Ruteng, VoxNtt.com- Forum Gerakan Anti Korupsi Nusantara (Getar Nusa) meminta rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) agar tidak memilih calon pemimpin koruptor di Pilkada serentak 15 Februari 2017 mendatang.
Untuk diketahui, Rabu pekan ini nanti terdapat tiga daerah di NTT yang menyelenggarakan Pilkada serentak. Ketiganya yakni, Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Lembata.
“Kami menghimbau kepada seluruh masyarakat yang menyelenggarakan Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 yang akan datang untuk menjadikan Pilkada ini sebagai bagian dari sebuah langkah mewujudkan pemerintahan yang bersih. Dan, merebut kembali kuasa rakyat dari tangan koruptor,” tegas Kordinator Getar Nusa, Florianus N. Sambi Dede, Senin (13/2/2017).
Dalam press release-nya yang diterima VoxNtt.com, Dede mengingatkan, Pilkada serentak ini beriringan dengan berbagai keterbelakangan di NTT. Provinsi itu juara korupsi, kasus human trafficking, gizi buruk, dan juara kemiskinan.
Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, provinsi yang sedang dipimpin Frans Lebu Raya itu berada pada peringkat dua daerah terkorup secara nasional.
Selain itu beber dia, Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September tahun 2016, NTT berada pada peringkat ketiga termiskin di Indonesia.
Dede menegaskan, korupsi dan kemiskinan seakan sudah menjadi lingkaran “setan” karena selalu saja meliliti kehidupan masyarakat NTT. Hampir 90 masyarakat NTT berprofesi sebagai petani dan nelayan terus dihantui kemiskinan yang massif.
“Dalam berbagai kajian memang, semakin tinggi angka kemiskinan dan pengangguran, semakin tinggi pula korupsi yang dilakukan para pejabat daerah. Bahkan banyak trend, di beberapa kabupaten banyak sekali anggota DPRD yang berubah status menjadi kontraktor APBD. Mereka lupa urus rakyat, tetapi lebih suka berburu rente,” tukas Dede.
Korupsi, Cara Elite Capture Berkuasa
Kordinator Getar Nusa berpandangan, korupsi merupakan cara segelintir elit (Elite Capture) menjalan kuasa pembangunan di daerah-daerah di NTT.
Kata Dede, diskursus tentang kemiskinan menjadi akibat korupsi bukan saja masalah moralitas dan hukum. Misalnya, koruptor itu pecuri maka dianggap buruk secara moral dan melanggar hukum.
Namun, analisis ekonomi-politik menukik lebih jauh. Korupsi itu merupakan proses untuk meraup kekayaan dan kekuasaan yang berlipat ganda.
“Sebagai contoh sederhana, pembelian mobil dinas pejabat daerah tak ada yang salah, karena terkait dengan operasional pejabat. Namun, pembelian mobil mewah di tengah kemiskinan dan minimnya infrastruktur di daerah adalah bentuk paling ganas dari korupsi,” ujar Dede.
Dikatakan, korupsi dengan gaya ini adalah bagian dari cara segelintir elit mengambil APBD untuk belanja-belanja tidak produktif.
“Itu berarti korupsi sebagai Elite Capture ini sama saja dengan perampasan uang Negara melalui mekanisme legal,” katanya.
Padahal, lanjut dia, APBN diperoleh dari uang pajak rakyat, hasil eksplotasi sumber daya alam, dan utang luar negeri yang membebankan uang Negara.
“Resikonya, terjadilah kemiskinan struktural. Kemiskinan bukan karena rakyat malas bekerja, tetapi karena pola pembangunan tak menguntungkan rakyat”
Dede menjelaskan, hal tersebut bisa ditunjukan mengapa setiap tahun semakin banyak proyek pembangunan mengalir ke daerah, tetapi rakyat tetap saja masih miskin. Program-program besar ini pun didesain atas nama kemiskinan. Tetapi di tangan elit uang rakyat dihabisi secara sistematis.
“Jika praktik korupsi yang selama ini dijalankan seperti penjajahan dan penindasan baru, melalui cara-cara legal dan sistematis, maka marilah kita melawannya dengan cara-cara legal, seperti memilah secara tepat para calon pemimimpin,” ajak Dede. (Ardy Abba/VoN).