Oleh: Kristiano G. Lasa
Bagaimana aku harus bahagia
Jika bahagia itu telah tiada
Bagaimana aku harus bermimpi
Jika bahagiaku pergi
Dimakan napsu kuasa
Siang yang gerah. Ngengat. Deretan keringat penghias badan yang menjadikan wangi yang paling lain dari setiap wangi. Ia memang sedap untuk dicium. Apalagi kalau dilumat ia tetap keringat yang pahit untuk dinikmat.
Kira-kira begitu situasi Labuan Bajo kalau dilumat oleh manisnya diksi. Namun, tiada diksi yang bermakna ketika berhadapan dengan situasi di kala raja siang tengah menguasai bagian tengahnya hari. Di hadapan gerahnya, segala diksi turut menunduk. Bertekuk lutut.
Enggan untuk melotot seperti keganasan permainan oligarki para pejabat publik. Ia hanya menunduk sampai senja. Ku lirik ke arah jam tanganku yang selalu berdetak.
Ia selaras dengan detak jantungku karena perut mulai menyanyi lagu-lagu melankolik. Namun, jarum jam belum merapat pada pukul 13.00. Sekarang masih tersisa tiga puluh menit.
Aku harus menunggu lama lagi.Tiga puluh menit aku diam seribu bahasa. Aku mencoba berteman dengan sepi.
Dan dalam kesepian dan keheningan yang mendalam, aku teringat syair sebuah lagu yang menceritakan suatu penantian yang begitu singkat.
Dalam lagu tersebut penulis syair menceritakan kegelisahan tentang bosannya menunggu. Sama halnya saya yang sedang menunggu waktu untuk makan siang.
****
Kusam.Kelam. Matanya lebam. Sepertinya ia telah dipukuli oleh seseorang. Jalannya tertatih-tatih. Badannya tidak seimbang. Matanya sayu. Pandangannya kosong. Hampa . Tak ada tanda bahagia di wajahnya.
Keringat terus mengguyur tubuhnya yang munggil. Ia tetap melangkah. Sesekali ia menerawang ke langit yang tak akan terlihat. Bajunya kusam. Aku melihat banyak nanar pada matanya.
Pandanganku telah direngkus olehnya. Gemuruh belas kasihan telah menumpuk dan sebentar lagi pecah. Aku mencoba berjalan untuk mnedekatinya.
Ketika langkah saya terhenti di depannya. Ia serentak kaget dan menghentikan langkahnya yang tertatih. Ia diam. Mematung. Ketakutan terpancar pada matanya yang lebam.
Ia hanya menunduk. Kami pun terbius oleh perasaan kami masing-masing. Sepenggal kata enggan tercipta dari mulutku. Semua aksara sekejam hilang. Mereka melesat pergi. Hanya tatapan haru yang masih setia dan tersisa.
****
“ Kamu mau kemana dek?” Tanyaku memecah keheningan antara kami berdua. Sayangnya, ia hanya diam. Ia tetap diam. Ia seperti debu.
Yang enggan untuk berbicara. Ia hanya bisu. Aku terus bertanya kepadanya namun semuanya sia-sia. Menunggu adalah sia-sia. Dan kesia-siaan adalah tetap tak ada gunanya. Aku telah disia-siakan olehnya.
Sampai jam makan siangku pun kubiarkan sia-sia.Aku menggerutu dalam batinku. “ Aku hendak pergi ke rumah bapa” Jawabnya singkat. “ Dimana rumah bapamu itu” balasku. Aku menjawabnya dengan semangat agar aku boleh mengenal adek ini. “ Aku akan pergi ke rumahnya. Dan rumahnya tidak pernah ku tahu” Balasnya singkat padat dan jelas.
Aku tersontak bingung oleh jawabnya. Aneh sekali anak ini. “ Kamu sedang sekolah di mana?” tanyaku untuk mengalir pembicaraan kami berdua. Namun ia tak menjawab. Raut wajahnya menyiratkan lelah yang paling. Kakinya gemetar seakan tak sanggup lagi menopang tubuh mungilnya.
Aku mengajaknya untuk berteduh di bawah pohon Kresen yang dekat tempat kami berdiri. Ia pun mengangguk pelan. “ Saya sedang tidak besekolah om” pungkasnya. Saya pikir ia lupa dengan pertanyaanku. Namun, sangkaku salah. “ Kenapa kamu tidak mau sekolah” dan “ di mana orang tuamu?”
Apakah kamu tidak mempunyai cita-cita atau mimpi? mulutku berkomat kamit menyusun pertanyaan. Namun ia kembali diam. Ia bisu. Mungkin ia terlahir untuk mencintai sepi. Dan juga terlahir untuk mencintai kesendirian.
****
“Pada mulutmu engkau pandai menyusun tanya yang paling sesak. Di mulut banyak tanya yang kau berikan kepadaku dan hal itu belum kau tanyakan pada dirimu. Aku tahu di matamu banyak belas kasih.
