Ruteng, Vox NTT – Keabsahan surat tugas yang dipakai jurnalis Floresa, Herry Kabut saat meliput demonstrasi warga adat Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai pada Rabu 2 Oktober 2024 lalu ditantang Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh dalam klarifikasinya.
Klarifikasi pada 5 Oktober 2024 itu dibuat Edwin tiga hari sesudah dugaan penganiayaan terjadi.
Edwin dalam penjelasannya membantah polisi melakukan kekerasan dan penyekapan terhadap jurnalis Floresa. Sebaliknya, ia menyebut anggotanya bertindak sesuai standar operasional prosedur (SOP) pengamanan di lokasi proyek geothermal.
Bahkan ia mempersoalkan Herry Kabut selaku jurnalis Floresa yang tidak membawa identitas kartu pers saat meliput unjuk rasa warga yang menolak kehadiran geotermal. Padahal saat itu Herry sudah menunjukkan surat tugas sebagai bagian dari identitas jurnalis.
Ia juga mengaku punya hak untuk mengadu ke Dewan Pers terkait jurnalis yang tak paham kode etik identitas diri.
Namun dua hari sesudah klarifikasi itu, Floresa menilai pengakuan Edwin bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai SOP menunjukkan tanggung jawab dan garis komando dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di Poco Leok.
Floresa memandang keseluruhan pernyataan Kapolres menunjukkan institusinya tidak saja menyangkal kebenaran di lapangan, tetapi juga sedang berusaha mengkriminalisasi korban.
Sementara terkait penjelasan Edwin tentang identitas kartu pers dan surat tugas juga ditanggapi oleh mantan wartawan senior Harian Umum Suara Pembaruan, Siprianus Edi Hardum.
Edi menganggap penjelasan Kapolres Manggarai menunjukkan gagal paham terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalis serta pedoman media Siber.
Dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, jelas Edi, dinyatakan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas.
Penafsiran kalimat “cara-cara profesional” ini, sambung Edi, salah satunya adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber.
“Jadi identitas ini bisa kartu pers bisa juga surat tugas.”
“Yang dijelaskan UU Pers adalah identitas. Penjelasan identitas tidak hanya terpaku pada kartu pers tetapi juga surat tugas,” jelas Edi kepada VoxNtt.com, Kamis, 24 Oktober 2024.
Menurut dia, status hukum surat tugas lebih tinggi kedudukannya dari kartu pers.
Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya ini juga menambahkan, dugaan penganiayaan terhadap jurnalis Herry Kabut menunjukkan sesungguhnya polisi sedang merusak demokrasi dan hukum.
Ia menilai polisi telah menyimpang dari tugas sebagaimana diamanatkan dalam UU Polri, yakni melindungi, mengayomi dan menegakan hukum.
Sementara Koordinator Keselamatan Jurnalis Dewan Pers RI, Erick Tanjung menganggap kasus Herry Kabut serupa terdahulu dengan kasus penganiayaan jurnalis Tempo, Nurhadi di Surabaya Jawa Timur pada 27 Maret 2021 silam.
Saat itu Pengadilan Negeri Surabaya memvonis dua orang polisi 10 bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan penganiayaan terhadap Nurhadi yang sedang menjalankan tugas jurnalistik.
Kedua polisi tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai unsur-unsur yang tercakup dalam Pasal 18 ayat [1] Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juncto Pasal 55 ayat [1] KUHP.
“Kasus Nurhadi terdahulu dan beberapa bukti hukum lain menjadi acuan kami di dewan pers terkait dengan penganiayaan Herry Kabut,” ungkap Erick.
Erick menegaskan proses hukum terhadap semua yang terlibat dalam penganiayaan harus dilakukan karena “sebagai alat negara, mereka telah melakukan cara-cara tidak beradab terhadap jurnalis.”
Kontributor: Berto Davids