Oleh: Fidelis Roy Maleng
Tinggal di Ritapiret, Maumere
Klientelisme adalah suatu praktik dalam politik di mana seorang politisi atau kandidat memberikan imbalan kepada pemilih, seperti uang, barang, atau jasa, sebagai ganti dukungan suara dalam pemilihan.
Dalam sistem ini, hubungan antara pemilih dan kandidat lebih bersifat transaksional, di mana pemilih berharap mendapatkan keuntungan langsung, sementara kandidat mengandalkan dukungan tersebut untuk memenangkan pemilihan.
Praktik politik semacam ini adalah ancaman serius bagi demokrasi. Saat kandidat mengutamakan janji-janji material dalam kampanye, bukan program pembangunan berkelanjutan, masa depan demokrasi dan pembangunan NTT terancam.
Penulis merasa perlu memberi refleksi tentang klientelisme untuk membangun Pilgub NTT yang lebih demokratis dan bersih.
Klientelisme dan Dampaknya terhadap Demokrasi Lokal
James C. Scott mengatakan “klientelisme merusak demokrasi karena menciptakan hubungan patronase antara pemilih dan pemimpin yang bergantung pada imbalan langsung.” (Scott, Weapons of the Weak, 1985: 36).
Pendapat ini sejalan dengan situasi di NTT, di mana hubungan patronase sering kali mengalihkan perhatian pemilih dari program yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Akibatnya, klientelisme menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan memengaruhi proses pengambilan keputusan publik, dengan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dibandingkan kebutuhan umum.
Klientelisme mengikis esensi demokrasi. Di mana seharusnya pemilihan pemimpin berfokus pada kualitas kandidat.
Klientelisme membuat fokus pemilih bergeser ke janji material yang bersifat sementara, seperti bantuan tunai, distribusi barang kebutuhan pokok, atau proyek infrastruktur yang tiba-tiba melonjak menjelang pemilihan.
Pada Pilgub NTT sebelumnya, berbagai laporan media menunjukkan bahwa politik uang kerap terjadi, terutama di wilayah pedesaan.
Beberapa kasus distribusi uang tunai dan sembako telah dilaporkan dalam upaya meraih suara, yang memperlihatkan betapa seriusnya masalah klientelisme ini.
Menurut data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTT pada Pemilu 2019, terdapat beberapa kasus politik uang di beberapa kabupaten, termasuk Sikka dan Manggarai, yang dicurigai sebagai bagian dari strategi kampanye.
Temuan ini menunjukkan bahwa klientelisme adalah tantangan berulang dalam setiap periode pemilu, yang menghambat pemilih untuk memilih berdasarkan program kandidat.
Ketika pemimpin yang terpilih merasa harus “melunasi” dukungan yang diperoleh melalui klientelisme, kebijakan publik cenderung diatur untuk menguntungkan kelompok tertentu, sehingga tujuan pembangunan yang merata dan adil tidak tercapai.
Untuk mengikis klientelisme, masyarakat harus disadarkan akan bahayanya. Studi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa klientelisme lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, termasuk NTT, karena faktor ekonomi, geografis, dan budaya.
Studi ini mengungkapkan bahwa kandidat sering memanfaatkan keterbatasan ekonomi masyarakat NTT untuk mempengaruhi pemilih dengan iming-iming material.
Data ini memperkuat fakta bahwa klientelisme bukan hanya fenomena lokal, tetapi masalah struktural yang melibatkan ekonomi daerah.
Peran edukasi politik dalam hal ini sangat penting. Peningkatan kesadaran melalui LSM, akademisi, dan tokoh agama dapat membuka wawasan pemilih tentang dampak buruk klientelisme.
Ketika masyarakat lebih sadar akan efek jangka panjangnya, mereka cenderung memilih kandidat berdasarkan program dan kualitas.
Misalnya, diskusi publik dan seminar di desa-desa dapat membantu mengarahkan pemilih untuk menilai kandidat dari visi jangka panjang, bukan imbalan sesaat yang ditawarkan.
