Ruteng, Vox NTT- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai mendesak pemerintah kabupaten (Pemkab) segera memberantas dugaan mafia stan di Pasar Ruteng.
Ketua GMNI Manggarai Martinus Abar mengatakan, upaya ini penting untuk mewujudkan keadilan dan iklim usaha yang kondusif.
Untuk itu, ia meminta agar Pemkab Manggarai turun langsung ke pasar dan memeriksa satu per satu stan-stan yang ada. Selanjutnya nanti akan dikonfirmasi dengan dokumen yang dimiliki pemerintah.
Jika ditemukan penyimpangan, kata Abar, Pemkab harus berani mengambil tindakan tegas tanpa kompromi. Menurutnya, tindakan tersebut dapat mengurangi dugaan mafia yang sekian lama menggurita di Pasar Ruteng.
“Kalau ada yang kontrak di atas kontrak, cabut saja izinnya. Begitu juga kalau ada yang dapat (stan) lebih dari satu maka lebihnya itu dicabut. Tapi kalau yang sampai jual, menurut saya itu sudah harus dipidanakan,” katanya kepada wartawan, Minggu (2/4/2017).
Baca: Kadis Perdagangan Manggarai Akui Ada Mafia Stan di Pasar Ruteng
Ia memandang mafia stan tidak saja sebatas pada soal kontrak di atas kontrak, tapi juga soal fenomena jual-beli stan. Selain itu, mafia juga mencakup monopoli stan oleh segelintir orang. Praktik-praktik ini, tegas Abar, jelas merugikan pedagang lain dan Pemkab sendiri.
“Yang rugi kan pedagang lain terutama yang belum dapat (stan). Selain itu, ya, pemerintah juga. Stan itu aset kan mereka tapi malah dijual orang. Parahnya lagi uangnya tidak masuk ke daerah,” pungkasnya.
Baca:Isu Mafia Ruko di Pasar Ruteng Menguat, Pemkab Diduga Diam Saja
Karena itu, ia berharap agar pemkab melakukan pengawasan berkala agar praktik-praktik seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari.
“Perlu ada pengawasan, bila perlu dibangun kantor khusus di pasar. Jangan sudah kasi, lalu dilepas begitu saja. Itu kan sama saja membiarkan (mafia) terus berkembang,” imbuhnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada pedagang yang mengeluhkan soal mafia stan di Pasar Ruteng. Mafia ini sudah berlangsung lama dan diketahui oleh pemkab tapi hingga kini tidak diberantas. (Ferdiano Sutarto Parman/VoN)