Asal engkau tahu, tanyamu adalah gerbang. Gerbang yang membuka setiap deretan luka yang masih bersimbah. Engkau mengatakan, dimana engkau sekolah? Sedang diksi itu sulit ku mengerti.
Di manakah orangtuamu? Sedang aku tak pernah tahu siapa orang tuaku. Engkau mengatakan, apakah engkau tak punya mimpi? Sedang mimpiku telah direbut oleh sekawan singa ibu kota. Aku tak ingin bermimpi. Aku tak ada harapan. Biarkan aku tetap begini saja.
Toh, pasti ada juga ada yang baik sepertimu. Aku tak ingin bercita-cita jika orang yang kucita-citakan telah pergi. Bukankah ujung dari cita-cita adalah bahagia? Dan bagaimana bahagia akan tercipta kalau orang tua sumber bahagia telah tiada. Sumber kebahagiaanku adalah orang tuaku.
Tetapi mereka telah lama pergi karena kokoh dalam kebenaraan hak atas hidupnya. Sehingga mereka diremukkan oleh genggaman erat singgasana keganasan ibu kota.”
Air mataku perlahan jatuh. Aku menyalahkan diriku. Aku telah membongkar keganasan luka hatinya. Sekejam inikah dunia? Sampai anak kecil seperti dia enggan untuk bermimpi. Aku terus berkutat dengan kata-katanya.
Ternyata ia seorang yatim piatu. Ayah dan ibu telah lama pergi. Mereka pergi telah menciptakan sakit yang enggan untuk dirakit. Mereka pergi karena keganasan nafsu kuasa.
****
“ Ini kopinya mas” suara pelayan membuatku serentak kaget. Segala cerita dalam kepalaku telah melesat. Semuanya buyar. Hilang tanpa arah. Perlahan kutarik nafas dalam-dalam untuk mencari mood yang baik. Setelah sekian lama, akhirnya perasaanku kembali seketika. “ Kok, bengong Mas” pelayan itu terus saja mengingatkanku.
Aku hanya membalas dengan sentum untuk menyembunyi segala apa yang terjadi dalam diriku. Hanya senyumlah yang mampu membantuku. Ia sangat lihai menyimpan segala sesuatu yang privasi. Kuraih kopi yang telah disediakan dari tadi. Seteguk. Dua teguk. Dan sampai pada teguk yang menyisakan ampasnya di latar belanga.
****
Ramainya Jakarta sulit didefinisikan oleh kata. Bisingnya jangan diceritakan lagi. Banyak manusia yang sangat sibuk. Pikiranku tak kalah sibuk dari mereka. Karena aku teringat kisah kelam dari sahabat kecilku. Frank adalah namanya.
Ia sahabat yang selalu mengerti tentangku. Segala kisah hidupku selalu kucurahkan kepadanya. Ia setia mendengar. Ia selalu ada buat saya. Meski awalnya ia merupakan sosok yang penuh ketakutan dan sekarang ia menjadi sosok yang ditakuti oleh semua orang.
Kemarin aku baru saja mendapat kabar bahwa ia nekat melawan pemerintah. Dan sekarang ia dibekuk dalam jeruji daerah setempat. Peristiwa ini disebabkan oleh ketegaran hatinya untuk menolak pembangunan geothermal yang diprogram oleh pemerintah setempat.
Ternyata ia tidak sendirian untuk menolak tambang, banyak masyarakat yang mendukungnya. Akhirnya, mereka semua ikut didekap dalam lumbung sesak.
Sekarang, satu orang pun tidak dapat membela mereka. Semua orang hanya pasrah pada hasrat penguasa. Mereka hanya diam dan menikmati kepedihan mereka. Mereka dibekuk oleh rasa takut.
Mereka tak mampu menyampaikan pendapat, karena pemerintah menggunakan tangana besi. Mereka hanya berpasrah. Saat ini, tanganku menjadi harapan mereka semua. Frank memintaku untuk membela mereka dalam menegak keadilan.
Ia mengatakan hanya aku yang dapat membela mereka sekarang. Nyawa dan masa depan mereka ada padaku. Sehingga aku harus bekerja keras dan gerak cepat untuk mereka. Aku harus membela mereka yang takut.
Aku harus membela mereka yang tak sempat bermimpi. Aku harus membela mereka yang bermimpi hanya setinggi atap rumah.
****
Setelah menjalankan persidangan dan hasil persidangan pun dimenangkan oleh Frank dan kawan-kawannya, aku pun pergi menjenguk mereka yang telah dibekuk. Pada mata mereka banyak bahagia yang tercipta. Air mata membasahi pipi yang kian keriput.
Air mata kebahagian mengalir dari mata Frank si bocah yang kusam dan penuh luka legam. Yang langkahnya tertatih kini berjalan tegak jauh dari ketakutan.
Ia yang pernah bisu dengan cepat melebarkan tanganya dan memelukku erat. Detak bahagia pada nadinya mengacu begitu cepat setelah segalanya selesai.