Maumere, Vox NTT- Dengan adanya bukti baru atau novum yang menunjukkan tak adanya kerugian Negara dalam Proyek Pembangunan Pasar Alok Maumere, terpidana kasus tersebut, Zakarias Heriando Siku mengajukan Peninjauan Kembali (PK.)
PK tersebut diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor 431 K/Pid.sus/2016 tanggal 19 Oktober 2016 yang memvonis Zakarias Heriando Siku dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 200 juta.
Perlu diketahui, putusan MA tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Kupang Nomor 34/Tpk/2015/PT.Kpg yang memutuskan bahwa terpidana bebas dari tuntutan.
Menurut kuasa hukum Zakarias Heriando Siku, Fransisco Suarez Pati pihaknya telah mengajukan PK tersebut pada Kamis (13/7/2017) lalu.
Sementara itu, dua bukti baru yang diajukan oleh pihaknya adalah Hasil Pemeriksaan Pertanggunganjawaban Keuangan Daerah Kabupaten Sikka oleh BPK RI masing-masing untuk tahun 2006 dan tahun 2007.
“Berdasarkan kedua novum tersebut tidak terdapat kerugian yang diakibatkan dalam Proyek Pembangunan Pasar Alok,” ungkap Fransisco Suarez Pati kepada VoxNtt.com, Senin (24/7/2017).
Menurut advokat muda yang berkantor di Jakarta tersebut, temuan adanya kerugian hanya terdapat dalam hasil audit BPKP Perwakilan NTT.
Ia berasalasan hal tersebut terjadi karena BPKP Perwakilan NTT menggunakan dasar yang tidak tepat.
Audit tersebut didasarkan pada Keputusan Bupati Sikka Nomor 86/HK/2006 tentang Penetapan Standarisasi Harga Satuan Bahan, Upah dan Analisa Harga Satuan Pekerjaan untuk Bangunan Non Pemerintah Tahun Anggaran 2006.
Menurutnya, Pasar Alok merupakan bangunan pemerintah sehinga wajib hukumnya menggunakan Keputusan Bupati Sikka Nomor HK 188.45/297/2005 tentang Penetapan Harga Satuan Bahan/Barang-Barang Kebutuhan Pemerintah Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 2006.
“Kami berpendapat putusan MA tersebut mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata karena berpedoman pada hasil audit yang mengandung ‘error in juris’,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Fransisco putusan tersebut dibuat hakim tanpa memperhatikan batas minimal pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP dan hanya mengambil secara lurus dakwaan Jaksa.
Padahal menurutnya Jaksa sendiri tidak mampu membuktikan adanya kerugian melalui alat bukti surat.
“Jadi satu-satunya alat bukti yang dijadikan dasar putusan tersebut adalah pendapat ahli dari BPKP Perwakilan NTT,” ujarnya.
Lebih jauh, Fransisco menerangkan selanjutnya akan dilakukan sidang PK yang bertujuan memeriksa syarat formil dan materil dari PK tersebut.
Syarat formil yang dimaksudkan adalah kebenaran status pihak yang mengajukan PK sebagai terpidana dan kesesuaiaan bentuk pidana yang diputuskan.
Sementara itu, syarat materil berkaitan dengan kebenaran alasan-alasan PK berdasarkan Pasal 264 KUHAP.
“Jika dikabulkan maka putusannya bisa berupa membebaskan terpidana atau menyatakan terpidana bersalah tetapi hukumannya dikuarngi,” ungkap Fransisco. (Are De Peskim/AA/VoN)