman Nasional Komodo.
Dilansir Kompascom, biaya masuk ke Taman Nasional Komodo masih sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.
Harga tiket masuk Taman Nasional Komodo untuk warga negara asing (WNA) pada hari Senin-Sabtu mulai dari Rp150.000 per orang. Pada hari Minggu atau libur nasional harganya menjadi mulai dari Rp225.000 per orang.
Sementara itu, harga tiket masuk Taman Nasional Komodo untuk wisatawan nusantara (wisnus) pada hari Senin-Sabtu mulai dari Rp5.000. Pada hari Minggu atau hari libur nasional lainnya mulai dari Rp7.500.
Selanjutnya, aktivitas trekking dan pengamatan satwa (wildlife viewing) di Taman Nasional Komodo harus dibeli satu paket.
Tarif trekking mulai dari Rp5.000 per orang, dan tarif wildlife viewing mulai dari Rp10.000 per orang. Wisatawan dapat melihat kehidupan satwa di sejumlah lokasi, termasuk Loh Liang di Pulau Komodo, Loh Buaya di Pulau Rinca, dan Padar Selatan di Pulau Padar.
Kemudian, wisatawan yang ingin snorkeling di Pink Beach Pulau Komodo, Siaba Besar, dan Tatawa, akan dikenakan tarif mulai dari Rp15.000 per orang.
Sementara itu, untuk aktivitas diving, lokasinya ada di Batu Bolong, Crystal Rock, Karang Makassar, dan Cannibal Rock. Tarif diving mulai dari Rp25.000 per orang.
Lalu, aktivitas memancing ini harus dilakukan dengan pendampingan petugas Balai Taman Nasional Komodo, dan atas izin khusus serta pengurusan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Tarifnya adalah mulai dari Rp25.000 per orang.
Selanjutnya, wisatawan juga bisa mengambil gambar termasuk melakukan pemotretan satwa malam hari (nokturnal) dengan pendampingan khusus perugas Balai Taman Nasional Komodo. Aktivitas fotografi ini dikenakan tarif mulai dari Rp250.000 per orang.
Aspek Keselamatan Masih Belum Aman
Labuan Bajo terus bersolek setelah ditetapkan pemerintah sebagai kota pariwisata super premium pada 2 Agustus 2016 lalu.
Pemerintah bahkan dalam sekejap menyulap ibu kota Kabupaten Manggarai Barat itu menjadi kota yang penuh dengan properti mewah. Buktinya, beberapa tahun belakangan ini kementerian dan badan serta pemerintah daerah secara masif membangun infrastruktur modern.
Hotel berbintang, restoran mewah, jalan raya berhotmiks dan lain-lain kian marak dibangun di Labuan Bajo. Para investor pun berlomba-lomba menanamkan investasi demi menambah pundi-pundi keuntungan di kota yang memiliki kadal raksasa bernama Komodo itu.
Dengan berbagai intervensi anggaran yang fantastis, pemerintah terus mengembangkan sektor jasa dan industri untuk mendukung pariwisata Labuan Bajo.
Selain itu, pemerintah juga dengan berbagai macam argumentasi rasional terus berupaya menggosok dompet pengunjung. Terbaru, pemerintah berencana untuk menagih biaya konservasi ke setiap pengunjung sebesar Rp3,75 juta per tahun.
Sayangnya, upaya ini tanpa disertai jaminan keselamatan wisatawan yang memadai. Buktinya, sejauh ini ada banyak kapal wisawata yang tenggelam saat berkunjung ke Taman Nasional Komodo.
Terbaru, pada 28 Juni 2022 lalu, Kapal Wisata Tiana tenggelam di sekitar Pulau Kambing, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, sekitar pukul 05.30 Wita.
Akibat dari peristiwa itu, dua orang ditemukan meninggal dunia. Mereka ialah Jamiatun Widaningsih (53) dan Annisa Fitriani (22).
Kedua korban yang meninggal itu merupakan ibu dan adik kandung dari Artis Ayu Anjani.
Tidak heran di balik peristiwa nahas itu, pihak keluarga mendesak polisi agar mengusut tuntas adanya dugaan kelalaian nakhoda/kapten dan awak kapal.
Kuasa hukum keluarga korban, Mario Pranda, menduga kuat ABK telah melanggar Undang-undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dalam Pasal 244, Pasal 245 dan Pasal 249 UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran dijelaskan bahwa apabila terjadi bahaya dan kecelakaan dalam hal ini kapal tenggelam, maka seseorang harus segera melakukan upaya pertolongan.
Undang-undang itu juga menjelaskan bahwa pihak yang harus bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut adalah nakhoda/kapten kapal, kecuali ada pembuktian lain di balik kecelakaan.
Pemerintah Jangan Tinggal Diam
Di balik peristiwa nahas yang merenggut nyawa wisatawan, seharusnya menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk melakukan penataan dan perbaikan.
Pemerintah harus memastikan kelaikan ABK, kapten dan fisik kapal saat berlayar, meski memang alasan klasik selama ini yakni kecelakaan karena faktor cuaca/alam.
Memastikan alam dalam keadaan baik saat menyeberang seharusnya diperhatikan crew kapal. Prediksi cuaca juga harus menjadi pengetahuan umum yang harus dimiliki, selain skill dan kelaikan fisik kapal.
Pemerintah tidak boleh tinggal diam, sebab sudah banyak nyawa melayang. Pemerintah seharusnya tidak hanya konsentrasi jorjoran mengeruk dompet wisatawan dan lupa akan tugas penyelamatan berwisata.
Pemerintah dan aparat keamanan harus bertindak tegas kepada para pelaku wisatawan yang ternyata diketahui melanggar aturan. Sebab hanya dengan cara itu pembayaran mahal wisatawan impas dengan pelayanan dan jaminan keselamatan.
Pemerintah juga harus memastikan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), terutama kapal, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menegaskan bahwa untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya kepada pemerintah atau pemerintah daerah.