Jakarta,VoxNtt.com-Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai polemik antara Pemerintah dan PT. Freeport Indonesia tidak memberi ruang bagi perbincangan tentang Keselamatan Rakyat dan Lingkungan Hidup di Papua.
Dalam keterangan tertulis yang diterima VoxNtt.com, JATAM menyatakan kisruh ini layaknya seorang tuan rumah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya sendiri.
Padahal Freeport sudah berkali-kali membangkang dari peraturan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, pun Pemerintah Indonesia juga berkali-kali tunduk dan patuh pada keinginan Freeport.
JATAM juga menilai, Freeport Indonesia amat rakus lahan, dua konsesi Tambang Blok A di Kabupaten Paniai dan Blok B pada tahun 2012 di Kabupaten Mimika luasannya mencapai 212.950 hektar, hampir seluas Kabupaten Bogor.
Dijelaskan, perusahaan ini meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat sampah, membuang limbah beracun (merkuri dan sianida).
Lima sungai yaitu sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe telah menjadi tempat pengendapan tailing tambang mereka.
Sungai Ajkwa di Mimika bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016.
Menurut catatan JATAM, hingga tahun 2016, areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut.
Dalam keterangan itu disebutkan, pada pertengahan tahun lalu, PT Freeport Indonesia juga membangun perluasan tanggul baru di barat dan timur ke arah selatan, akibat aliran tailing yang sudah sampai laut dan tak terkendali juga mengancam sungai baru, sungai Tipuka hanya demi mengejar produksi 300 ribu ton bijih per hari.
Sebagai informasi, untuk mendapatkan 1 gram emas, maka dibuang 2.100 Kg limbah batuan dan tailing, dihasilkan pula 5,8 Kg emisi beracun logam berat, timbal arsen, merkuri dan sianida, bisa dibayangkan bagaimana pengrusakan atas air dan lingkungan terjadi.
Bukan Cuma meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat pengendapan dan pembuangan limbah tailing, sejak 1991 hingga 2013, pajak dari pemanfaatan sungai dan air permukaan Freeport pun tak pernah dibayar.
Menurut Pemerintah Provinsi Papua, keseluruhan tunggakan Freeport sebesar 32, 4 Triliun untuk pajak pemanfaatan air permukaan.
“Sayangnya dalam polemik ini, Pemerintah Indonesia dan Freeport sengaja mengabaikan fakta kehancuran dan kerusakan ruang hidup rakyat Papua, yang dirundingkan sebatas perubahan divestasi saham 51 persen, penetapan nilai pajak dan royalti baru, tak sebutir kalimat pun memperbincangkan tentang keselamatan rakyat dan alam Papua,” ujar Kepala Kampanye JATAM Nasional, Melky Nahar, di Jakarta, (24/2/2017)
Kasus Freeport, kata Melky, sesungguhnya sebagai potret nyata, soal bagaimana sebuah kebijakan Negara dengan mudah bisa dinegosiasikan oleh korporasi.
“Freeport dengan gambang bisa mendesak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2014 untuk memberikan toleransi pengunduran kewajiban pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter hingga 11 Januari 2017,” jelas Melky.
PP ini, demikian Melky, dibuat dengan melanggar batas waktu akhir kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter pada tahun 2014 yang diwajibkan undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Tentu saja ini kado indah bagi Freeport yang tak mau merogoh kantung lebih banyak untuk melakukan pemurnian komoditas di dalam Negeri.
Ia menjelaskan, Freeport juga mampu membuat pemerintah kehilangan akal sehat dengan mengubah sendiri Peraturan Menteri ESDM No 11/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.
Dalam pasal 13 Permen ini, kata Melky, rekomendasi ekspor diberikan apabila pembangunan smelter telah mencapai kondisi 60 Persen.
Namun dalam perkembangannya, jelas Melky, Pemerintah menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016. Permen ESDM ini memberikan lagi pengecualian, diskon jika kualifikasi fisik smelter belum memenuhi target.
Itu sebabnya, kemajuan pembangunan smelter Freeport Indonesia di Gresik hanya 14 Persen, namun perpanjangan rekomendasi ekspor konsentrat Freeport tetap terus diberikan.
