Oleh: Rini Temala
Kurikulum 2013 yang sudah diterapkan di sekolah-sekolah rupanya menjadi kendala yang cukup serius bagi para guru. Penilaian dari aspek pengetahuan, keterampilan, dan juga sikap merupakan pekerjaan yang tidak gampang untuk dilakukan guru.
Menilai aspek pengetahuan dan keterampilanmungkin sedikit lebih mudah karena dapat diukur dengan jelas, entah dari hasil pekerjaan siswa, baik tugas, ulangan, ketelitian dan kelihaian siswa dalam mengerjakan atau melakukan sesuatu.
Namun aspek sikap khusunya sikap religius ini ternyata cukup membuat para guru “dilema” untuk memberikan nilai pada siswa. Setidaknya begitulah yang saya pahami ketika “menguping” pembicaraan beberapa orang guru SMP ketika sedang menumpang angkutan umum beberapa waktu lalu. Menunjukkan sikap religius salah satunya dapat dilakukan dengan berdoa saat memulai ataupun menutup pelajaran.
Saat siswa-siswa berdoa (mungkin) adalah salah satu moment yang tepat bagi guru untuk menilai sikap religius dari si siswa. Semua siswa yang menutup mata saat berdoa, ada baiknya guru tidak menutup mata dan memperhatikan bagaimana sikap siswa-siswanya saat berdoa. Doa yang dipimpin oleh seorang siswa lazimnya dimulai dengan ajakan, “teman-teman dan Ibu (atau Bapak) Guru, sebelumnya kita memulai (atau menutup) pelajaran, marilah kita berdoa.”
Ajakan tersebut rupanya sangat dipahami oleh seorang dari beberapa guru tersebut, bahwa ia pun turut serta diajak berdoa bersama siswa-siswanya, sehingga tidak menutup mata untuk menilai sikap religius siswa saat itu bukanlah hal yang tepat.
“Bagaimana mungkin saya tidak berdoa dan malah memperhatikan sikap mereka. Toh saya diajak juga untuk ikut berdoa. Kalau saya tidak ikut berdoa dan mata saya lirik sana lirik sini, saya justru menunjukkan sikap religius yang tidak benar. ” Katanya dengan penuh semangat.
Seorang guru yang lain pun menawarkan solusi, “Nah, sebelum guru masuk ke kelas, sebaiknya guru berdoa secara pribadi saja di ruang guru, sehingga tidak perlu berdoa lagi ketika di kelas.” Katakan saja, “Anak-anak, kalian silahkan berdoa, tadi Ibu (atau Bapak) sudah berdoa.”
Solusi yang diberikan guru tersebut sentak membuat tawa saya menjadi perhatian dari beberapa orang dalam angkutan tersebut dan membuat saya ketahuan sedang mendengarkan perbincangan mereka.
Guru yang lain pun menyambung “ah, itu sih namanya siswa berdoa, guru berdosa.” Hahahaha. Biarkan tawa saya pun terus berlanjut dalam tulisan ini.
Jangan Ajak Siswa Masuk Jurang
Tidak hanya mengenai sikap religius yang menjadi bahan “curhatan” guru-guru tersebut. K-13 yang menerapkan sistem IPA Terpadu pada jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Pertama lantas membuat seorang guru yang berlatar belakang pendidikan Biologi mengeluarkan isi hatinya. “Saya tidak mau berlagak “bisa-bisa” di depan siswa. Saya ini pendidikannya Biologi. Saya perlu belajar lebih mendalam ketika saya harus mengajarkan materi Fisika.
Kalau ada materi Fisika yang tidak benar-benar saya pahami, maka saya tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan dan mengajarkan materi tersebut kepada siswa-siswa. Jangan ajak siswa masuk jurang.” Sampai di tempat tujuan membuat saya kehilangan kesempatan untuk mendengarkan lanjutan “curhat ilmiah” tersebut.
Namun saya tidak turut berhenti memikirkan setiap kata yang saya dengarkan tadi hingga saya menulis tulisan ini. Ingatan saya mengenai perbincangan guru-guru tersebut pun bertemu dengan beberapa “omelan” yang pernah saya dengar dari teman-teman yang sedang melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah-sekolah mengenai K-13. Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran K-13. Menanya adalah salah satu tahap dalam pendekatan scientific.
Guru diharapkan merangsang siswa untuk mampu bertanya dalam proses pembelajaran. “Bukan pekerjaan mudah merangsang siswa agar mampu bertanya.” Inilah salah satu pernyataan yang pernah saya dengar dari seorang teman calon guru. Ingatan saya mengenai semua hal tersebut pun menyadarkan saya bahwa itu menjadi “PR” besar bagi saya yang juga adalah calon seorang guru.
Rini Temala adalah salah satu staff guru di SMP Lawir, Pocoranaka Timur. Selain sebagai guru ia juga aktif dalam komunitas sastra hujan, salah satu komunitas yang bertekun dalam publikasi karya sastra di Manggarai, NTT.