Oleh: Inosentius Mansur *
Sebentar lagi, beberapa daerah akan melaksanakan Pilkada. Bersamaan dengan itu, calon pemimpin mulai memaparkan agenda politik tentang apa yang akan mereka lakukan jika nanti terpilih menjadi pemimpin.
Hal ini amat baik. Alasannya, dengan begitu rakyat dibantu untuk mengenal calon pemimpin secara mendalam.
Saya percaya bahwa agenda politik mereka, dibuat berdasarkan “inventarisasi” atas persoalan-persoalan sosial. Artinya, dirancang bukan berdasarkan perspektif pragmatik, tetapi berdasarkan perspektif kerakyatan.
Realitas rakyatlah yang menjadi titik tolak dan titik tujunya. Dengan demikian, agenda politik mereka benar-benar memiliki efek bagi transformasi sosial dan bukan hanya slogan bohongan.
Tentu saja ada banyak hal yang mesti terwakili dalam agenda politik mereka. Dalam tulisan ini, saya menyoroti pentingnya agenda politik berbasiskan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Bernafaskan Nawa Cita.
Sebab bagaimana pun juga, Nawa Cita adalah spirit pembangunan Presiden Jokowi dan MEA menjadi “rumah bersama” rakyat ASEAN.
Karenanya, calon pemimpin mesti memiliki konsep penjabaran Nawa Cita secara kreatif serentak menyiapkan rakyat untuk bersaing dalam iklim perdagangan bebas sebagaimana semangat utama MEA.
Sinkronisasi
Sekilas, konsep MEA terkesan berbenturan dengan Nawa Cita. Nawa Cita (dalam salah satu poinya) “mendeklarasikan” pola pembangunan dari konteks masyarakat pinggiran.
Apa yang dialami oleh masyarakat pinggiranlah yang mesti menjadi rujukan pembangunan nasional. Pembangunan bukan berdasarkan tesis konsepsional-teoritik, apalagi hanya mengakomodasi keinginan-keinginan elite tertentu.
Pembangunan pada ghalibnya adalah melaksanakan apa yang menjadi harapan masyarakat pinggiran yang selama ini seringkali menjadi korban diskrimansi pembangunan.
Sementara itu, MEA berpegang pada paradigma pembangunan global yang mengutamakan daya saing. MEA mengharuskan Negara-negara ASEAN untuk mengintegrasikan konsep pembangunan liberal ke dalam sistem ekonomi, pasar dan budaya masing-masing.
Kalau demikian, ada ketakutan MEA berpotensi menghancurkan geliat ekonomi lokal dan memberangus potensi politik dan budaya masyarakat setempat.
Namun demikian, MEA sesungguhya berkaitan erat dengan konsep pembangunan dari pinggir (baca: Nawa Cita) tersebut. Mengapa? Karena masyarakat lokal dan potensi mereka sama-sama menjadi subjek pembangunan. Apa yang tampak dalam agenda pembangunan, lahir dari kondisi keprihatinan masyarakat yang seringkali “dipinggirkan”.
Karena itu, MEA mesti dijabarkan sebagai sinkronisasi Nawa Cita. Artinya, MEA berupaya memosisikan rakyat lokal sebagai matra esensial pembangunan.
MEA dan Nawa Cita mesti merevitalisasi pola pembangunan yang selama ini cenderung meminggirkan dan mengeksploitasi rakyat lokal demi memenuhi kepentingan pragmatis.
MEA dan Nawa Cita adalah “sejoli” yang sama-sama berusaha menata kembali dan membantu masyarakat pinggiran agar diperhatikan lewat kebijakan liberatif.
Ekspansi MEA tidak boleh “menggusur” rakyat lokal, melainkan berusaha mempertahankan mereka dari kepungan libido politik pragmatis dan pembangunan salah kaprah.
Pembangunan menjadi semakin demokratis, jika hak-hak sosial, politik dan ekonomi warga tepenuhi sebagai implikasi kinerja pemerintah, nasional dan lokal (Törnquist, 2013). Hal inilah yang menjadi orientasi MEA dan Nawa Cita.
