Jakarta, Vox NTT- Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, menyebut salah satu faktor adanya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah kemiskinan.
Sebab itu, ia menganjurkan agar harus ada upaya legislasi untuk memberikan dampak bagi penegakan hukum sekaligus perlindungan korban TPPO.
“Hati saya selalu sedih karena dari daerah tempat asal saya terdapat banyak korban-korban TPPO dan salah satu faktornya karena kemiskinan,” kata Inosentius saat Focus Group Discussion (FGD) di Ruang Banggar DPR RI pada Senin (31/07/2023).
Putra asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu pun menyambut baik kolaborasi beberapa stakeholder terkait dan masyarakat sipil dalam memberantas mafia human trafficking atau perdagangan orang.
“Peran masyarakat sipil penting karena merekalah yang terjun langsung dalam advokasi serta pendampingan bagi korban TPPO,” katanya.
Diketahui, FGD tersebut dilakukan dalam rangka memperingati hari World Day against Trafficking in Persons (Hari Lawan Perdagangan Orang Sedunia) yang dilaksanakan setiap tanggal 30 Juli.
Kegiatan FGD ini juga diisi dengan sosialisasi temuan tim peneliti Badan Keahlian DPR RI tentang pelaksanaan Undang-undang (UU) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan diseminasi hasil riset advokasi.
Sementara itu, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang, Nukila Evanty, mengatakan untuk memberantas mafia human trafficking maka membutuhkan regulasi yang kuat.
“Regulasi UU suatu keharusan karena UU TPPO kurang memberikan perlindungan bagi korban karena banyak yang perlu diadopsi dengan modus-modus baru kejahatan kemanusiaan ini,” tegas Nukila.
Menurut dia, pasal hukum tentang kompensasi harus ada bagi korban TPPO. Kemudian, dukungan sistem bagi korban TPPO harus dilakukan oleh pemerintah bergandengan tangan dengan masyarakat sipil.
“Gugus tugas TPPO sudah ada, yaitu terdiri dari 24 kementerian dan non kementerian, bagaimana caranya 24 kementerian ini berkolaborasi dengan masyarakat sipil. Misalnya dalam mengindetifikasi korban, melakukan pendampingan atau bantuan hukum, dan juga selama ini juga masyarakat sipil lah yang ada garda terdepan dalam kampanye, dan advokasi TPPO,” jelas Nukila.
Ia mengatakan, UU TPPO perlu menekankan perlindungan anak-anak dari TPPO, serta mengharmonisasikan pasal -pasal hukumnya dengan UU terkait seperti UU Perlindungan Anak, UU Imigrasi, UU Perlindungan Saksi dan Korban.
FGD Sangat Strategis
Terpisah, perwakilan masyarakat sipil Nusa Tenggara Timur, Gabriel Goa, menilai FGD tersebut sangat strategis karena telah menetapkan standar yang tinggi bagi kegiatan-kegiatan serupa yang dilakukan oleh lembaga lainnya.
“Karena kuncinya adalah dialog, memahami tantangan yang dihadapi penegak hukum, memahami tantangan masyarakat sipil, memahami tantangan pemerintah”, semoga ke depan donor -donor lebih cerdas men-support kegiatan -kegiatan masyarakat sipil sehingga tidak duplikasi dan benar -benar mencapai sasaran,” kata Gabriel.
Ia mengaku dalam FGD hadir juga Kedubes Canada, Inggris, dan Australia. Hal ini, kata dia, menandakan para Kedubes tersebut mengetahui bahwa TPPO adalah masalah global, lintas negara, dan kejahatan yang sangat terstruktur.
“Saya juga sepakat agar Bareskrim/Kepolisian lebih proaktif untuk penegakan hukum dan saya setuju kalau penguatan ekonomi dengan mendirikan UMKM dan sentra bisnis di pedesaan menjadi kunci untuk mengatasi kemiskinan,” pungkas Gabriel.
Penulis: Ardy Abba