Ruteng, Vox NTT- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengecam keras tindakan pemerintah, PLN, TNI dan Polri yang diduga telah mengganggu ketenangan warga Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kepala Kampanye Jatam, April Perlindungan, menegaskan tindakan terjadi saat melakukan survei akses jalan untuk perluasan pengeboran geothermal Ulumbu.
April juga mendesak Panglima TNI dan Kapolri untuk menertibkan pasukannya, dengan segera tarik mundur dari lokasi, serta segera memberikan sanksi tegas kepada anggota yang melanggar hukum.
“Kami juga mengultimatum PT PLN dan Kementerian ESDM agar segera menghentikan seluruh aktivitas di lapangan dan wajib menghormati hak warga yang telah melakukan penolakan,” tegas April dalam yang diterima VoxNtt.com, Kamis (23/01/2023).
Tidak hanya itu, ia juga mendesak KLHK dan Kementerian ESDM untuk segera melakukan audit menyeluruh atas operasional geothermal Ulumbu yang telah menimbulkan daya rusak yang dasyat bagi warga dan lingkungan.
Ia menjelaskan, kondisi mencekam sedang dialami warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Flores, sejak tanggal 8 Februari 2023.
Setiap hari, kata dia, kampung warga didatangi aparat TNI dan kepolisian yang mengamankan aktivitas PLN UIP Nusa Tenggara, Dinas PUPR dan PLTP Ulumbu.
Mereka melakukan aktivitas survei topografi akses jalan untuk pengembangan proyek tambang geothermal Ulumbu unit 5 dan 6.
Selain survei akses jalan, perusahaan dan pemerintah juga memasang perangkat keras berupa antena deteksi di sejumlah lokasi sekitar pemukiman warga. Aktivitas lapangan itu terjadi dalam berbagai kesempatan.
Menurut April, PLN UIP Nusa Tenggara menyatakan bahwa pembangunan PLTP Ulumbu direncanakan memanfaatkan tujuh area pengeboran, di antaranya lima area sumur produksi dan dua sumur injeksi.
“Warga melakukan aksi penolakan atas aktivitas pengembangan PLTP Ulumbu ini. Penolakan ini bukan tanpa alasan,” tegas April.
Warga sudah merasakan bagaimana daya rusak dari aktivitas PLTP Ulumbu yang sudah terjadi sebelumnya, sejak geothermal Ulumbu beroperasi pada 2012 lalu.
Mulai dari terganggunya kesehatan warga, produktivitas tanaman pertanian/perkebunan menurun drastis, seng-seng rumah dan sekolah karatan, longsor, retakan tanah, hingga potensi konflik sosial akibat pembebasan lahan secara sepihak.
Meski demikian, lanjut April, pihak perusahaan dan pemerintah terus melakukan survei secara diam-diam tanpa sepengetahuan warga.
Warga yang tidak mendapat informasi menyeluruh tentang rencana aktivitas pengembangan PLTP, khawatir tanah milik dan tanah ulayat adatnya tergusur.
Lalu, model fracking dalam operasi geothermal yang bisa memicu gempa picuan, berpotensi menyebabkan bencana bagi warga, mengingat kampung-kampug di Poco Leok persis berada di lereng pegunungan.
Masih dalam rilis tersebut Kepala Divisi Hukum Jatam, Muh. Jamil, mengatakan perusahaan sejak awal hanya mengobral janji kesejahteraan pada warga.
Faktanya, kata dia, hingga tahun 2022, hanya tujuh orang warga lokal bekerja di PLTP Ulumbu.
Padahal mayoritas warga sudah merasa nyaman dan sejahtera dengan mengandalkan pertanian warisan leluhurnya.
“Berulangkali, warga dari 10 Gendang (kampung adat) melakukan penolakan atas berbagai aktivitas perusahaan. Hingga pada aksi 17 Februari lalu, kedua belah pihak menyepakati bahwa aktivitas survei geothermal di lahan pemukiman dihentikan,” kata Jamil.
Namun pihak perusahaan mengabaikan kesepakatan tersebut dan hingga kini masih melakukan survei, bahkan dengan memobilisasi aparat.
Jamil menjelaskan, PLTP Ulumbu merupakan pembangkit listrik yang dikelola langsung oleh PT PLN.
Operasi lapangan dijalankan dua anak perusahaannya, yakni PT Indonesia Power dan PT Cogindo.
Sejak tahun 1970 hingga akhir 1990-an, PT PLN bersama sejumlah peneliti sudah melakukan aktivitas penelitian dan eksplorasi di kawasan tersebut.
Meningkatnya intensitas penambangan geothermal di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah Poco Leok, tak lepas dari keberpihakan pemerintah terhadap para investor geothermal.
Pemerintah mengklaim bahwa geothermal sebagai energi bersih dan terbarukan, sehingga geothermal ditargetkan untuk memenuhi target bauran energi nasional sebesar 23 persen pada tahun 2025 mendatang.
Padahal, dalam praktiknya, geothermal sama buruknya dengan sumber energi lain seperti batubara dan migas: mencemari bentang air dan udara yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan, alih fungsi lahan, hingga menggusur pemukiman penduduk.
Bahkan, industri geothermal sendiri, dalam praktiknya juga menyebabkan gempa picuan, dan telah menyebabkan korban jiwa akibat gas beracun seperti H2S (hidrogen sulfida), sebagaimana terjadi di Mandailig Natal, Dieng, dan wilayah lainnya di Indonesia.
“Ambisi para pengurus negara bersama pelaku bisnis yang hendak membongkar di lebih dari tiga ratus titik mata bor geothermal di Indonesia, dimana lebih dari 20 di antaranya berada di pulau Flores, jelas mempertaruhkan keselamatan rakyat. Ekstraksi panas bumi dalam skala besar ini, diproyeksikan untuk mensuplai kebutuhan energi listri bagi industri itu sendiri,” ujar Jamil.
Dengan demikian, lanjut dia, rencana perluasan pengeboran geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok, berikut upaya paksa melakukan survei akses jalan dan titik pemboran tanpa sepengetahuan warga, lebih tepat disebut sebagai pagelaran parade pelanggaran hukum oleh para pengak hukum.
“Mengingat seluruh tahapan yang mestinya harus dilakukan sebelum eksplorasi panas bumi tak satupun dilakukan,” tegasnya.
Hal tersebut menurut Jamil, bertentangan dengan ketentuan UU Cipta Kerja Pasal 41 yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Panas Bumi Jo. PERPPU 2 Tahun 2022 pada Pasal 42 ayat (1) terkait penyelesaian penggunaan lahan.
Tak hanya itu, pendudukan tanah warga dan tanah adat di Poco Leok tanpa izin ini telah melanggar KUHP Pasal 385.
Pelanggaran ini tak main-main dan dapat berakibat pada sanksi pidana dan pencabutan izin usaha panas bumi. [VoN]