Berbasiskan MEA, Bernafaskan Nawa Cita
Agar hal seperti ini terwujud, maka calon pemimpin mesti mendesain program berbasiskan esensi MEA dan Nawa Cita. MEA dan Nawa Cita tidak bertentangan, melainkan berperan komplementaris.
Calon pemimpin mesti sadar bahwa kita sedang berada dalam “lingkaran” MEA dan masyarakat lokal harus diuntungkan dengannya. Itu berarti, dia dituntut memiliki kesanggupan untuk “berpikir global dan bertindak lokal”.
Jangkuan nalar politiknya harus mengakomodasi tuntutan MEA demi penguatan masyarakat akar rumput sebagaimana salah satu poin Nawa Cita.
MEA tidak boleh “membumi-hanguskan” potensi-potensi masyarakat lokal (pinggiran). Karenanya, calon pemimpin perlu mencari cara untuk mengantisipasi dampak negatif ekspansi massif pasar bebas MEA dan memastikan bahwa masyarakat lokal tidak “gagap” menghadapi “gegap gempitanya” gempuran MEA.
Calon pemimpin mesti mempunyai kemampuan “menterjemahkan” konsep MEA dan secara kreatif-kontekstual memberdayakan masyarakat lokal agar mandiri secara ekonomi dan politik serta tidak mengorbankan potensi budaya mereka.
Untuk maksud ini, hal pertama yang perlu dipersiapkan calon pemimpin adalah “mengkondisikan” rakyat agar memiliki mentalitas bersaing. Dengan begitu, rakyat tidak terpekur pasif dan tereliminasi secara sosial, ekonomi dan politik akibat ketidaksiapan menyambut MEA.
Adalah benar bahwa masyarakat lokal belum berdaulat dalam segala dimensi kehidupan. Hal ini kita harus akui. Di sini, Nawa Cita dipandang sebagai “intervensi” konstruktif atau aktualisasi dari “demokrasi di pinggiran” sebagaimana tesis Neilson Ilan Mersat (2011).
Hal tersebut akan menjadi sempurna jika (calon) pemimpin mampu “menyulap” masyarakat menjadi berdaulat dan secara mental siap menyambut pasar bebas.
Memang, hal seperti ini tidak mudah. Dalam situasi yang biasa-biasa saja, masyarakat sudah “terseok-seok” dan “keok”, apalagi di tengah himpitan MEA.
Namun demikian, calon pemimpin harus bisa menjadikan Nawa Cita sebagai basis program pemberdayaan, penguatan sekaligus menyiapkan rakyat agar bisa berkompetisi dalam MEA.
Untuk itulah, maka diperlukan terobosan-terobosan kontekstual yang berupaya mengintegrasikan MEA dan Nawa Cita secara baik sehingga mendatangkan dampak positif bagi rakyat.
Selain itu, desain pembangunan mesti “diracik” berdasarkan potensi-potensi lokal untuk kemudian “dipasarkan” dalam MEA. Potensi ekonomi mikro masyarakat lokal harus “diakui” dan dipakai dalam MEA.
Itu berarti MEA tidak boleh mensubordinasikan potensi-potensi ekonomi mikro rakyal lokal, tetapi mesti menjadikannya sebagai hal penting.
Agar bisa mencapai tujuan ini, Nawa Cita perlu diterjemahkan secara reproduktif-kontekstual, sehingga desain pembangunan menempatkan masyarakat lokal dan potensi mereka sebagai andalan.
Nawa Cita, mesti menguatkan masyarakat lokal dan mempersiapkan mereka agar siap menyambut MEA. Inilah yang perlu “dipromosikan” ke dalam konteks MEA.***
Foto Feature: Illustrasi ( Foto: banjarkota.com)
Pemerhati sosial-politik dari Seminari Diosesan Ritapiret-Maumere