JATAM mencatat, pelanggaran undang-undang di atas yang dilakukan Freeport dan Pemerintah sudah ‘setengah lusin’ jumlahnya, dan rekomendasi ekspor yang dikeluarkan tersebut memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah ke luar Negeri.
Melalui ‘setengah lusin’ perpanjangan rekomendasi ekspor yang diperoleh selama 2014-2016 saja, Freeport telah mengekspor 4,55 juta ton konsentrat. Dari 4,55 juta ton konsentrat ini, Freeport berhasil memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz (Troy Ons) emas.
“Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor tersebut mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Angka tersebut hampir setara dua kali APBN Indonesia,” tegas Melky.
Sementara pada 2010, Freeport berkontribusi 18,3 triliun ke pendapatan negara, namun sejak 2012, Freeport taklagi membayar dividen hingga hanya berkontribusi 9,5 triliun saja dari 1.332 triliun pendapatan negara.
Pada tahun 2015, Freeport bahkan cuma menyetor 5,1 triliun dari 1.496 triliun pendapatan negara atau hanya 0,3 persen dari pendapatan negara. Maka dalam empat tahun sejak 2012 hingga 2016, rata-rata kontribusi Freeport dalam pendapatan Negara hanya 0,4 persen.
Lebih lanjut Melky Nahar menjelaskan perbandingan antara Kontribusi Pajak, Royalty dan Dividen Freeport pada Pendapatan Negara amatlah kecil, rata-rata kontribusi 0,4 persen dari Pendapatan Negara tersebut harus ditebus dengan berbagai permasalahan yang timbul akibat hadirnya Freeport di Papua.
“Pemerintah telah terlalu toleran bahkan rela mengubah peraturannya sendiri, karena tak berhasil memaksa Freeport untuk patuh pada peraturan. Termasuk memberlakukan Papua dengan tidak adil dan membiarkan kekerasan terus menerus terjadi, hanya untuk melayani Freeport,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kehadiran Freeport, telah mendorong eskalasi kekerasan terhadap Rakyat Papua, penggusuran kampung dan penangkapan sewenang-wenang, serta penghancuran lingkungan hidup yang massif.
“Jelas bahwa kesejahteraan yang selama ini diklaim telah dihadirkan oleh Freeport adalah omong kosong, kesejahteraan semu belaka. Mempertahankan operasi Freeport justru merugikan dan mewariskan kerusakan tak terkendali dan tak terpulihkan,” imbuhnya.
Karena itu, kata Melky, dengan akal sehat, mempertahankan operasi Freeport adalah kesalahan, tanpa Freeport keuangan Negara tak akan guncang.
“Pemerintah harus mengambil langkah “ambil alih”, bukan mengeluarkan IUPK baru atau Divestasi yang hanya merupakan proses back to business saja, yang terjadi hanyalah aktivitas bisnis jual beli saham, sekedar perubahan komposisi dan konsolidasi mafia ‘papa minta saham’ baru belaka,” jelasnya.
Menurut dia, sudah saatnya Pemerintah menghentikan dan menutup operasi pertambangan Freeport di Papua, karena selain tak pernah menguntungkan apalagi menyejahterakan, pemberian kontrak karya kala itu dilakukan tanpa persetujuan rakyat Papua yang sejak 1967 telah diperjualbelikan secara sepihak dan sewenang-wenang dengan Freeport.
“Indonesia bisa sejahtera tanpa Freeport, ia hanya menjadi beban karena Pemerintah menerima terlalu kecil namun disaat bersamaan harus mengorbankan keselamatan rakyat dan alam Papua akibat eksternalitas, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan rehabilitasi, kehancuran sosial dan lingkungan hidup yang diwariskan tak terpulihkan,” jelasnya.
Melky juga menyerukan agar ada proses penegakan hukum atas pelanggaran undang-undang dan pelanggaran HAM yang selama ini telah dilakukan, Freeport pun harus dituntut melakukan pemulihan atas kerusakan alam yang ditimbulkan selama 50 tahun beroperasi di Papua.***(Ervan Tou/VoN).