Media: Membuka Mata Publik terhadap Fakta Kampanye
Media memiliki kekuatan untuk menjadi pilar dalam menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Media lokal seperti Pos Kupang dan Timor Express, menjelang pemilihan di masa lalu, telah berani mengangkat isu klientelisme, termasuk mengkritisi pemberian bantuan langsung yang kerap dilakukan tim sukses kandidat di berbagai wilayah terpencil.
Media juga mengungkap bagaimana janji proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan penyediaan air bersih, sering kali menjadi alat kampanye di desa-desa yang belum tersentuh fasilitas memadai.
Dalam konteks ini, Jurnalistik Investigatif menjadi alat yang efektif. Seperti yang diungkap oleh journalis dan penulis berita investigasi, Seymour Hersh, “Kebenaran adalah senjata terkuat dalam mengungkap praktik korupsi dan penyelewengan.” (Hers, Chain of Command dan The Dark Side of Camelot, 2004: 5) Dengan penyampaian berita yang objektif dan berbasis data, media dapat membantu masyarakat NTT membentuk opini yang lebih kritis dan rasional.
Ketika masyarakat mendapatkan informasi lengkap, mereka bisa lebih bijak dalam memilih pemimpin, sehingga tekanan sosial untuk menghindari politik uang pun meningkat.
Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum sebagai Tindakan Preventif
Indeks Presepsi Klientelisme (CIP) di Indonesia yang dikemukakan oleh Berenschot, menunjukan bahwa Kota Kupang (ibu kota Provinsi NTT) menempati posisi pertama dengan nilai 8.0 dari skala 1-10 dan di posisi kedua ditempati manggarai Barat dengan nilai 7.9 (Berenschot dalam Ramadhan & Oley, 2020: 171).
Pengawasan ketat dan regulasi dana kampanye adalah langkah penting lainnya untuk mengurangi klientelisme.
Berdasarkan catatan Bawaslu, praktik politik uang dalam pilkada dan pemilu sering kali luput dari sanksi yang tegas, sehingga mendorong pelanggar untuk mengulanginya.
Oleh karena itu, transparansi dana kampanye dan sanksi yang ketat bagi pelanggar perlu diberlakukan lebih serius di Pilgub NTT kali ini.
Data dari Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki praktik klientelisme tinggi juga sering memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang rendah.
Korelasi ini menunjukkan bahwa klientelisme tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga menciptakan pemerintahan yang kurang transparan dan cenderung korup.
Dengan pengawasan yang lebih ketat, masyarakat bisa terlibat lebih aktif dalam mencegah klientelisme dan politik uang.
Menumbuhkan Budaya Memilih Berdasarkan Program
Pada akhirnya, perubahan menuju demokrasi yang lebih sehat hanya akan terjadi jika masyarakat NTT memilih berdasarkan program dan visi kandidat, bukan berdasarkan iming-iming bantuan materi.
Jika masyarakat menilai program kandidat dengan cermat, mereka akan memperoleh manfaat jangka panjang yang lebih berarti daripada keuntungan jangka pendek.
Budaya memilih berdasarkan program membutuhkan waktu untuk berkembang, namun dampaknya akan sangat positif bagi pembangunan daerah.
Sebagaimana dinyatakan oleh pakar politik, Susan Stokes, “Masyarakat yang teredukasi dan terlibat dalam proses politik akan mendorong demokrasi yang lebih baik.” Dengan menolak klientelisme dan memilih kandidat berkualitas, masyarakat NTT bisa membentuk demokrasi yang lebih sehat.
Pilgub NTT yang bebas dari klientelisme akan menjadi contoh bagi daerah lain, sekaligus mendorong lahirnya pemimpin yang jujur, berkualitas, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Masa depan NTT akan cerah jika demokrasi dijalankan dengan sungguh-sungguh dan bebas dari praktik klientelisme yang hanya memberikan keuntungan sesaat bagi segelintir orang.